11 • Ibu

189 119 20
                                    

Kau adalah hadiah terbaik yang Allah swt berikan kepada ku, dapatkah aku mendapatkan kasih sayang itu kembali ibu?
















Setelah lontaran kalimat-kalimat menyakitkan itu, Astra dan Asya meninggalkan ku sendiri di kamar ini.

Betapa sakit dan hancurnya hati ku hari ini, masalah-masalah silih berganti berdatangan menghampiri diri ku.

Ingin menyerah, tapi aku malu kepada Allah swt, malu kepada makhluk-Nya yang mungkin di luar sana menghadapi masalah yang lebih berat lagi dari pada masalah ku ini.

Dendam? Tak terbesit sedikit pun di dalam hati maupun pikiran ku kata tersebut. Bagaimana pun mereka adalah hadiah terindah yang diberikan Allah swt kepada ku, aku terus berdoa agar dapat kembali ke masa dimana perlakuan mereka yang begitu hangat.

Aku berharap Allah swt mendengar doa yang setiap hari ku langitkan ini, semoga saja aku masih bisa merasakannya kembali.

Selesai menunaikan ibadah sholat magrib aku termenung memikirkan masalah yang ku hadapi saat ini.

Kruyuk......, kruyuk.....

Ah tidak, perut ku berbunyi meminta untuk segera diberikan asupan makanan. Setelah kejadian itu, aku belum makan sama sekali hingga malam ini. Pantas saja perut ku berbunyi begitu nyaring, itu adalah tanda alaram alami untuk mengingatkan setiap orang makan.

Hari ini aku juga tidak berkerja, mana mungkin aku berkerja dengan keadaan yang memperihatinkan seperti sekarang. Aku telah meminta izin kepada Tante Ami, sebenarnya aku merasa tidak enak kepada beliau. Tapi bagaimana lagi, tidak mungkin aku datang ke sana dengan keadaan penuh lebam begini.

Bisa saja semua orang disana takut kepada ku, dan mengira aku hampir dibunuh oleh seseorang. Walau ya, sebenarnya hampir begitu kenyataannya.

Aku telah berbohong kepada Tante Ami, aku mengatakan bahwa saat ini aku tengah terserang demam. Semoga saja Tante Ami tidak memberitahukan Dina akan hal ini, bisa gawat jika dia tahu dan menyusul ke sini untuk melihat keadaan ku.

Saat ini aku benar-benar lapar, dari tadi aku hanya menghabiskan waktu di kamar ini. Aku tidak cukup berani untuk keluar kamar dan menuju dapur mengambil makanan di sana.

Dan sedari tadi juga aku menunggu Asya untuk mengantarkan makanan kepada ku, padahal aku tahu bahwa itu tidak akan pernah terjadi. Tadi saja saat ia membawakan air minum, aku sudah mengucapkan syukur berkali-kali.

Aku tahu ia mengkhawatirkan keadaan ku, tapi gengsi yang besar menghalangi hal tersebut. Karena ikatan batin darah antara kakak dan adik saling terhubung, apa yang aku rasakan saat ini mungkin ia juga merasakan hal yang sama dihatinya.

Karena tak tahan lagi untuk menahan rasa lapar ini, aku memberanikan diri untuk ke dapur dan mengambil makanan disana guna mengisi perut ku yang kosong ini.

Aku membuka pintu kamar dan berjalan perlahan menuju ke arah dapur, suasana di rumah ini begitu senyap. Bukan, maksud ku saat aku di kamar dari tadi juga tidak mendengar suara apa pun.

Kemana mereka semua pergi? tanya ku dalam hati dengan penasaran.

Karena tidak biasanya seperti ini, biasanya ayah, ibu, dan kedua adik ku sudah berada di rumah semua jam segini.

Tapi sekarang dimana keberadaan mereka semua, tidak terlihat sedikit pun batang hidungnya.

Aku tak ambil pusing segera aku duduk di meja makan dan membuka tudung saji disana. Tapi disana kosong, tidak ada satu pun makanan yang tersisa.

Luka Tersembunyi [END]Where stories live. Discover now