35 • Terpenuhi

75 17 1
                                    

Mungkin dengan ini semuanya akan kembali seperti sediakala. Namun, apakah harga itu sebanding dengan semua luka yang telah ditorehkan oleh mereka?
















“Gapapa Bu, apapa pun bakal saya lakuin untuk mendapatkan uang tersebut.” jawab ku tersenyum lirih.

Bu Ita mendekat, lalu mendekap diri ku dengan erat. Ku rasakan punggungnya bergetar hebat, bahkan hijab instan yang ku kenakan terasa basah oleh air matanya. Apakah ia sedang menangisi diri ku? tanya ku dalam hati.

Dengan penuh keheranan aku tetap membalas pelukannya, mengelus pelan punggungnya untuk menyalurkan ketenangan. Bukankah harusnya aku yang menangis saat ini, tapi ini berbeda.

Setelah tenang ia menatap diri ku dengan lekat, tepat pada bola mata ku. Seolah terbius akan ketenangan dari tatapan itu, aku ikut membalasnya dengan tatapan polos yang penuh makna. Ia mengusap kepala ku yang terhalang oleh hijab, kemudian beralih mengusap pipi ku di bagian kanan.

“Kamu tau nak…” ia menghela nafas berat dan menghentikan usapannya.

“Walau kita bertemu belum ada seminggu, tapi kamu sudah saya anggap seperti anak kandung sendiri.”

“Saya ikut sakit merasakan penderitaan yang kamu alami nak, tapi saya hanya orang baru yang tidak bisa berbuat apa-apa.”

“Setelah mendengar semua kisah hidup mu, rasanya saya ingin egois kali ini.” ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca.

“Saya ingin egois agar kamu meninggalkan mereka semua, dan tinggal bersama saya di desa ini.”

“Tapi…, cinta dan kasih sayang kamu terhadap mereka mengurungkan niat saya untuk melakukan hal tersebut.”

“Mereka seharusnya beruntung memiliki kamu, yang memiliki cinta sebesar itu.”

“Tepat hari ini, mungkin adalah hari terakhir kita bertemu nak.” lirihnya menatap ku dengan tatapan sedih.

“Bu…. “ aku ingin menyangkal perkataannya, namun aku kalah cepat darinya.

“Dengar nak, jika kamu sudah tidak kuat menghadapi itu semua, kembalilah ke desa ini lagi. Pintu rumah saya selalu terbuka lebar untuk mu,” lanjutnya sambil menangis.

“Jangan pernah canggung dan merasa tak enak, karena kamu sudah menjadi anak saya setelah tinggal di rumah ini.”

Aku menghambur ke dalam pelukannya, menangis bersama dengan dirinya. Aku benar-benar beruntung dapat mengenal dia di dunia ini. Ia memiliki sifat keibuan yang memang aku butuhkan saat ini. Tapi mengapa, mengapa aku mendapatkan kasih sayang yang tulus dari orang lain? Sementara aku masih memiliki keluarga yang lengkap, seharusnya aku bisa mendapatkan itu dengan mudah dari mereka.

Namun sayang, itu hanyalah angan belaka yang mustahil untuk ku rasakan. Setelah tangisan kami mereda, dia menatap sepasang paruh baya yang merupakan teman lamanya.

“Boleh aku minta tolong sama kalian?”

“Ya tentu saja, selagi kami mampu pasti akan kami lakukan.” jawab wanita paruh baya itu dengan senyuman.

“Tolong jaga dia selama kalian melakukan hal itu kepadanya, jangan biarkan dia sendirian. Karena sekarang….” Bu Ita menjeda ucapannya dan menatap ku dengan senyuman tulus.

“Dia adalah bagian dari keluarga ku, ia sudah ku anggap sebagai anak dari darah daging ku sendiri.”

Aku terenyuh juga terharu mendengar itu, ya Allah ternyata masih ada orang sebaik dan setulus ini di dunia. Tolong balas semua kebaikannya ya Rabb, karena aku tidak sanggup untuk menebus semua ketulusan beliau.

Luka Tersembunyi [END]Where stories live. Discover now