44 • Kejujuran

109 17 2
                                    

Sebelum pengakuan itu kita masih selayaknya teman biasa, tetapi setelah pengakuan tersebut  kita seperti orang asing yang tidak saling mengenal satu sama lain.















Langkah kaki beberapa orang terdengar jelas di telinga ku. Bahkan rombongan Wina terlihat ketakutan akan kedatangan mereka.

“Elo sih, ngapain gak dibawa ke gudang aja tadi.” kesal salah seorang diantara mereka.

“Di kunci anjing! Jadi gue gak bisa bawa ke sana.” balasnya tak terima.

“Mampus kita ketauan, bisa panjang nih urusan.” sahut yang lain.

Sementara Wina masih menarik hijab yang aku kenakan, dia menyentak kasar hijab tersebut hingga membuat diri ku menghantam lantai kamar mandi. Ya, mereka menyeret ku dari perpustakaan ke kamar mandi belakang gudang.

Dengan tidak berperasaan mereka menyalurkan kekesalannya kepada diri ku. Hingga membuat tubuh ku lemas kehilangan tenaga untuk melawan mereka.

Aku bahkan sudah pesimis jika tidak akan ada yang melihat perbuatan mereka, karena lokasi toilet yang jauh dari jangkauan para murid dan guru. Tapi syukurlah, sebentar lagi seseorang akan menyelamatkan ku dari kekejaman mereka semua.

“Ngapain lo rame-rame di sini?” tanya seseorang dengan suara yang berat khas pria. Dari suara tersebut, aku seperti menganalinya. Irwan, teman sekelas ku.

“Kepo aja lo, pergi sana.” usir Wina.

“Lah, gak kepo gak hidup mbak.” canda Irwan.

Aku juga sempat mengenali suara-suara lain, seperti Bagas, Jio, Tio, Farel, Abi, dan lainnya. Mereka masih berdebat untuk melihat ke dalam, tapi terhalang oleh siswi kejam yang membully ku ini.

Karena ruangan toilet yang sempit, dan jumlah mereka yang banyak membuat aku terhalang dibalik tubuh mereka. Dengan sisa-sisa tenaga yang ku miliki, aku berusaha untuk memberikan sinyal pertolongan.

Sshhh, ringis ku pelan menahan sakit di bibir bawah akibat tamparan kasar mereka.

“To-oolong,” lirih ku berusaha untuk berteriak keras agar mereka mendengarnya.

“Anjirr, suara siapa itu. Gue denger sesuatu kayaknya, minggir gue mau liat.” ujar Irwan.

“Gak ada siapa-siapa, mending lo semua pergi deh.”

“Jelas-jelas kita denger suara minta tolong tadi, awas gue mau liat.” ucap Abi berusaha menerobos.

Karena tenaga laki-laki lebih kuat dari wanita, kerumunan pembully itu berangsur-angsur menyingkir.

“ANJING! LO APAIN ANNA?!” bentak Abi setelah berhasil menemukan ku dengan keadaan lemas.

“Gila lo, main fisik.” sahut Tio.

“Parah sih, ini wajib lapor BK” lanjut Bagas.

“Bentar gue fotoin dulu, buat bukti ntar.” Jio segera mengambil ponselnya dan memotret keadaan di tempat ini.

“Beres, gue lapor bentar ke Bu Hetty.” setelahnya Jio pergi meninggalkan kami semua menuju ke ruang BK.

“Mampus lo pada, mau lulus buat masalah. Otw nambah setahun lagi lo,”  ejek Irwan terkekeh pelan.

Rombongan pembully tersebut akhirnya diamankan oleh Irwan dan teman-temannya untuk dibawa ke BK. Dan menyisakan Abi dan diri ku di tempat ini.

“Lo gapapa Na? Ada yang sakit gak? Bilang gue.” tanya Abi beruntun dengan lirih.

Luka Tersembunyi [END]Where stories live. Discover now