15 • Pulang

165 88 9
                                    

Ku kira rumah adalah tempat untuk pulang ketika lelah dari semua ini, ternyata aku salah. Pulang yang sebenarnya hanyalah kepada-Nya, sudah terjamin ketenangannya.














Suasana di dalam mobil terasa begitu mencekam dan canggung, tidak ada satu suara pun yang berusaha untuk memecah keheningan ini.

Hanya deruan mesin mobil serta suara klakson kendaraan lain yang terdengar, selebihnya diam seakan mengunci mulutnya rapat-rapat.

Posisi ku berada di deretan kedua dan paling pinggir sebelah kanan belakang supir, di samping ku ada Abi dan Irwan. Sementara di deretan paling belakang di tempati oleh Farel dan juga Tio.

Sedangkan yang duduk di bagian kemudi yaitu Jio, dan di sampingnya terdapat Arga. Hanya aku perempuan yang berada di sini, namun karena amanah yang diberikan bang Lian kepada mereka untuk mengantar ku sampai di rumah dengan aman, membuat ku sedikit lebih tenang.

Aku tidak tahu mobil siapa yang sedang aku tumpangi sekarang, tapi saat di parkiran restaurant tadi aku sempat mendengar percakapan mereka bahwa Arga lah pemilik mobil ini.

Saat aku mengamati ke depan dashboard mobil di sana dengan jelas terukir nama seseorang dengan balutan stiker, Arga Mahendra.

Apakah itu nama panjangnya? pikir ku dalam hati.

Hanya dua kata, namun berhasil membuat hati ku tak menentu. Entah perasaan apa ini, aku sedang berusaha untuk menepisnya.

Karena bosan aku mengamati mereka satu per satu, Arga yang sedang memejamkan matanya. Jio yang fokus menyetir, Abi dan Irwan yang tertidur, serta Farel dan Tio yang sepertinya sedang bermain game di handphonenya.

"Ji, nanti berhenti di persimpangan depan ya," teriak Tio dari belakang. Sepertinya mereka telah menyelesaikan acara bermain game onlinenya.

Akibat teriakan Tio tersebut, Abi dan Irwan terbangun dari tidurnya. Aku cukup terganggu dengan suara itu sebenarnya, tapi lebih baik begini bukan, dari pada hening seperti tadi.

"Bego suara lo anjiirr.., ga bisa pelan napa," ucap Abi serak, khas orang bangun tidur.

"Lo kalau mau teriak-teriak jangan di sini lah anjim, di hutan sono," tambah Irwan yang terlihat kesal,

"Lah napa lo yang pada sewot sih njing, noh yang punya mobil kalem bro."

"Sirik aja lo," sewot Tio dari belakang.

"Kan bisa pelan anjir ngomongnya, lo sama Jio jaraknya gak sampai 5 meter dongo."

"Ngomong pelan juga dia bakal denger," balas Abi sembari menghadap ke kursi belakang.

"Dia kadang suka budeg kalau di panggilin, makanya gue teriak."

"Jadi harus pakai suara extra," ucap Tio.

"Bangsat lo, kuping gue masih normal ya. Kuping lo tuh yang budeg," kesal Jio. Aku bisa melihat raut wajah itu dari kaca spion depan, dan di sana aku juga dapat melihat Arga yang sedang membuka matanya.

Sepertinya dia terganggu dengan perdebatan ini, aku masih memantau gerak-gerik Arga hingga, dia menatap ku balik dari kaca spion itu.

Segera ku arahkan pandangan ke samping kaca mobil, pura-pura melihat kendaraan yang lewat. Untuk menghindari aksi ku yang diam-diam memperhatikannya, bahkan tertangkap basah pula. Memalukan sekali.

"Canda Ji, sensi amat lo," tawa Tio membahana dari belakang.

"Gila," ucap Irwan dan Abi yang melihat kelakuan Tio barusan.

"Woy Ji, jangan kelewatan persimpangannya."

"Gue mau beli cilor, udah lama gue pengen itu. Mumpung inget ini,"

Luka Tersembunyi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang