10 • Murka

200 131 19
                                    

Maaf jika aku selalu membuat mu kecewa, percayalah bahwa aku telah berusaha untuk melakukan yang terbaik.
















Keringat dingin telah membanjiri tubuh ku dengan deras saat melihat ayah duduk dengan tenang menyantap makan siangnya.

Ingin beranjak pergi juga tidak bisa lagi, karena ayah telah mengetahui keberadaan ku saat ini.

"Tumben jam segini sudah pulang?" tanya ayah dengan menatap ku tak bersahabat.

"Emm..., hmm..., mmm..., aay--ah," aku begitu gugup dan bingung untuk merangkai kata membalas pertanyaan ayah.

Seketika ayah memincingkan matanya ke arah ku dengan tajam, ia mulai berdiri dan menghampiri ku yang kini tengah dilanda kegugupan.

"Ada apa? Mengapa kamu terlihat panik? Kesalahan apa yang kamu lakukan lagi kali ini?" tanya ayah dengan intimidasinya menatap ku.

"Mmm..., aa-yyah besok sibuk gak?" balik ku menanyai ayah berbasa-basi untuk mengurangi kegugupan dan kegundahan hati ku.

"Cepat katakan! Apa yang sebenarnya terjadi!" bentaknya dengan suara keras yang menggelegar memenuhi isi rumah ini.

"Jangan hanya diam seperti orang bodoh, cepat katakan!"

"KATAKAN!!" dengan kuat dia mencengkram pergelangan tangan ku hingga berdarah karena tajamnya kuku ayah.

Air mata ku tak dapat bertahan lebih lama lagi, ia segera meluncur dengan deras membasahi pipi ini.

Dengan pelan, ku keluarkan amplop pemberian Pak Andi kepada ayah. Ku sodorkan amplop itu dengan sekujur tubuh yang bergetar hebat.

"Aaa--yah, ii--ni."

"Pak Andi meminta ayah untuk datang ke sekolah besok pagi," ujar ku pelan dengan bibir bergetar.

Ayah menatap ku dengan tajam, dan merampas amplop itu dengan cepat dari tangan ku. Seketika ia tersenyum melihat amplop itu, aku tahu isi pikiran ayah saat ini.

Ayah bukan, bukan itu, teriak ku dalam hati.

Sungguh, aku terpana melihat senyuman ayah yang sudah lama tidak terpatri di bibirnya ketika berada di dekat ku.

Dan dengan cepat ia membuka amplop itu mengeluarkan isinya, membaca dengan saksama kalimat-kalimat yang tertera di dalam sana.

Keningnya mengernyit bingung, dan tiba-tiba saja ia merobek surat itu dengan kasar.

Aku bisa melihat tatapan itu di mata ayah, yaitu tatapan yang menyiratkan emosi kemarahan begitu dalam di sana.

Ya Allah, aku takut. Lindungi aku ya Rabb, aku hanya manusia biasa yang lemah dengan keadaan seperti ini, ucap ku dalam hati, air mata ku berjatuhan semakin deras.

Ayah dengan cepat berjalan menghampiri ku, ia menarik hijab ku hingga terlepas. Tarikannya begitu cepat dan keras, lalu ia menarik rambut ku yang sudah tidak tertutupi hijab lagi.

Tarikan ayah begitu kuat hingga helaian rambut ku berjatuhan di lantai.

Plak

Ia menampar pipi ku dengan kasar, darah segar segera mengucur deras dari bibir dan gigi yang terkena tamparan ayah.

"Saya kira kamu membawa uang beasiswa itu, tapi ternyata kamu malah mempermalukan saya lagi!!" ucap ayah dengan emosinya, ya ayah mengira isi amplop itu adalah uang beasiswa yang biasanya aku terima setiap bulan. Bukan beasiswa kecerdasan, melainkan beasiswa yang diberikan pemerintah bagi siswa yang kurang mampu, seperti diri ku.

"DASAR TIDAK BERGUNA."

"SELALU MENYUSAHKAN!"

"BELUM PUAS MEMPERMALUKAN SAYA!!"

"MEMANG SEHARUSNYA SAYA TIDAK MENYELAMATKAN MU DULU, LEBIH BAIK SAYA BIARKAN SAJA KAMU HINGGA TIADA!"

Deg

Hati ku hancur begitu mendengar kalimat terakhir yang ayah ucapkan. Tangisan ku begitu kencang, air mata sudah membanjiri seragam sekolah yang ku kenakan saat ini.

"SAYA MENYESAL!!!" teriak ayah kencang, dan membenturkan kepala ku ke meja makan.

Pusing, itulah yang aku rasakan saat ini. Penglihatan ku mulai gelap, kepala ku pun ikut berkunang-kunang, hingga aku merasakan darah yang mulai menetes dari hidung.

Aku mendongak menatap ayah, dengan binar mata untuk meminta pertolongan padanya.

Ayah tanpa minat memandang ku, ia segera melangkahkan kakinya meninggalkan dapur membiarkan aku sendirian menahan rasa sakit ini.

"Aaa---y," belum sempat aku menyelesaikan ucapan ku, aku telah pingsan.















*******
















Perlahan kelopak mata ku terbuka dan segera menyesuaikan cahaya sekitar.

Ssshhhh

Ringis ku pelan sambil memegang kepala bagian belakang.

Siapa yang telah membawa ku ke kamar? Apa mungkin ayah? tanya ku dalam hati.

Setelah melihat sekeliling , aku baru menyadari bahwa ini adalah kamar ku.

Ketika aku akan duduk untuk bersandar di kepala ranjang, pintu kamar ku terbuka secara kasar.

Aku melihat Asya yang datang membawa air minum, ia meletakkan air itu diatas meja dengan hentakan yang keras.

Lalu ia menatap ku dengan kesal.

"Oohh udah sadar ternyata, kirain gak bakal buka mata lagi untuk selamanya."

"Nyusahin banget sih!" ucapnya kasar, sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Bisanya cuma ngerepotin orang doang," tiba-tiba Astra datang dan menyahuti ucapan Asya sebelumnya.

"Dipikir ngangkat kakak ringan, ngerepotin aja bisanya," ujar Astra dengan datar.

Jadi yang membawa ku ke kamar adalah Astra dan Asya? Bukan ayah? Ahh, mana mungkin ayah peduli pada ku, miris ku dalam hati, sangat sedih rasanya mengetahui hal ini.




































Bismillah up lagi nih 🙌🏻

Happy Reading ✨
Jangan lupa tinggalkan jejak ya 👣

Gimana pendapat kalian setelah membaca part ini?

Luka Tersembunyi [END]Where stories live. Discover now