🍹 Dua Puluh Empat

168 31 3
                                    

“Ada empat orang. Jadi udah jelas bukan Kang Minhee kan?”

Yunseong tidak menjawab pertanyaan yang diajukan Yoshi. Malam sudah semakin larut saat ini dan mereka sedang berada di taman belakang rumah Yunseong. Lelaki Hwang itu memaksa sang teman untuk datang setelah ia selesai dengan urusannya bersama anak tuan Ahn.

“Sesuai sama permintaan lo juga, gue udah nyelidikin tentang kasus ini. Di jam yang sama, yang diceritain anak si tuan tanah ini, Minhee ada di tempat kerjanya. Empat orang terlalu banyak buat Minhee sewa untuk ngelakuin ini. Apalagi bunuh orang, bayarannya jelas gak kecil.” Saat Yunseong masih diam, Yoshi melanjutkan ucapannya. “Jelas dia dijebak. Pertanyaannya, siapa yang jebak dia?”

Masih diam dan tak menjawab semua pertanyaan Yoshi, Yunseong masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Itu jelas karena terlalu banyak hal yang terjadi dan terlalu banyak yang ia pikirkan. Otaknya seakan dipaksa untuk bekerja tanpa henti dan ia tidak bisa memikirkan semuanya dalam waktu yang sama.

“TL.” Lalu, setelah diam cukup lama, lelaki Hwang itu akhirnya membuka suaranya dan berucap lirih. “Bocah itu bilang kalo ayahnya kerja di TL.”

“TL?”

Melemparkan tatapannya pada Yoshi, lelaki itu lalu mengangguk pelan. “Dia udah lama kerja di sana.”

“Apa jabatannya?”

“Cuma karyawan biasa.”

“Lo udah tanya sama tunangan lo soal ini?”

Dijawab lelaki Hwang itu dengan anggukan pelan, “gue udah ketemu dia sebelum ketemu sama anaknya tuan Ahn.”

“Terus?”

“Dia bilang kalo dia cuma kenal tuan Ahn sebagai pegawainya. Soal tanah, tuan Ahn sendiri yang pergi ke dia karna gak sengaja denger kalo gue mau beli tanah di sana.”

“Dan lo percaya?”

Yunseong yang sejak tadi sudah kembali menatap kosong ke depan, perlahan membuat gerakan untuk menoleh ke arah Yoshi yang duduk di sebelahnya. Lelaki itu kembali diam—tidak tahu harus menjawab apa.

Apa ia percaya?

Yunseong tidak tahu. Belakangan ini, setelah masalah tanah itu dengan Minhee yang ngotot bahwa ia membeli tanah itu bukan pada pemiliknya dan beragam kejadian yang mengikutinya, Yunseong terlalu sulit untuk sekedar mengatakan bahwa ia percaya pada sang tunangan. Dan ia sungguh tidak tahu kenapa.

“Gue gak tahu.”

“Lo gak tahu?” Dan Yoshi jelas tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Gue gak tahu.” Tapi, masih jawaban yang sama yang temannya itu berikan. “Hyeop yang ngurus semua urusan jual beli tanah itu dan dia yang bawa sertifikat tanahnya setelah transaksi selesai ke gue. Tapi kata orang pertanahan, itu sertifikat palsu. Sertifikat aslinya ada di Minhee dan gue liat sendiri sertifikat itu.”

“Jadi siapa yang lo percaya?” Dan setelah panjang Yunseong, Yoshi tetap kembali pada pertanyaan yang sama.

Yunseong?

Ia kembali diam lagi. Terlalu bingung untuk percaya pada siapa. Di satu sisi, Minhee menjadi jawabannya. Semua bukti cukup mengatakan jika bocah itu yang benar. Tapi, Hyeop tunangannya. Bagaimana bisa ia lebih mempercayai orang lain dari pada tunangannya sendiri?

“Gue gak tahu.”

Dan tidak tahu tetap menjadi jawaban yang sama.

Jawaban Yunseong membuat Yoshi menghela napas. Yunseong tidak tahu apa yang tengah dipikirkan sang teman. Lelaki Jepang itu juga tidak melakukan banyak hal selain menatap gelapnya keadaan di sekitar mereka selama hampir lima menit sebelum kembali menatapnya.

“Gue gak punya saran lain selain nyuruh lo buat buka dan baca berkas itu, Seong.” Ucapnya kemudian. “Lo masih gak tahu lo harus percaya sama siapa. Gue pikir itu udah cukup buat ngasih tahu gue kalo lo emang belum buka dan baca berkas itu.”

Yunseong kembali tidak menjawab. Kembali lagi, terlalu banyak hal yang ia pikirkan sehingga kesulitan untuk menjawab. Lagi pula, apa yang dikatakan Yoshi itu benar dan ia tahu temannya itu akan paham saat ia hanya diam seperti ini.

“Terlepas dari alasan lo kenapa belum buka dan baca berkas itu sampai sekarang, gue mau nyampaiin sesuatu sama lo, Seong.” Mengambil jeda sesaat, Yoshi mengambil kaleng bir miliknya yang terletak di meja di depan mereka. Lelaki itu minum sedikit sebelum melanjutkan ucapannya. “Gue gak maksa lo buat buka berkas itu cepat-cepat, lo pasti lagi banyak pikiran dan pastinya belum siap sama apa yang jadi isi berkas itu. Sekali lagi gue gak maksa, itu hak lo juga. Tapi sebagai temen lo yang udah lama kenal dan bareng sama lo, gue gak mau liat lo kayak gini lama-lama. Saran gue, lo secepatnya buka berkas itu, liat dan pahami isinya baik-baik. Kecewa, marah, kesel, sedih atau apapun perasaan lo setelah liat isi berkas itu, gue pikir lo lebih cepat ngerasain itu dari pada makin lama lagi. Lagian—gue pikir—ini udah lebih dari cukup, Seong. Lo udah terlalu lama dibohongin.”

”

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.















Thank you...

THE ANTAGONIST || HwangMini - discontinueWhere stories live. Discover now