42 • Hari yang Buruk

81 18 1
                                    

Entah kesialan apa yang aku alami sekarang, hingga hari-hari yang ku lalui terkesan tidak sesuai dengan ketentuan-Nya. Ini sial atau hanya uji coba?

















Aku berlari dengan keringat yang mengucur deras untuk sampai di kelas. Pintu kelas yang sudah tertutup rapat, dan sudah terdengar penjelasan guru yang sedang mengajar di dalamnya.

Dengan perasaan gundah, aku mengetuk pintu tersebut. Sontak saja seisi kelas menoleh ke arah ku dengan tatapan yang tidak menyenangkan, dan di depan sana Bu Sinta tengah menerangkan materi pelajaran di papan tulis.

“Asslamu’alaikum, permisi.” ucap ku sebelum memasuki kelas dengan menunduk.

“Dari mana saja kamu?” tanya Bu Sinta.

“Tadi saya ke toilet dulu Bu,” alasan ku berbohong kepadanya.

“Ke toilet hampir satu jam pelajaran? Yang benar saja!”

“Saya tau kamu pasti sengaja membolos di mata pelajaran saya kan!”

“T-tidak Bu, saya beneran izin ke toilet tadi.” dengan gagap aku membantah perkataannya.

“Saya tidak ingin mendengar alasan konyol itu! Silahkan keluar dari kelas ini, dan bersihkan semua halaman sekolah!”

“T--tapi Bu……”

“Jangan membantah, cepat kerjakan!”

“Tunggu apalagi? CEPAT KELUAR SEKARANG!!” bentak Bu Sinta dengan emosi yang menggebu-gebu.

“B-baik Bu, saya izin permisi.” pamit ku lirih.

Dengan perasaan kecewa dan sedih aku meninggalkan area kelas menuju halaman sekolah sesuai yang diperintahkan oleh Bu Sinta tadi.

Membersihkan halaman tersebut dari ujung ke ujung sampai matahari benar-benar terasa membakar kulit. Keringat mengalir deras membasahi seragam sekolah yang ku kenakan, hingga bulir-bulir keringat tersebut berjatuhan karena sudah melebihi kapasitasnya.

Jam pulang sekolah akan berbunyi sebentar lagi, sementara hukuman ku belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Hingga suara seseorang yang amat ku kenali membuat diri ku berjengkit kaget akibat sapaannya.

“Hai Na.” serunya dari jauh. Aku melihat asal datangnya suara itu, ternyata pemilik suara tersebut ialah Abi Manaf Saputra. Dia melambai dan menghampiri ku dengan senyuman manis yang terpartri dari bibirnya.

“Hehehe.., asslamua’alaikumnya lupa.” kekehnya meringis malu.

“Wa’alaikumsallam,” balas ku cepat.

“Sumpah, dari tadi gue merhatiin lo di depan toilet itu. Gue kira itu bukan lo Na, kirain itu halusinasi gue aja. Tapi pas gue fokusin lagi pandangan gue, baru gue yakin itu lo.”

“Sumpah, gue kangen banget. Seminggu ini lo ke mana aja?” tanyanya dengan mimik yang serius. Aku begitu kaget dengan kalimat pertama sebelum pertanyaannya, apakah itu sebuah pernyataan bagi pria yang sedang menyukai seorang wanita?

Seolah tersadar dari ucapannya karena melihat kediaman ku dengan raut wajah yang sedikit kaget, dia langsung membenarkan perkataannya dengan salah tingkah.

“Anu.., ma-aksud gue g-gini, lo ngilang ke mana minggu lalu?” tanyanya kembali dengan gugup.

Aku terkekeh pelan melihat wajah malu-malu yang tampak kentara dari raut mukanya, masih dengan sisa tawa tersebut aku menjawab pertanyaannya.

“Kemarin ada acara keluarga mendadak, jadi lupa izin buat surat.”

“Bukan karena masalah Arga itu kan?” tanyanya memastikan, astaga sudah berapa orang hari ini yang menanyakan perihal yang sama tentang itu.

Luka Tersembunyi [END]Where stories live. Discover now