31 • Murka Ayah 2

106 23 1
                                    

Aku juga ingin merasakan kasih sayang yang tulus dari mu ayah, tapi sepertinya hal itu mustahil untuk ku dapatkan sekarang. Harus menunggu berapa lama lagi agar aku dapat merasakannya kembali?















“JAWAB!!”

“Lihat jam berapa sekarang! Anak perempuan mana yang baru sampai rumah jam segini!”

Aku hanya bisa tertunduk menerima cacian dan amarah ayah, bagaimana pun ini adalah konsekuensi yang harus ku terima akibat kesalahan yang telah ku lakukan.

Sambil menyeka darah yang semakin menetes deras, aku menangis menahan semua ini. Sakit sekali ya Allah.

Aku mendengar derap langkah kaki ayah yang mulai menuju ke tempat ku berdiri saat ini, dengan rasa resah di hati, menanti apa yang akan ayah perbuat selanjutnya.

Ayah menarik hijab yang ku kenakan, membuat manik mata ku bertubrukan dengan manik mata ayah yang menyiratkan emosi besar di dalamnya.

“Saya dari tadi berbicara dengan kamu anak sialan!”

“Lihat diri mu, sudah seperti perempuan murahan!”

“Di mana kamu jual diri hah?”

“MEMALUKAN!!”

“MALU SAYA MEMILIKI ANAK SEPERTI MU!”

“MENGAPA KAMU TIDAK MATI SAJA BIADAB! AGAR HIDUP SAYA TENANG!”

Ayah menghempaskan tubuh ku pada dinginnya lantai, lutut ku lecet karena tersungkur keras. Berapa banyak lagi luka yang akan tercipta pada tubuh rapuh ini, sulit sekali rasanya untuk mendapatkan ketenangan sebentar.

Ada saja masalah yang datang bertubi-tubi menghampiri, mungkinkah itu adalah tanda kasih sayang Allah swt kepada hamba-Nya?

“Kamu tau,” gumam ayah menatap ku tajam.

“Saya telah kehilangan masa kejayaan karena kamu! Reputasi, pekerjaan, dan hidup yang layak, semuanya hancur karena kamu!”

“SAYA MENYESAL TELAH MELAKUKAN HAL BODOH ITU DULU!”

Deg

Hal bodoh? Perasaan ku hancur mendengarnya, mengapa ayah mengatakan itu. Aku juga tidak ingin merasakan itu dulu, tapi itu sudah terjadi dan semua ini pasti ada hikmahnya. Tetapi ayah tidak melihat dari sisi tersebut. Ayah, aku juga sakit merasakannya dulu.

Dia menarik dagu ku yang terkena tetesan darah dari dahi dengan kasar, bisikan setan telah mengalahkan logikanya. Dengan tak berperasaan dia melampiaskan seluruh amarahnya kepada ku, tamparan, tendangan, hingga pukulan kencang di kepala, sehingga menghantam meja ruang tamu.

Sakit, itu yang dapat aku definisikan sekarang. Sementara aku melihat ibu dan kedua adik ku hanya menyaksikan kekerasan ini, tanpa berniat memisahkan aku dengan ayah yang sedang dikuasai emosi.

Ibu tidak ingin menarik ku ke dalam pelukannya, memberikan rasa tenang dan juga aman. Dia hanya menatap ku datar sambil bersedekap dada, seakan mengatakan, rasakan akibatnya karena telah melakukan kesalahan fatal kali ini.

Tubuh ku mati rasa menerima semua perlakuan ayah, darah sudah bercecer di mana-mana karena besarnya luka yang ditorehkan ayah kepada ku.

“Sekarang!” desisnya pelan sambil menjambak rambut ku yang sudah tidak tertutupi hijab.

“KELUAR DARI RUMAH INI!”

Bagai tersambar petir di sebuah gurun yang gersang, hati ku berdenyut sakit mendengar itu. Seorang ayah tega mengusir anak kandungnya sendiri, dimana hati nuraninya sebagai orang tua.

Luka Tersembunyi [END]Where stories live. Discover now