Tiga Puluh Tujuh

22.5K 3.2K 102
                                    

"Ayah." Thanay terpaku di halaman kala menemukan Inatra berdiri di depan pintu rumah.

"Kau belum tidur?"

Inatra menggeleng.

"Apa yang kau lakukan, Nak?"

Kepala Inatra mendongak ke langit. Mau tak mau Thanay ikut mendongak. "Malam ini langit bertabur bintang. Sungguh indah. Apa Ibu melihatnya juga?"

"Aku rasa, ya."

"Aku merindukan Ibu."

Thanay hanya mengangguk kecil sambil tersenyum lemah. Dalam lubuk hatinya Thanay pun merasakan yang diucapkan Inatra. Dia merindukan Mir dan sangat khawatir. Namun sejak pertemuan dengan Gallea dan cerita Jed beberapa jam lalu di menara, ada perasaan takut yang menyusup ke benak Thanay. Segalanya tak lagi sesederhana Mir menghilang.

"Ayo masuk. Malam ini anginnya cukup kencang. Badanmu akan sakit berlama-lama di sini," ajak Thanay dengan lembut membimbing bahu kecil Inatra ke dalam rumah.

"Tahukah kau, Ayah, aku memiliki seorang paman. Sepupu Ibu."

Thanay membeku seketika. Inatra melepaskan diri dari Thanay, lalu naik ke salah satu kursi. Ruangan dalam rumah bermandikan cahaya lilin sepanjang dinding. Jash dan Mano mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik, menyalakan penerangan dalam rumah sebelum pulang ke rumah masing-masing. Thanay menyukai suasana rumah yang terang saat dia pulang, tetapi dia tidak menyukai ucapan Inatra barusan. Paman, paman yang mana? Pikirnya kalut.

"Siapa paman yang kau maksud?" Thanay duduk di sisi Inatra. Dia semestinya berganti pakaian dari seragam prajurit, baru bercakap bersama Inatra seperti yang selama ini dilakukannya semenjak Mir menghilang untuk kedua kali. Hanya saja, kali ini rasa penasaran menepis ingatannya soal membersihkan diri.

"Paman itu datang tadi sore, bertanya warna apa yang aku suka. Dia tampak terkejut mengetahui..." ucapan Inatra terhenti. Tangan kecilnya yang pucat naik ke pelupuk mata diikuti gerakan kepala menunduk. Thanay menarik napas akan pemahaman yang masuk dalam benaknya. Inatra telah lama menyimpan ketidaksukaan pada mata biru pucat miliknya, satu-satunya hal yang membedakan Inatra dari giyom di kerajaan ini, begitupun dari Thanay dan Mir. Mata Inatra sangat mencolok, nyaris tak berwarna jika berada di bawah cahaya matahari.

"Matamu indah, Nak," kata Thanay.

"Mata indah itu milik Ibu. Mataku ... aneh." Suara Inatra mengecil di ujung, tapi cukup tertangkap indera pendengaran Thanay.

"Apa kau tahu siapa paman itu?" Thanay mengalihkan pembicaraan mengenai mata Inatra. Ada hal lain yang lebih penting untuk diketahui.

"Aku tidak mengenalnya. Rambutnya aneh, tapi namanya mirip Ibu. Gallea. Mirallea. Bukankah terdengar mirip?" Inatra menantikan respon dengan mata berbinar yang berdampak sebaliknya bagi Thanay. Gallea telah menemui putrinya. Gallea telah menembus penjagaan istana yang diperketat. Bagaimana bisa?

"Dimana kau bertemu dengannya?" Thanay kali ini sukar mengendalikan ketenangan diri. Gallea benar-benar melampau batas. Gallea sejak awal bukan musuh yang bisa dianggap remeh. Namun ketika Gallea mendekati Inatra, Thanay yakin semua ini berkaitan kisah Jed. Mirallea, cicit Sang Ratu. Tak ayal, Inatra adalah cucu buyut Sang Ratu.

"Dalam mimpiku," jawab Inatra begitu bersemangat.

Rahang Thanay jatuh. Mimpi? "Kau yakin, Nak?"

"Sama persis seperti Ibu yang memberi tahu keberadaannya. Paman Gallea masuk ke dalam mimpiku. Dia berencana akan mengunjungiku eum... saat sempat," lanjut Inatra, sama sekali tidak menanggapi keterkejutan Thanay sebagai sikap negatif. Ada gelembung-gelembung kebahagiaan yang meletus dalam dadanya dan Inatra tak sanggup menahan sendirian penemuan barunya. Dia telah menggigit bibirnya sepanjang sore agar tidak meloloskan sedikit pun berita kepada Jash, Mano, dan teman-temannya. Inatra yakin Ayahnya perlu menjadi orang pertama dan satu-satunya yang mendengar penemuannya.

"Ayah, apakah Paman datang esok pagi?" Tanya Inatra polosnya.

Anak perempuan itu tak menyadari ketegangan yang menggantung pada wajah Thanay. Celaka jika Gallea bertemu Inatra, pikir Thanay.

"Aku rasa, tidak. Nak, sebaiknya kau tidur. Aku harus kembali ke istana sebentar. Ada barangku yang tertinggal di sana."

"Ayah, bolehkah aku menemanimu ke istana."

Thanay memandang lama Inatra. Kepalanya menimbang permintaan putrinya. Kemudian anggukan menjadi jawaban permintaan itu.

###

05/04/2019

Sebenarnya baca Mirallae tuh Mir.ha.le
Gallea jadi Gah.le
Kalo Thanay dan Inatra ya dibaca gitu aja.
Kayaknya gw nulis dikit2 aja deh sekarang. Cerita fantasi tuh emang enak dibaca tapi pe.er banget pas ditulis. Ada world building yg masih perlu gw pelajari. Makasih ya support semua pembaca cerita ini. Aku akan berusaha menyelesaikan petualangan Asa ヽ('Д')ノ

SurealМесто, где живут истории. Откройте их для себя