41 • Target

72 16 0
                                    

Apa yang harus aku lakukan agar kemarahan mu pada ku mereda? Aku tau kesalahan yang telah ku lakukan sudah sangat melampaui batas kesabaran mu.
















Dengan perasaan sedih aku keluar dari ruangan tersebut, tertunduk lemas seakan tidak memiliki gairah untuk hidup.

Apa yang harus aku katakan kepada ayah nanti? Sebelumnya ia telah mengancam ku untuk tidak lagi ikut campur dalam masalah seperti ini.

Aku meremas lembaran kertas tersebut sebagai penyalur emosi. Aku tahu kelulusan telah menanti di depan mata, dan sejujurnya jika boleh memilih, aku tidak ingin absen satu hari pun untuk melewati masa-masa terakhir di sekolah ini.

Tapi, apa boleh buat. Karena insiden yang sebelumnya aku terpaksa merelakan masa depan ku, demi suatu hal yang sangat berharga di dalam hidup ku.

Langkah kaki yang begitu lemas dan berat terus aku paksakan untuk sampai di kelas. Jam istirahat hampir habis, aku tidak ingin menambah masalah berurusan dengan guru mata pelajaran selanjutnya.

Sisa-sisa kehidupan di sekolah ini, akan aku gunakan untuk menebus semua kesalahan dan kecerobohan yang telah aku lakukan selama tiga tahun menimba ilmu di tempat ini.

Akan aku pastikan dengan kerja keras yang diiringi oleh doa, suatu hari nanti aku akan mengukir indah kenangan terakhir di sekolah ini.

Bel masuk telah berbunyi dengan nyaring, pertanda jam pelajaran selanjutnya akan segera di mulai. Ku percepat langkah kaki ku dengan terburu-buru untuk segera sampai di kelas, sebelum guru yang bersangkutan datang untuk mengajar.

Karena tergesa-gesa dan diliputi kepanikan, aku tidak memperhatikan arah jalan dengan begitu baik. Hingga aku menabrak seseorang dan membuat tumpukan buku yang dibawanya terjatuh di koridor.

Bruk

“Aduh…,” ringisnya menahan sakit.

“Ya Allah maaf ya, saya buru-buru gak memperhatikan ke depan dengan jelas tadi.” mohon ku merasa bersalah.

“Makanya mata tu difungsiin, bukan jadi pajangan!” sungutnya menatap ku tajam.

“Sekali lagi saya minta maaf ya, sini biar saya bantu.” tawar ku untuk menggapai tangannya agar berdiri kembali.

Dia menolak bantuan yang aku berikan dan menepisnya dengan kasar, “Gak perlu gue bisa sendiri!”

Aku segera memungut buku yang terjatuh tersebut dan mengumpulkannya menjadi satu. Segera ku berikan tumpukan buku tersebut kepadanya sambil meminta maaf kembali.

“Ini bukunya, maaf banget buat kesalahan yang telah saya lakukan tadi.” lirih ku menyesali.

“Gak heran sih, soalnya lo kan emang pembawa kesalahan. Di mana ada lo, di situ kecerobohan terjadi!” ucapnya sarkas dan mengambil buku tersebut dari tangan ku.

Kemudian dia segera pergi menuju kelasnya. Aku sempat melirik namtag yang berada di bajunya ‘Kirana’ itulah namanya, anak jurusan bahasa. Menghela nafas pelan, aku kembali melanjutkan langkah untuk sampai di kelas.

Namun naasnya, aku bertemu dengan seseorang yang sedang aku hindari dari minggu lalu. Dia berdiri menjulang tinggi dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya. Berdiri di ujung koridor yang berbatasan langsung dengan toilet guru.

Tatapannya begitu dingin dan tajam, raut wajah datar tercetak jelas pada dirinya. Dengan susah payah aku menelan ludah saat mengetahui dia mulai berjalan mendekat ke arah ku. Koridor saat ini begitu sepi, karena para murid dan juga guru sudah berada pada aktivitasnya masing-masing.

Insting ku mengatakan bahwa ini adalah alaram bahaya, aku harus segera pergi dari hadapannya. Saat dia melangkah menuju ke tempat ku berdiri, aku langsung balik badan untuk menghindarinya.

Sayangnya aku kalah cepat, dia menarik ujung hijab putih yang aku kenakan dengan kasar. Tubuh ku secara otomatis berputar dan berusaha untuk melepaskan jeratan itu dari tangannya.

Tapi, dia malah menarik hijab ku dengan begitu kencang sampai aku terhuyung ke depan membentur dada bidangnya. Aroma maskulin tercium jelas pada posisi ini, pipi ke merona saat aku tahu bahwa kami begitu dekat sekarang.

Bahkan aku melupakan ketakutan ku, dan malah menikmati momen yang mengukir dosa ini. Jantung ku berdetak dengan cepat, hampir seminggu aku tidak bertemu dengannya, membuat dada ku membuncah hebat seakan bertemu dengan seorang kekasih.

Apakah aku telah menyukai laki-laki arogan dan kasar ini? Mungkinkah aku telah jatuh hati padanya? Perasaan itu membuat aku menjadi bingung hingga detik ini.

“Menikmati hm?” bisiknya datar tepat di samping telinga ku yang tertutup hijab.

Jantung ku semakin tidak menentu dibuatnya, astagfirullah ke mana perginya akal sehat ku, aku membutuhkannya sekarang.

Dengan kasar dia menarik hijab ku, sehingga kepala ku ikut mendongak ke atas mengikuti tarikannya. Tatapan kami beradu, dia dengan tatapan tajamnya, sementara aku dengan tatapan memuja dan kegelisahan yang mendalam.

“Lo kabur ke mana seminggu ini?”

“Berusaha menghindar hm?” desisnya tajam.

“Sampai kapan pun lo akan jadi target incaran gue! Jadi siap-siap aja!” tekannya dengan menyeringai tipis.

Setelah itu dia mendorong tubuh ku secara kasar hingga menghantam lantai koridor, dan menyebabkan suara yang berdebum keras.

Dan dari situ pula kewarasan ku kembali, akal sehat ku telah kembali guna menyadarkan kebodohan yang telah aku lakukan tadi bersama dirinya. Dengan rasa sakit di sekujur tubuh, aku bangkit dan menatap sekilas manik matanya.

Dengan bersungguh-sungguh aku meminta maaf atas kecerobohan yang telah aku lakukan di acara ayahnya minggu lalu. Namun, permintaan maaf tersebut langsung ditolak mentah-mentah olehnya.

“Lo pikir dengan minta maaf semuanya selesai? Dasar bodoh!” umpatnya.

“Tanggung jawab atas kerugian yang dialami bokap gue, baru hidup lo aman!”

“T-tapi saya gak punya biaya sebanyak i….”

“Gue tau lo miskin, dan gue gak peduli akan hal itu!” dengan kasar dia memotong ucapan ku.

“Dan gue mau, kerugiaan atas hancurnya acara bokap gue udah lunas minggu depan!”

“Lo tau berapa totalnya? 1,5 M. Dan gue mau lo bayar itu lunas minggu depan!”

“Kalau lo gak mau…” jedanya.

“Hidup lo gak akan pernah aman,” bisiknya dengan penuh ancaman.

“Gue tunggu minggu depan!”

Setelah itu dia pergi meninggalkan ku dan berbalik menuju kelasnya. 1,5 M? Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu? Kenapa semua orang lebih mementingkan harta dunia di atas segala-galanya?

Ya Allah, bagaimana aku harus membayar semua itu? Apa lagi yang harus menjadi jaminan untuk mendapatkan uang dengan nominal besar tersebut?

Tak terasa air mata ku menetes merasakan perasaan sesak ini, mengapa masalah tidak pernah berhenti berdatangan menghampiri ku? Aku lelah, aku capek dengan semua ini.

Kapan aku harus menyerah? Aku ingin menjalani hidup seperti dulu lagi ya Rabb, dimana masalah hanya sesekali menemui ku.

Aku yakin semua masalah ini pasti sudah ada jalan keluarnya, dan aku berharap kali ini Engkau menolong ku untuk segera menyelesaikannya.


























Bismillah up lagi 🙌🏻

Happy Reading ✨
Jangan lupa tinggalkan jejak 👣


Luka Tersembunyi [END]Where stories live. Discover now