Empat Puluh Delapan

14.9K 1.8K 57
                                    

Gila! Paman ingin membunuhku!

Aku meneguk ludah, membayangkan makhluk apa di balik pintu besi itu. Tidak ada jalan bagiku kecuali salah satu dari kami mati.

"Silakan, Tuan Putri." Seorang prajurit dalam baju jirah menyerahkan belati. Aku melirik belati itu dan mendesah. Setidaknya masih ada satu alat pertahanan diri, pikirku, tentu saja selain gaun setinggi paha, celana wol kasar, dan sepasang bot kulit rusa.

"Ya." Aku mengambil belati dan mengetatkan genggaman, mengirim segala ketakutanku. Aku belum ingin mati, walau sangat bosan pada hidupku.

"Kami akan membuka pintunya," kata si prajurit lagi. Dia mengenakan helmnya dan maju bersama dua prajurit lain yang terlindung baju jirah.

Aku memandang iri pakaian perang mereka. Satu set jirah akan memperpanjang hidupku. Tapi Paman tak mengizinkan. Dia berkata, ketakutan akan mengeluarkan bakat sihirku. Perlu berapa ratus magi agar Paman percaya aku tidak terlahir bersama bakat sihir.

Seorang prajurit menarik slot besi pengunci pintu, dua yang lain berjaga waspada. Kakiku gemetar. Berkas sinar matahari menerobos ruangan. Jadi, beginilah akhir perjalanan hidupku.

Aku mengambil satu langkah maju gemetar. Sesuatu yang dingin dan ringan jatuh di bahuku. Aku menoleh ke bawah. Jepit rambut pemberian Rinom jatuh. Aku mengambilnya, lalu tersadar bahwa masih ada yang menantikan aku hidup. Rinom berjanji akan menceritakan pengalamannya memberikan jepit rambut ke anak kepala juru masak istana. Dan, tentu saja, masih ada beri liar yang lezat untukku.

"Silakan, Tuan Putri."

Aku menoleh ke pintu kayu belakang, tempat aku masuk ke ruangan ini. Suara ribut-ribut terdengar, seakan mendobrak pintu, tapi tidak ada siapapun. Tidak ada yang akan menolongku. Hanya aku dan janji Rinom. Aku melintasi pintu besi, menuju ruang terbuka yang dipagar beton tinggi, bak benteng melindung lapangan gersang dan runtuhan batu. Inilah arena pertarungan prajurit yang mengerikan, tempat prajurit dieksekusi jika kedapatan melanggar aturan.

Ratusan orang mengisi bagian atas beton. Tidak ada yang aku kenal karena mereka jauh dari jangkauan mata, terkecuali Paman Artha yang berbeda dengan mahkota emas dan kristal alam. Aku menyisir lapangan, ngeri pada sosok yang muncul dari balik reruntuhan batu. Ipahsya, tebakku.

Makhluk itu sekilas mirip buaya dengan tatapan lebih ganas dan lidah ramping yang menjulur. Dia berjalan mendekat. Aku dapat mendengar napas semua penonton tercekat. Itulah makhluk buas yang dicari Paman, makhluk yang menjadi obsesinya untuk mengeluarkan bakat sihirkuーatau membunuhku.

Ipahsya mengejarku yang berlari menuju ke belakang batu. Dengan badan sebesar itu, dia berlari sangat kencang. Aku memanjat reruntuhan, berpikir dia tidak akan sanggup memanjat, tapi aku salah. Dia bisa melalui medan yang terjal. Kakiku salah menggapai batu dan nyaris terjatuh. Ipahsya menjulurkan kepala hendak meraup kakiku. Aku menendangnya, lalu naik semakin ke atas. Aku mengambil batu yang lebih besar dari kepalan tangan, melempar kuat-kuat. Ipahsya terkena lemparan batu dan cukup kuat mencengkeram reruntuhan. Dia tidak jatuh. Aku membabi-buta melempar batu. Apapun asal aku tidak terkena gigitannya yang beracun.

Ipahsya semakin dekat. Aku nekat melompat dari puncak reruntuhan, mendarat cukup mulus, lalu berlari. Aku harus memikirkan sesuatu.

"Ipahsya, Ipahsya, makhluk sialan apa itu?" geramku. Belati tidak akan cukup membunuhnya. Dia terus mengejar, beberapa kali berusaha menggigit kakiku. Aku melompat, melempar batu, bergerak serampangan hingga dia menabrak tebing.

Kemudian aku menghapal pola reruntuhan ini. Sebuah koloseum tua, peninggalan suku yang punah. Fondasinya kuat, tapi material konstruksinya termakan kondisi alam. Aku melompat ke sebuah jendela. Ipahsya mengikuti. Badannya lebih besar dan membuat jendela itu retak. Aku kembali melompati jendela. Lagi-lagi Ipahsya membuat retakan. Aku semakin giat melompat jendela, meski bahu dan lenganku terbentur batu koloseum.

Lompatan terakhir dan lemparan batu, pikirku. Reruntuhan dipenuhi pasir yang terbang akibat gerakan kami. Aku mengambil batu dan bersiap dengan belati di pinggang.

Aku melompat di atas tiang yang roboh sejak beratus tahun lalu. Ipahsya mengikuti, tapi aku lebih cepat melempar batu. Keningnya kena lemparanku. Dia terjungkal ke belakang. Aku mengambil batu lain, melempar kuat-kuat. Aku terus mengambil dan melempar batu. Ipahsya bergerak tidak karuan, menabrak dinding. Ekor besarnya menendang tiang. Serpih reruntuhan jatuh. Kesempatanku!

Aku berlari kencang, naik ke punggung Ipahsya dan menghujam belati ke atas kepalanya. Darah segar menciprat wajahku. Pekikan sakit menggema. Ipahsya mengangkat kaki depan. Aku jatuh ke belakang, lalu kabur. Dia mengerang, bergelinjang, dan runtuhan koloseum jatuh. Aku melindungi kepala berlari keluar reruntuhan. Reruntuhan koloseum itu roboh. Suara BANG mengejutkanku. Kepulan pasir terbang ke udara. Aku merapat ke pagar beton, menerka bagaimana hasil perbuatanku.

Kepulan asap turun perlahan. Reruntuhan itu hancur, berubah layaknya tumpukan batu. Aku mencari keberadaan Ipahsya. Tidak ada. Benarkah?

"Selamatkan, Putri Mirallae!" Seruan Paman Artha menyentak keheningan seisi arena. Bunyi derap langkah prajurit menarikku pada kewaspadaan.

"Tuan Putri." Seorang prajurit di balik helm zirah menarik lenganku. "Ayo masuk," katanya.

Aku mengikuti tarikan prajurit itu, tidak sanggup lagi berpikir. Badanku letih.

"Mir." Jed datang dan merebutku dari prajurit. "Kau baik-baik saja?"

"Tidak lebih buruk dari kelas sihir," candaku. "Kakiku seperti mau patah."

Jed menggendongku seketika. "Thanay," kata Jed ke prajurit yang menarikku tadi. "Pastikan kondisi Ipahsya."

"Baik," jawab Thanay.

Aku melirik prajurit itu. Dia tersenyum kecil. Kemudian kegelapan merenggut kesadaranku.

###

20/11/2019

Dan itulah nasib Mir ☺ gw bahagia loh bikin part ini, membayangkan Mir nyaris die digigit ipahsya kyaaaaa...

SurealWhere stories live. Discover now