Enam

45K 5.3K 38
                                    

"Mirallae.''

Asa menghembuskan napas kasar. Perempuan itu orang ketiga yang menyebut nama Mirallae sambil memandangnya. Jelas setelah Jash dan Mano. Kepalanya pusing memikirkan kenapa semua orang memanggilnya dengan nama itu.

"Kau Cissara?''

Perempuan itu menampilkan wajah terkejut. Dia mengangguk kecil sambil melangkah mendekati Asa.

"Apa kau melupakanku?'' Tanya Cissara hati-hati.

Asa menggeleng cepat. "Aku tidak mengenalmu.''

Cissara memucat. Mulutnya terbuka namun urung berucap malah tertutup lagi hingga bibirnya membentuk satu garis tipis.

"Jangan kaget. Aku tidak mengenalmu. Aku hanya pernah mendengar namamu sekali dari Mirallae'', terang Asa frustasi.

"Kau Mirallae.'' Cissara mengguncang kedua bahu Asa kasar.

Siku kiri Asa yang ngilu jadi bertambah sakit sebab gerakan kasar Cissara. Dia menyingkirkan tangan Cissara sehalus mungkin. Tidak nyaman membuat satu-satunya orang yang bisa kau percaya menjadi emosi di pertemuan pertama. "Biar kujelaskan. Kau mau mempercayaiku?''

Cissara menatap ke manik cokelat tua Asa. Dia menyimpulkan Asa berkata jujur. "Baik, aku akan mencoba mempercayaimu. Berceritalah.''

Asa menarik napas dalam lalu memulai ceritanya persis seperti pengalamannya semasa di lembah batas dunia bersama Mirallae hingga sekarang di sini. Cissara menyimak cerita Asa tanpa memotong. Sesekali dia mengangguk dan mengerutkan dahinya.

"Asa. Benar itu namamu?''

"Ya.'' Asa berjalan mengitari sekeliling ruangan. Sementara Cissara tengah memijat keningnya di sofa.

"Tapi kau sungguh-sungguh serupa dengan Mirallae.''

Asa mengangkat satu alisnya. Dia mulai tertarik dengan omongan Cissara setelah hampir sepuluh menit usai bercerita Cissara hanya termenung sendirian. "Benarkah? Aku patut waspada kalau begitu.''

"Waspada?''

"Mir bilang dia bukan orang yang baik. Dan ya setelah sampai di sini, aku membenarkan perkataannya.''

"Pasti Jash menjelek-jelekkan Mir.'' Cissara memutar bola matanya. Sikap anggunnya perlahan luntur, hal itu tak luput dari pemantauan Asa yang yakin Cissara adalah perempuan menyenangkan. Berbeda dengan perempuan-perempuan yang membuntutinya. "Asal kau tahu, bukan hanya Jash. Kurasa ada lebih banyak perempuan yang tidak menyukai Mir. Hey, aku baru sadar, kita menggunakan nama panggilan yang sama untuknya.''

Asa terkekeh di sudut ruangan dekat jendela. "Nama Mirallae sukar disebut.''

Cissara berjalan menuju ranjang besar di tengah ruangan. "Ada banyak laki-laki yang rela menghabiskan umurnya mengulang-ulang nama itu, Sa.''

"Dia terkenal ya?'' Aku membuka peti kayu berwarna merah yang terlihat tidak pas di ruangan yang didominasi warna salem ini.

"Lumayan.'' Cissara berjalan memutari atas ranjang. "Kau pikir kenapa kau ada di sini?''

Asa melirik sekilas lalu melanjutkan niatannya membuka peti itu. "Kan tadi cerita. Mir minta tolong membahagiakan kekasihnya.''

"Aku tahu bodoh. Maksudku kenapa kau? Kenapa bukan yang lain?''

"Kau suka memaki ya? Pantas Mir bilang dia suka mengumpat saat bersamamu.'' Asa masih mengobrak-abrik isi peti itu.

Cissara langsung loncat dari ranjang. Berlari kecil ke arah Asa. "Jangan beritahu yang lain. Ini rahasia aku dan Mir. Sekarang jadi tiga orang dengan kau. Kabar ini akan memalukan jika diketahui oleh rakyat, ratu mereka yang baik hati dan lembut ternyata suka mengumpat.''

Asa geli melihat ekspresi takut yang dibuat-buat Cissara. Perempuan ini jago akting, pikir Asa. "Oke, rahasia. Lanjutkan omongan soal kenapa aku yang diminta tolong.''

"Pasti karena kalian mirip. SANGAT MIRIP."

"Mir patut waspada jika penggemarnya menjadi penggemarku'', canda Asa.

Cissara hanya memasang wajah datar. Dia punya lebih banyak kekhawatiran bagi Asa. Hatinya berkata dia harus membantu Asa namun kepalanya tidak menghasilkan ide apapun.

"Kau juga akan merebut suami Mir.''

"APA?"

"Biasa saja. Mir memang sudah menikah.''

"Bu.. bukannya.. anu itu dia bilang soal kekasih?'' Asa kelagapan dengan fakta yang baru didengarnya. Tanpa sadar dia membuka penyumbat botol keramik di tangannya.

"Bau, jauhkan benda itu'', rengek Cissara. Asa patuh. Dia menutup kembali botol keramik itu.

"Pasti itu yang dibakar laki-laki bau jahe tengik itu di sini. Membuat ruangan jadi berbau rempah aneh.''

"Laki-laki jahe tengik itu Dasen. Dia peramu obat. Mungkin itu obatmu sadar dari tidur panjang.''

"Baunya parah.'' Asa menutup peti itu.

"Asa!'' Nada suara Cissara terdengar serius. "Kumohon kau mau menggantikan Mir di sini. Mungkin akan berat tapi pelan-pelan kau pasti bisa menjalaninya.''

"Mir gila, dia memintaku membahagiakan kekasihnya padahal dia punya suami. Aku menolaknya.''

"Hemm siapa nama kekasih Mir?''

"Inatra.''

Cissara tertawa terbahak-bahak. "Inatra ya Hahahah..'' Asa melengos mendapati respon Cissara yang aneh.

"Inatra itu anak Mir.''

"Eh?''

"Kau diminta membahagiakan anaknya, Asana Ayu.''

"Dia punya anak dan suami.'' Cissara tidak menanggapi ocehan Asa yang tidak jelas pertanyaan atau pernyataan.

"Aku akan menjadi ISTRI DAN IBU??" Asa terbelalak. Wajahnya menatap murka ke arah Cissara.

Cissara menganggap angin lalu sikap Asa. "Kau tidak akan menyesali peranmu. Suamimu nanti laki-laki yang lembut dan hangat. Dan Inatra emm dia ya lumayan imajinatif.''

"Thanay?'' Asa teringat nama itu.

"Betul. Kau mengenalnya?''

"Tidak.''

"Bagaimana kau tahu namanya?'' Asa mengarahkan ibu jarinya ke pintu sembari memasang wajah kesal.

"Jash'', geram Cissara. "Dia terlalu banyak bicara. Tapi Mir tidak pernah bisa menyingkirkannya. Thanay menyukai cara kerjanya yang gesit. Selain itu mungkin hanya Jash dan Mano yang mau menjadi pelayan Mir.''

"Mir memainkan peran yang susah dimainkan orang sepertinya. Dia pandai membuat orang membencinya.'' Asa duduk di sisi Cissara yang kembali duduk di sofa.

"Perempuan cantik punya bakat disukai dan tidak disukai lebih besar. Mir memilih menonjolkan bakat tidak disukai itu.''

Asa semakin nyaman mengobrol dengan Cissara. Perempuan itu tidak membatasi dirinya walau sempat dia dengar Cissa mengakui dirinya ratu. Cissa tergolong orang yang mudah didekati.

"Bagaimana aku bisa jadi semenyebalkan Mir?''

"Acuhkan saja.''

"Eh?''

"Sungguh. Mir mengacuhkan siapapun saat orang itu mengucapkan sesuatu yang tidak disukainya, atau bertemu di waktu yang tidak disukainya bahkan di tempat yang tidak disukainya.''

"Tebakanku dia juga mengacuhkan suaminya.''

"Betul. Orang-orang beranggapan sikapnya itu bentuk penolakan cinta Thanay kepadanya.''

SurealWhere stories live. Discover now