21 • Misi

129 63 15
                                    

Setiap manusia memiliki visi dan misinya sendiri dalam menjalani hidup, kita tidak bisa memaksakan agar visi dan misi yang kita miliki harus sama dengan setiap orang.













Karena sedang libur untuk menjalankan kewajiban bagi seorang muslim, aku memutuskan untuk menyiapkan sarapan di dapur lebih awal. Agar waktu yang ku gunakan tidak terbuang sia-sia, dengan berbekal resep yang diberikan oleh mendiang nenek aku berkecimpung dengan berbagai masakan.

Rasanya memang tidak seenak buatan nenek, tapi setidaknya masakan ku layak untuk dikonsumsi.

Aku melihat ibu yang bergabung bersama ku di dapur, ia menyiapkan kopi untuk ayah. Sejujurnya aku sangat ingin membuatkan kopi untuk ayah, tapi ayah tidak sudi untuk meminumnya jika tahu itu adalah buatan ku.

Sebenci itukah ayah terhadap ku? Namun rasa sayang ku kepada keluarga ini mengalahkan segalanya, prioritas ku adalah mereka.

"Bu, bagaimana kabarnya?" tanya ku, karena bekerja sambil bersekolah waktu ku untuk berkumpul bersama keluarga sangat sedikit.

Itu seperti pertanyaan orang asing yang begitu kaku, namun aku berusaha untuk mencairkannya.

Ibu menoleh kepada ku sekilas, "Baik," jawabnya singkat,

"Alhamdulillah."

"Ibu hari ini berangkat kerja lebih awal?"

"Menurut kamu? Saya bekerja menjadi pembantu di rumah orang itu karena ulah kamu!"

"Jika saja waktu bisa diputar kembali, saya tidak akan setuju untuk melakukan itu dulu!"

"Lihatlah sekarang, hidup saya berubah 360 derajat," kekeh ibu dengan sinis.

Kemudian ibu berlalu membawa nampan yang berisikan kopi ayah, perkataan ibu begitu menusuk hingga ke ulu hati ku.

Aku tertunduk sedih jika diingatkan suatu kejadian dulu yang merubah nasib keluarga ini, semuanya perkara diri ku.

"Gak usah pura-pura sedih, harusnya yang sedih di sini kita. Gara-gara kakak kita semua kena imbasnya," sela Asya dengan judes, aku tidak tahu kapan kedua adik ku ini memasuki dapur.

Tapi sepertinya saat perkataan ibu barusan mereka telah berdiri di sini dan mendengarkannya.

"Bener kata ibu, kalau waktu bisa diulang, sekarang kita gak bakalan jadi MISKIN!!" tekan Astra tajam.

"Kakak tau, aku sampai harus nunggak bayar uang sekolah. Bahkan uang jajan ku juga terbatas, semua itu karena kakak!"

"Emang pembawa masalah sih, kenapa gak mati aja ikut nenek waktu itu jadi gak susah kayak sekarang!" bentak Asya.

"Ass--ya," ucap ku bergetar mendengar perkataan adik bungsu ku ini. Sungguh jika mendapat pilihan, aku tidak akan memiih untuk merasakan kejadian di masa lalu. Tapi bagaimana lagi, itu sudah garis takdir yang harus ku lalui.

"Gak mood banget pagi-pagi udah marah-marah."

"Males banget, selain pembawa masalah juga perusak mood orang."

"Emang lebih baik mati aja sih, gak nyusahin banyak orang. Yoklah bang, tinggalin ni orang."

Lagi, perkataan menyakitkan itu terucap kembali dari bibir Asya. Sepertinya dia memang sangat memenci ku, karena aku finansialnya terbatas.

Maaf maaf maafkan aku, tangis ku dalam hati.

Selanjutnya Astra mengikuti Asya untuk meninggalkan area dapur ini, dia hanya melihat ku dengan tatapan tajam dan datarnya.

Luka Tersembunyi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang