46 • Kritis

163 22 3
                                    

Kematian hanyalah Allah swt saja yang tahu. Tidak ada satu pun makhluk di dunia ini yang mengetahui kapan giliran mereka untuk merasakan hal tersebut.














Dengan perasaan sedih aku berangkat ke sekolah. Berjalan kaki melamun memikirkan sebuah solusi dari setiap masalah yang ku alami ini.

Hingga jam pertama telah terlewati, namun jiwa dan raga ku tidak bersatu di dalam tempatnya. Otak ku bercabang memikirkan semua ujian kehidupan ini. Kapan ini akan berakhirnya?

Untuk menjernihkan pikiran yang suntuk, aku memutuskan ke perpustakaan. Di sana suasanya cocok untuk hati ku yang sedang tidak baik-baik saja seperti sekarang.

Keadaan perpustakaan yang hening memang cocok untuk manusia yang sedang mengalami masalah hidup, seperti diri ku.

Memilih tempat duduk yang paling pojok dan mengambil sebuah buku sebagai tameng. Buku tersebut tidak ku baca, hanya sebagai formalitas saja agar orang-orang tidak mengetahui bahwa sebenarnya aku melamun bukan membaca buku.

Lima belas menit aku terlarut dalam lamunan, hingga suara deritan kursi yang ditarik, membuat aku tersadar bahwa ada orang lain di depan ku saat ini.

Farel. Dia menatap ku datar, dengan keringat yang mengucur deras membasahi seragam sekolahnya. Apakah dia habis berlarian? tanya ku dalam hati.

“Gue cariin di setiap sudut sekolah ternyata lo ngadem di sini.” sindirnya halus.

Aku hanya tersenyum canggung menanggapi perkataannya. Tunggu sebentar, ada apa dia bersusah payah mencari ku hingga ke tempat ini? Apakah aku telah melakukan kesalahan lagi?

“Gue mau ngomong.”

“Penting,” lanjutnya.

“I-iya ada apa?” tanya ku gugup.

“Thanks Na.” ucapnya tulus, bahkan ia memperlihatkan senyuman yang begitu tipis.

Dengan raut bingung aku menatapnya, terima kasih untuk apa? Agaknya aku tidak pernah melakukan sesuatu kepadanya. Seingat ku, yang harusnya mengucapkan itu kembali adalah diri ku. Saat dia rela terluka akibat menolong ku dari para pemuda mabuk yang ingin melecehkankan ku bulan lalu.

“M-makasih buat apa? Kayaknya k-kamu salah orang deh.”

Dia terkekeh pelan mendengar ucapan ku, hingga “Gue gak salah orang Na, orang itu beneran lo. Makasih karena kebaikan lo ibu gue bisa sembuh lagi.”

“I-ibu?” tanya ku setengah berbisik.

“Iya Na. Lo kenal Mas Aryo sama Mbak Sila?” tanyanya.

“Ngh..., saya kayak gak asing sama nama itu sih. Tapi waktu itu saya manggilnya Pak Aryo dan Bu Sila.” dengan raut wajah polos nan lugu aku menjelaskan kepadanya.

“Hahaha….., iya itu maksud gue.” Farel tertawa pelan menanggapi ucapan ku sebelumnya.

Dia tertawa? Baru kali ini aku melihat tawa yang begitu lebar dari bibirnya. Sebelumnya hanya raut wajah datar dan dingin yang menghiasi wajahnya. Apakah Arga juga bisa seperti ini? Tertawa bebas tanpa beban di dekat diri ku? Kenapa aku jadi membayangkan Arga? Dia adalah pria kasar dan minim ekspresi. Mungkinkah dia juga bisa seperti Farel?

Setelah tawanya mereda, Farel kembali menatap ku dan melanjutkan pembahasannya.

“Jadi lo kenal mereka kan Na?” ulangnya memastikan.

“Mm.., kenal. Kenapa?’ tanyanya ku bingung.

Dia menghela nafas secara perlahan sebelum menjelaskannya kepada ku.

Luka Tersembunyi [END]Where stories live. Discover now