🍹 Dua Puluh Tiga

152 32 8
                                    

“Kita sudah sampai, tuan.”

Yunseong yang sejak tadi hanya diam dan menatap kosong ke depan seketika melirik supirnya sekilas. Lelaki Hwang itu diam sesaat sebelum menatap keluar jendela. Masih diam, ia kembali melirik supirnya lalu mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

Setelahnya, lelaki itu turun dari mobil ketika orang kepercayaannya sudah membuka pintu mobil itu. Menatap sekeliling selama beberapa saat, lelaki itu lalu menatap ke arah orang kepercayaannya yang kini sudah menunjuk jalan.

“Lewat sini, tuan. Saya sudah sampaikan pada anaknya kalau anda ingin bertemu.”

“Dia gak keberatan, kan?”

“Sama sekali tidak, tuan.”’

Yunseong mengangguk seadanya. Mereka kini sudah tiba di depan pintu rumah di mana mobil mewah lelaki Hwang itu berhenti tadi. Sang orang kepercayaan mengulurkan tangannya untuk mengetuk pintu. Dan tak butuh waktu terlalu lama hingga pintu bercat coklat itu terbuka.

Ada seorang anak lelaki yang membukanya. Jika Yunseong tebak, anak itu masih sekolah menengah atau mungkin sudah mahasiswa. Ia juga tidak terlalu peduli juga. Yang ia pikirkan hanya informasi yang harus ia dapat dari anak itu.

“Ini tuan Hwang Yunseong yang bertemu denganmu.”

Anak itu hanya diam sejak membuka pintu. Lalu, ketika orang kepercayaan Yunseong itu bicara, ia jadi membuka mulutnya dan mengangguk kecil. Setelahnya, langsung mundur beberapa langkah sebelum membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan Yunseong masuk.

Yunseong masuk dalam diam. Tapi, matanya tidak diam untuk melirik apa saja yang ada di rumah itu. Sedikit pengamatan untuk apa yang ingin ia tahu.

Rumah ini sederhana—terlampau sederhana—tanpa perabot mewah ataupun sejenisnya. Yunseong bahkan berpikir jika rumah itu tidak cocok dikatakan sebagai rumah seseorang yang baru saja menjual tanah dengan harga selangit.

Langsung mengambil tempat ketika sudah dipersilahkan untuk duduk, lelaki Hwang itu mengisyaratkan kepada orang kepercayaannya untuk menahan anak itu ketika anak itu akan pergi untuk menyiapkan sesuatu.

“Gak usah terlalu repot. Saya di sini cuma perlu bicara sama kamu dan gak terlalu lama.”

Yunseong berucap lebih dulu saat anak itu sudah duduk di depannya. Dijawab anggukan yang membuatnya langsung melanjutkan apa yang menjadi tujuannya sampai ke rumah itu.

“Nama kamu?”

“Ahn Seongmin.”

Jawaban pelan itu diberikan. Yunseong mengangguk dua kali sebelum melipat kaki kiri di atas kaki kanannya. “Kamu kerja?” Tanya lelaki itu kemudian.

Anak bernama Seongmin itu mengangguk dua kali. “Iya, saya kerja di minimarket dekat sini.”

“Sejak kapan kamu kerja?”

“Udah lama, sebelum ayah meninggal juga saya udah kerja. Dari kelas satu sekolah menengah atas.”

Yunseong mengangguk lagi. Kini menyatukan ujung-ujung jari tangannya sebelum mengajukan pertanyaan lain pada anak di depannya itu.

“Ayah kamu kerjanya apa sampe kamu juga kerja?”

“Ayah saya cuma karyawan swasta di salah satu perusahaan. Sebenarnya, dulu tujuan saya kerja cuma buat nambah uang jajan aja. Soalnya ayah gak pernah ngasih ke saya.”

“Ayah kamu kerja di mana?”

“TL.”

TL? Perusahaan keluarga Hyeop?

“Saya boleh nanya lebih tentang kematian ayah kamu?”

Yunseong bertanya hati-hati kemudian. Ia tahu topik ini sensitif, sehingga ia akan berusaha sebaik mungkin untuk melakukannya.

Tapi di luar dugaannya, anak itu mengangguk dengan cepat. “Saya emang gak kenal sama anda. Tapi, saya tahu kalo anda yang udah laporin seseorang yang diduga bunuh ayah saya malam itu. Jadi, saya akan ngasih informasi apa aja yang saya tahu, yang sekiranya bisa membantu anda buat nangkap pembunuhnya. Karna sejujurnya, saya masih marah. Saya masih gak terima ayah saya dihilangin nyawanya dengan cara kayak gitu.”

Yunseong kembali mengangguk. Dapat ia tangkap emosi yang terpancar dalam setiap kata yang keluar dari mulut Seongmin. Ia paham—memangnya anak mana yang akan terima ayahnya dibunuh begitu saja?

“Ayah kamu gak dibunuh dan meninggal di sini—tapi di tempat lain. Kamu masih ingat apa yang terjadi malam itu sampai ayah kamu bisa ada di tempat lain? Dia pergikah?”

Anggukan cepat Yunseong terima. Saking cepatnya reaksi yang datang itu, Yunseong berpikir jika anak itu masih mengingat semua dengan sangat baik.

“Ayah gak pergi jauh.” Jawab Seongmin kemudian. “Waktu itu saya baru pulang. Saya sampe di depan rumah dan ayah pamit mau buang sampah. Karna udah mulai larut, saya bilang saya temenin. Ayah mau, tapi ayah jalan duluan karna saya masuk ke rumah buat nyimpan tas dulu—cuma di ruangan ini. Tapi pas saya sampe di jalan depan situ, saya liat ayah saya udah dihajar sama empat orang. Semuanya pake hitam-hitam, ada yang nahan ayah terus ada yang pukul dia. Pas saya mau teriak, ada yang mukul saya di belakang. Gak sekali karna saya sampe pingsan. Tuan bisa liat sendiri kalo keadaan di tempat ini emang sepi, gak ada yang nolongin kita. Saya bahkan baru sadar ketika polisi datang dan ngabarin kalo ayah saya ditemuin meninggal di tempat lain.”

”

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.











Haiii, kalian... Ehehehe, aku terakhir update book ini tanggal 13 Oktober 2021... Maafin ini ngilangnya lama banget. Aku sampe lupa kalo bikin book ini, nasibnya hampir sama kayak Pejuang Tugas Akhir😭😭

Karna udah lama banget, kalian juga pasti udah lupa. Kalo emang masih nyimpan book ini, makasih banyak pokoknya... Yang tiba-tiba kepikiran terus mampir juga makasih banyak... Huhu, karna kalian pasti (karna aku sendiripun lupa😭) kalian baca ulang part sebelumnya ya. Maafin aku ngilang lama jadinya gini...

Huhuhu, apalagi ya... Gak ada deh, jadi makasih sekali lagi karna masih ingat book ini ya. Makasih banyak pokoknya, aku sayang kalian💕💕

Thank you...

THE ANTAGONIST || HwangMini - discontinueDonde viven las historias. Descúbrelo ahora