48 • Parah

151 18 0
                                    

Rasa sakit memang menyiratkan luka yang mendalam, tapi belum tentu dibalik itu semua seseorang merasakan hal demikian. Bisa saja, ia bahagia di atas rasa menyakitkan tersebut.













Entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri, akibat insiden tersebut. Hal pertama yang aku ingat hanyalah beberapa potongan memori, tak begitu utuh.

Sekujur tubuh yang terasa sakit, tepatnya pada bagian perut sebelah kiri, pasca operasi bulan lalu. Aku ingin membuka mata, tetapi rasanya sangat sulit sekali. Seperti ada sebuah lem yang merekat dengan erat di bagian sana.

Samar-samar aku mendengar percakapan beberapa orang yang tidak terlalu jelas, lalu disusul dengan isak tangis setelahnya.

Terus mencoba untuk membuka kelompak mata, untuk mengetahui apa yang terjadi. Mungkin, hampir sekitar sepuluh menit akhirnya aku berhasil. Melawan cahaya yang begitu silau saat pertama kali menggunkan indra penglihatan ku.

Mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan bayangan cahaya yang masuk agar tepat pada retina. Setelah dapat menyesuaikan cahaya, aku mulai menggerakkan kepala ku dengan meringis pelan untuk mencari tahu di mana aku sekarang.

Rumah sakit, tebak ku. Karena aroma ini sudah berada di luar kepala ku. Lagi, aku memasuki ruangan horor ini. Mendesah pelan, aku ingin mengambil minum di atas nakas. Namun sebelum itu terjadi,

“Akh…, aww.., sakit..” rintih ku dengan suara serak, saat merasakan ngilu yang teramat dalam pada bagian bekas operasi tersebut.

Aku mengurungkan niat untuk mengambil minum, mencoba bergerak kembali, tetap saja, rasa tersebut mendominasi tubuh ku.

Karena tidak sanggup untuk merasakannya, air mata ku menetes  merasakan sakit itu. Sakit sekali, rasanya lebih baik aku tiada saja dari pada harus merasakan seperti ini.

Ceklek

Pintu ruangan terbuka, memunculkan seseorang dengan kantong mata yang benar-benar menghitam, tampilannya begitu kacau.

“A-astra…” panggil ku dengan lirih.

“Kakak!” tampak raut terkejut yang sangat kentara sekali.

Dia segera menghampiri ku, dan memeluk diri ku dengan erat. Bahkan ia tidak sengaja menekan luka tersebut.

Sshhh, ringis ku pelan.

“Eh maaf kak, kelupaan. Ada yang sakit? Aku panggilin dokter dulu ya,” ucapnya was-was melihat bagaimana aku menahan sakit seperti tadi.

Segera ku cekal tangannya, “Gak usah dek, kakak gapapa.”

“Beneran kakak gapapa? Tapi tadi nahan sakit gitu.” ujarnya khawatir.

Aku tersenyum manis melihat perubahan besar pada dirinya, aku ingin merasakan ini setiap saat. Aku mengelus kepalanya dengan sayang, dan berhenti di kelopak matanya yang hitam.

“Kamu kurang tidur ya?” tanya ku memastikan.

“Kakak mau minum? Kakak harus minum dulu.” balasnya mengalihkan pertanyaan ku. Dia segera mengambil segelas air di atas nakas dan membantu ku untuk meminumnya.

“Udah, sekarang jawab pertanyaan kakak tadi.” ujar ku sedikit memaksa.

Astra kembali meletakkan gelas tersebut di tempat yang semula, dia menghela nafas secara kasar, dan menatap ku sendu.

“Ayah kondisinya makin parah kak, ibu juga lagi dirawat karena kekurangan darah akibat kecapean, dan Asya juga anemianya lagi kambuh.” jelasnya sedih.

Luka Tersembunyi [END]Where stories live. Discover now