36 • Pengorbanan

109 17 2
                                    

Tidak ada pengorbanan yang mudah, dan juga tidak ada pengorbanan yang sia-sia. Semua itu tergantung bagaimana kamu menghargai usaha yang telah dilakukannya.
















“Na bangun, kita udah sampai.”

“Na….” Bu Sila menggoyangkan pundak ku dengan lembut.

Aku mengerjapkan mata pelan untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina. Setelah berhasil mengumpulkan nyawa, aku menatap Bu Sila dan Pak Aryo yang telah berdiri di samping mobil.

Apakah kami sudah sampai? batin ku. Jantung ku berdetak tak menentu mengingat apa yang akan aku lakukan di sana nanti. Ya Allah, kuatkanlah hamba-Mu yang lemah ini.

“Maaf saya bangunkan Na, soalnya kita sudah sampai.” tutur Bu Sila pelan.

“Kamu keliatannya pulas sekali tidurnya, jadi saya tidak tega bangunin. Kami tunggu dua puluh menit baru saya berani membangunkan kamu.” lanjut Bu Sila tertawa pelan.

Aku meringis menahan malu, bisa-bisanya aku tertidur dengan nyaman di mobil mereka. Padahal aku tahu, ini adalah suatu kesalahan.

“Maaf Bu, Pak. Saya tidak bermaksud melakukan seperti itu,” sesal ku tertunduk menahan keresahan hati.

“Melakukan apa? Tidur? Itu bukan kegiatan haram, semua orang butuh tidur.” tawa Pak Aryo menyahuti ucapan ku.

“Iya benar, kamu ini ada-ada aja Na.” sela Bu Sila ikut tertawa bersama suaminya.

“Humm, saya merasa tidak enak dengan hal itu. Jadi merepotkan kalian,”

“Astaga, repot apanya. Cuman bangunin kamu gini, bukan suruh mendaki dan turun gunung, ribetnya dari mana coba.” lanjut Pak Aryo masih dengan sisa tawanya.

“Hahahaha…., kamu ini Na.”

“Kamu masih sekolah?” tanya Bu Sila penasaran.

“Iya Bu, sebentar lagi lulus SMA.” jawab ku sopan.

“Beneran? Adik ipar saya juga seusia kamu loh. Cuman bedanya dia jenis kelaminnya cowo.” canda Bu Sila tertawa.

“Kamu sekolah di mana?”

“Mmm…, di SMA Negeri 1 Kota.” jawab ku pelan.

“Seriously? Adik ipar saya juga di sana loh, kalian satu sekolah berarti.” ucapnya terlihat heboh.

“Iya kan Mas, si Tama sekolah di situ?” tanyanya memastikan kepada sang suami.

“Iya.”

“Nah bener, kalau kamu jurusan apa? Kelas 12 apa?” tanya beruntun, sepertinya jiwa-jiwa keingintahuannya sangat tinggi sekarang.

“Saya jurusan IPA, kelas 12 IPA 1 Bu.” jawab ku sopan.

“IPA ya, adik ipar saya jurusan apa ya? Saya tiba-tiba lupa.”

“Tama jurusannya apa Mas?”

“Kurang tau, Mas nggak pernah tanya.”

“Kamu gimana sih! Jadi abangnya masa gak tau.” semprot sang istri terlihat kesal.

“Dia gak pernah cerita, Mas males nanya sama anak modelan dia.”

“Halah.., bilang aja gak peduli.”

“Mas peduli ya, kamu jangan nuduh begitu. Dosa fitnah suami.”

“Memang kenyataan Mas, kamu kalau sama dia udah kayak patung pancoran, gak jelas.”

“Kamu tau sendiri dia bentuknya begitu, jauh dari Mas.”

“Hilih…, narsis.”

Sepasang suami istri itu terus berdebat mengenai tentang adik iparnya, sang suami yang terlihat biasa saja, dan istrinya yang terlihat menahan kesal.

Luka Tersembunyi [END]Where stories live. Discover now