17 • Harga

161 79 9
                                    


Terkadang suatu hal tidak dapat ditukarkan dengan sebuah nilai maupun dengan sebuah harga, walau hal itu bergitu sangat penting.













Pagi ini aku sudah tiba di sekolah dengan keadaan suasana sekolah yang masih sepi, hanya ada tukang kebun dan satpam sekolah.

Hari ini adalah hari Senin, aku memutuskan untuk berangkat lebih awal untuk menghindari kemacetan serta berusaha agar tidak terlambat lagi.

Aku tidak ingin ayah dipanggil kembali, dan bisa ku pastikan jika hal itu terulang kembali maka ayah tidak akan datang.

Sebenarnya suasana hati ku saat ini begitu gelisah, dan salah satu tujuan ku berangkat pagi ialah untuk menghindari seseorang.

Aku tidak dapat menebak hal apa yang akan terjadi jika dia mengetahui hal itu, begitu menakutkan bagi diri ku.

Ya Allah bantu hamba untuk melewati semua ini, aku percaya kepada-Mu ya Allah. Selama ini aku belum pernah kecewa akan takdir yang Engkau gariskan kepada hamba.

Sepuluh menit terakhir sebelum upacara dimulai sudah banyak siswa dan siswi yang berdatangan. Bahkan aku telah melihat Dina sudah memasuki kelas dengan senyum lebarnya, hingga suara membahananya yang mengalahkan speaker sekolah.

"Nanaaaa......., saayangg...."

"Akhirnya bestie gue udah sembuh, senengnya." Teriak Dina berlari memeluk ku dengan erat,

"Asslamu'alaikum dulu Din. Kebiasaan deh."

"Hehehe....., wa'alaikumsallam."

"Aduh lepas deh, sesek nih kamu peluknya kenceng banget."

"Sorry deh, eh bentar Na lo masih sakit? Kok pakai masker?"

"Eh.., emm., iya Din," jawab ku gugup, lagi dan lagi aku harus melakukan kebohongan berlanjut.

Luka pada tubuh dan wajah ku masih terlihat jelas, sehingga aku masih menggunakan masker ketika keluar rumah.

Jika Dina mengetahuinya mungkin dia akan berteriak histeris, melihat wajah ku yang benar-benar terluka parah.

"Kemarin lo waktu izin sakit tapi malah berangkat kerjakan?" tanya Dina memincingkan matanya.

"Bang Lian kemarin WA gue, makanya gue tau."

"Lo nih ya, kalau dibilangin batu banget kadang heran gue. Apa salahnya istirahat total di rumah," ceramah Dina sembari menatap ku dengan tatapan tajam gaya andalannya, ketika dia merasa kesal tingkat akut dengan seseorang.

Tapi bukannya takut, aku justru tersenyum kecil melihat itu. Menurut ku ekspresi Dina saat ini begitu menggemaskan, bukannya kelihatan galak malah menjadi cutie.

"Lo dibilangin malah senyam-senyum lagi."

"Awas aja gue denger lagi kejadian kayak sebelumnya, gue gak bakalan ngomong lagi sama lo," ancam Dina dengan wajah yang dibuat sok galak, lihatlah matanya berusaha untuk melotot tajam. Lucu sekali.

"Iya Din iya, ini yang terakhir kalinya deh," jawab ku memeluknya.

"Gitu terus lo kalau dibilangin ngeyelan, batu banget."

"Iya Dina sayang, gak lagi deh."

"Hm," aku tertawa melihat respon yang diberikan oleh Dina, berusaha untuk menjadi cewek dingin.

Bel upacara mulai dibunyikan, artinya upacara akan dilaksanakan. Semua siswa dan siswi berlarian menuju lapangan utama, tidak terkecuali aku dan Dina.

Naasnya aku melihat orang yang sedang aku hindari sekarang, dia berdiri di depan kelasnya dengan tatapan datar.

Luka Tersembunyi [END]Where stories live. Discover now