🍹 Tiga Puluh Tujuh

136 34 1
                                    

“Minhee?”

Minhee mendengus kecil saat telinganya menangkap suara pintu yang diketuk disusul sebuah suara tak asing yang memanggilnya. Ia kini ada di dalam kamar dan sudah jelas siapa yang memanggilnya dari luar sana. Tapi, si manis bermarga Kang itu sama sekali tidak berniat untuk beranjak dan membuka pintu kamar demi bertemu dengan yang di luar sana.

Minhee tidak tahu pasti, tapi ia sungguh tak ingin bertemu dengan Yunseong.

Setelah semua yang sudah terjadi sebelumnya, satu lagi kenyataan lain yang baru ia tahu terasa mempermainkannya. Ia pikir, hidupnya sudah cukup dipermainkan selama ini, tapi kenapa masih ada lagi?

“Hee, buka pintunya.”

Suara Yunseong kembali terdengar dan Minhee kembali mendengus. Ia tidak suka seperti ini.

“Gak mau!”

Tentu jawaban itu diberikannya tanpa berpikir banyak. Ia bukan seseorang yang sedang merajuk sehingga memilih tidak menjawab. Ia memang tidak mau bertemu, jadi akan ia beri tahu.

“Tapi gue mau ngomong sama lo.”

“Tapi, gue gak mau ngomong sama lo.”

“Ya udah kalo gak mau buka, gue buka sendiri.”

“Emang anjing!”

Berucap kesal, pemilik marga Kang itu lalu beranjak dari acara malas-malasannya di atas kasur. Dengan langkah ogah-ogahan, ia bergerak ke arah pintu dan membukanya dengan kasar.

“Apa?” Tanyanya begitu pintu terbuka dan menemukan Yunseong berdiri di sana.

“Gue mau ngomong sama lo.” Jawab Yunseong tenang—atau berusaha terlihat tenang, Minhee juga tidak tahu pasti.

“Ya udah ngomong.”

Tapi Minhee enggan mendengarkannya. Nyatanya, jawaban itu diberikan hanya sebagai bentuk formalitas dan sopan santun ia menjawab Yunseong—walau sejujurnya ia enggan melakukan itu. Ia bahkan tidak menatap yang lebih tua sama sekali.

“Hee, gue—”

“Bilang sama gue kalo lo bohong!”

Tapi lagi, ketika Yunseong belum menyelesaikan kalimatnya, Minhee malah memotongnya dengan sebuah kalimat perintah. Ini terjadi bukan tanpa alasan. Pemilik marga Kang itu enggan diam terlalu lama dalam spekulasi yang membuatnya sakit kepala. Jadi, ia butuh kepastian segera dari yang lebih tua.

“Bilang sama gue kalo lo bohong, bajingan! Mereka bukan orang tua lo!” Dan saat Yunseong tidak langsung memberikan jawaban, kalimat itu ia ulangi lagi—disusul dengan kalimat lain yang tujuannya sama saja. “Iya, kan?”

“Hee, mereka...”

“Iya, kan? Mereka bukan orang tua lo, kan?”

“Minhee...”

“Lo bukan dia kan?”

Minhee kembali diliput tidak tahu, tapi perasaannya kini kalut. Ia tiba-tiba takut kalau-kalau apa yang yang dikhawatirkannya benar-benar nyata. Karena jika itu nyata, rasa sakit karena dikecewakan tengah menunggunya di depan sana.

Tapi, Yunseong yang diam dan seperti tak memiliki jawaban membuat perasaannya semakin tak menentu. Membuatnya berakhir menggeleng—menolak keras apa yang kini bersarang di kepalanya. Ia masih tak ingin perkiraannya itu menjadi nyata.

“Lo bukan kakak kan?”

Pertanyaan lain lagi dan Yunseong masih diam. Itu membuat gelengan yang dilakukan pemilik marga Kang itu semakin menjadi.

“Yunseong, bilang kalo lo bukan kakak! Bilang lo bukan kakak dan gue bakal berhenti marah sama lo. Gue gak akan kesel sama lo lagi, gue gak akan cari gara-gara dan bikin lo kesel lagi.” Ini penyangkalan dan Minhee akan melakukan itu terus. Ia tidak bisa menerima yang satu ini begitu saja. “Bilang kalo lo bukan kakak dan gue akan maafin semua kesalahan lo selama ini. Gue bakal tarik kata-kata gue kemarin soal gue gak mau maafin lo. Gue bakal maafin lo, asal bilang sama gue kalo lo bukan kakak! Ya?”

Minhee tidak ingin kehilangan harapan. Tapi Yunseong yang hanya diam dan menggeleng membuatnya pusing. Lalu saat manik itu menatapnya dengan tatapan bersalah, ia merasa seperti hatinya diremas kuat. Rasanya menyakitkan.

“Yunseong...”

Ia tidak ingin merengek, tapi Minhee sungguh-sungguh tak bisa menerima ini. Rasanya ia ingin melakukan apa saja untuk menolak kenyataan ini—walau itu mencoreng harga dirinya. Oh tentu, dirinya dan Yunseong tidak ada di pihak yang sama—dan merengek pada lelaki itu jelas hal tabu baginya.

“Maafin gue, Hee...”

Tapi apa yang Yunseong ucapkan seakan memukul tepat ke bagian terdalam dari dirinya. Ia yang tadinya hanya merasa dipermainkan, kini merasa disakiti begitu dalam.

“Terus apa lagi?” Tanya pemilik marga Kang itu kemudian. Maniknya sudah terasa panas dan perih—sialan, kenapa ia harus menangis? “Setelah ini apa lagi?”

“Hee...”

“Lo tuh harusnya dijodohin sama gue, ditunangin sama gue—inget kalo perjodohan itu bukan hasil kerja sama perusahaan. Tapi dengan otak sok pinter lo, lo mau-mau aja dibodohin sama mereka dan balik ikut ngelawan gue. Lo ikut campur semua urusan yang gak harusnya lo urusin bahkan sampe nyeret gue ke penjara. Lo tuh...”

Minhee tak lanjutkan ucapannya. Rasanya terlalu sulit untuk dilanjutkan. Apalagi ketika ia tiba-tiba menyadari jika bukan Yunseonglah yang bersalah di sini.

 Apalagi ketika ia tiba-tiba menyadari jika bukan Yunseonglah yang bersalah di sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.














Thank you...

THE ANTAGONIST || HwangMini - discontinueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang