14 • Candu

159 97 15
                                    

Tatapan itu semakin lama semakin membuat ku nyaman, walau terasa menakutkan namun menenangkan hati.












"Eh gue baru inget, baju lo udah dibalikin belum Ar?" tanya Jio, sembari menatap ku dengan tatapan yang dalam penuh misteri.

"Lah iya bajunya si Arga masih sama ni anak," tambah Irwan

"Udah lo cuci belum Na?"

Bagaimana ini, aku bingung mau menjawab apa dari pertanyaan mereka.

Aku menegang dan gugup mendengar kalimat Jio selanjutnya.

"Lo gak bisa bayarkan? Nyuci doang juga gak becus, jual diri aja lah lebih gampang. Iya gak Ar?" ujar Jio dengan seringai di wajahnya.

"Bangsat, boleh juga nih," Tio tertawa mendengar ucapan Jio tersebut.

Mereka semua tertawa mendengar celetukan tersebut, sedangkan aku merasa dilecehkan dengan hal ini.

Tak terasa air mata ku terjatuh saat mendengar gelak tawa serta bisikan-bisikan pelanggan di restaurant tersebut.

Bukankah ini termasuk pelecehan verbal? Tapi mereka tidak peduli akan hal tersebut, mereka masih menikmati candaan menyakitkan tersebut.

Saat menghalau air mata yang akan tumpah, aku mengedarkan pandangan ke arah mereka. Tak sengaja netra ku bertemu dengan milik seseorang yaitu, Arga.

Dia melihat ku dengan tatapan datarnya, namun tatapan tajam yang biasanya dia tunjukkan kepada ku telah lenyap dari raut wajahnya.

Dia masih melihat ku dengan datar dan dalam, jantung ku berdetak dengan cepat ketika melihat tatapan itu.

Bukan, bukan perasaan takut yang sebelumnya aku rasakan. Melainkan perasaan yang berbeda, rasa ini baru aku rasakan saat ini.

"Lah anjir malah tatap-tatapan ni anak."

"Cakep yakan si Arga, gimana mau gak jadi gundiknya?" tawa Jio membahana dan menyebabkan yang lain ikut tertawa.

Ya Allah rasanya begitu menyakitkan mendengar kalimat tersebut, aku ingin secepatnya pergi dari sini.

Aku tak tahan lagi, saat akan berbalik menuju dapur pergelangan tangan ku dicekal kuat oleh seseorang.

Aku kaget, dan berusaha untuk melepaskan cekalan tersebut. Tidak, ini tidak benar, ini adalah dosa besar menyentuh seseorang yang bukan mahram.

"Lepas," ucap ku lirih.

Aku melihat bahwa Arga yang mencekal pergelangan tangan ku, gugup dan takut menguasai diri ku saat ini.

"Aku mohon lepaskan, ini tidak benar Agg--a."

"Bangsul, panggilan sayang nih," goda Irwan.

"Ahayyy, ada apa nih."

Asstagfirullah, aku baru tersadar bahwa aku telah salah menyebutkan namanya.Tiba-tiba nama itu keluar dari mulut ku tanpa bisa ku cegah, sangat murni sekali.

Ya Allah kesalahan apalagi yang ku perbuat ini, satu saja belum usai malah aku tambah lagi.

Dia semakin kuat mencekal pergelangan tangan ku, aku yakin luka yang kemarin bertambah lagi dengan cekalan ini.

Luka Tersembunyi [END]Kde žijí příběhy. Začni objevovat