Lima Puluh Satu

26.6K 2.4K 301
                                    

Jed duduk pada ujung meja makan panjang yang dikeliling sepuluh kursi. Duduk di sisi kanannya, Cissara. Kemudian Don di sebelah kiri. Thanay masuk paling buncit di ruang makan megah dengan langit-langit menjulang dan lampu tiga lampu kristal raksasa menaungi meja makan.

"Kau baru datang." Cissa berkata dalam suara lemah serupa desisan.

Thanay memberi hormat pada Cissa dan Jed. Dia tidak membalas ucapan Cissa, malah mengambil duduk di sisi Don.

"Aku menerima ini di meja kerjaku." Jed tidak membuang waktu. Dia meletakan potongan kain kumal ke atas meja.

Semua orang di meja tampak penasaran. Don dan Thanay menahan diri. Menurut hierarki, Ratu yang berhak mengambil kesempatan pertama melihat apa yang membuat Jed memanggil mereka berkumpul di sini.

Cissa mengambil kain itu dan memeriksanya. Air wajahnya lantas surut. Dia melempar kain itu penuh kebencian.

"Itukah bayaran atas kebaikan kita selama ini? Adik kesayanganmu?" Cissa melirik Jed sinis.

Don memungut kain itu dan melihat bersama-sama Thanay. Mereka membelalak, terkejut bukan main terhadap apa yang tertulis di kain itu.

Sebuah peringatan perang.

Thanay dan Don saling lirik, lalu bersama-sama melarikan pandangan pada Jed. Raja mereka bersikap terlalu tenang untuk situasi genting di depan mata.

"Jika itu yang diinginkan Mir, kita harus menyanggupinya," kata Jed.

"Bagaimana bisa kau berkata begitu? Dia menantang perang, Jed!" Cissa meluapkan kemarahannya dengan menggebrak meja.

"Cissa, tahan dirimu." Don berlari memutar, menenangkan istrinya.

Thanay menahan lidah, menantikan respons Jed. Apapun keputusan Jed adalah apa yang kelak harus dilakukannyaーsuka ataupun tidak.

"Kenapa kau sangat marah, saudariku?" tanya Jed begitu santai.

"Kau gila! Perempuan itu mengaku keturunan dari moyang kita dan ingin merebut tahta. Kau masih bisa bersikap tenang? Cintamu membutakanmu, Jed!" Cissa berdiri dan menudingkan telunjuk dalam amarah.

Jed bersandar pada punggung kursi. Tak ada perubahan ekspresi yang ditampilkannya. "Kau tahu sejak awal mengapa Ayahanda sangat terobsesi pada sihir Mir. Kita tahu, tapi kita menutup mulut karena takut pada Ayah. Mir adalah keturunan sebenarnya Sang Ratu."

"Keturunan Sang Ratu adalah kita. Kau yang membuat kesimpulan itu sendiri. Sejarah mencatatnya, kita keturunan Sang Ratu. Kita!"

Jed membuang muka. Cissa semakin marah. Don berusaha membujuk istrinya duduk. Saat itu tatapan meratap Cissa dilempar pada Thanay di seberang meja. Thanay menunduk.

Don yang tak menyadari perubahan atmosfir berkata, "Thanay, bisakah kau melakukan sesuatu? Mir istrimu."

"Istri yang lagi-lagi kabur," sela Cissa.

Thanay menatap mereka satu per satu, lalu menggeleng. "Aku tak bisa melakukan apapun," katanya lemah.

"Bukankah Inatra bisa berhubungan dengan Gallea lewat mimpi? Bisakah kau meminta Inatra berbicara dengan Mir dan meminta perang dibatalkan?"

Thanay tak percaya pada ucapan Don. Pria itu meminta yang diharapkan Cissa, istrinya. Don sendiri tidak memikirkan situasi Inatra.

"Mimpi? Inatra dan Gallea?" Cissa menatap penasaran. "Gallea si pemberontak? Bagaimana bisa?"

"Gallea sepupu Mir." Don memberikan penjelasan. "Sepertinya mereka bisa melakukan komunikasi di antara mereka."

"Apa kita bisa mengetahui berapa banyak prajurit yang mereka punya?" Cissa bertanya lagi.

Jed menatap Thanay penuh harap.

Ini yang ditakutkan Thanay. Inatra akan dimanfaatkan kerajaan.

"Inatra tak bisa menghubungi mereka lebih dulu." Hanya ini bentuk perlindungan yang bisa diberikan Thanay pada putrinya sendiri.

***

Thanay memang terluka parah saat berusaha mencari Mir ke hutan yang menurut kabar ada jalan menuju markas pemberontak. Namun dia yakin dia bertemu Mir di sana, di dalam gua. Di batas kesadarannya, dia melihat Mir menggunakan kekuatan alam untuk memanggil naga.

Jika Mir bisa memanggil naga, jelas perang ini ada arena permainan Mir. Kerajaan bukan apa-apa sekalipun ratusan magi dikumpulkan membentuk perisai sihir.

"Ayah."

"Inatra." Thanay berbaring miring, menatap putrinya yang tidur di sisinya. "Kau terbangun?"

Inatra mengangguk. Tangannya yang kecil mengelus kening Thanay. "Ayah sedih?" tanyanya.

"Ya," aku Thanay.

"Ibu pergi karena mencintai Ayah."

"Kau yakin?" tanya Thanay meragu.

"Aku bisa merasakannya." Inatra memainkan rambut perak Thanay.

"Apakah kau mau pergi ke tempat Ibu?"

Tangan Inatra berhenti memainkan rambut ayahnya. "Apa Ayah memintaku pergi?" tanya Inatra pilu.

"Sekarang Ayah bukan hanya sedih. Ayah juga takut."

"Takut kenapa?"

"Ayah takut tidak bisa menjagamu." Thanay merengkuh Inatra dan mencium puncak kepala putrinya penuh kasih. Ini terlalu berat untuk ditahan sendiri, pikirnya.

"Aku akan menjaga diriku sendiri. Ayah jagalah kerajaan ini dan orang-orang," kata Inatra.

Thanay makin mengetatkan pelukannya. Dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Dia cemas kerajaan akan mengambil Inatra dan menjadikan putrinya objek perang.

"Berjanjilah, jika kau punya sihir, jangan pernah keluarkan kemampuanmu. Jangan biarkan siapapun tahu. Simpan untuk dirimu. Lindungi dirimu. Hanya dirimu," bisik Thanay.

"Itu juga yang diminta Ibu," balas Inatra.

"Mir?" Thanay merenggangkan pelukannya, mencari kebenaran ucapan itu lewat wajah anaknya.

"Kau bertemu ibumu?"

Inatra menggeleng. "Paman Gallea menemuiku dalam mimpi. Dia yang mengatakannya."

"Kau tidak bertemu ibumu?"

"Tidak."

Thanay diam agak lama dan Inatra kembali memainkan rambutnya yang keluar dari kepangan.

"Bisakah kau bertanya kabar ibumu jika pamanmu menemuimu lagi?" pinta Thanay dengan wajah bersemu.

"Aku bisa membantu Ayah bertemu Ibu."

Thanay membelalak. Dia tak berharap putrinya bisa menghubungi Mir duluan, apalagi membantunya berhubungan dengan Mir. Kemampuan ini yang ditakutinya.

###

25/02/2020

SurealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang