45 • Berusaha Keras

109 20 0
                                    

Selagi Allah swt masih memberikan kamu umur dan kesehatan, maka jangan pernah menyerah begitu saja. Gunakanlah itu untuk kebermanfaatan orang banyak.
















Lagi, di ruangan berbau khas obat-obatan ini aku terbaring dengan selang infus yang berwarna merah. Pengambilan darah telah berhasil, setelah melewati beberapa tahapan.

Menatap langit-langit ruangan putih ini dengan pikiran yang melalalang buana, berharap Dina segera pulih dan kembali menjalankan rutinitasnya seperti biasa.

Dalam pengecakan kesehatan tadi, dokter sudah mengatakan beberapa kemungkinan yang terjadi dari efek samping pendonoran darah ini. Karena diri ku hanya memiliki satu ginjal untuk menopang hidup, jadi resiko besar sedang menanti di depan sana. Tapi aku tidak peduli itu semua, yang penting sekarang Dina sehat dan aku bisa melihat senyuman indahnya lagi.

"Gimana dek? Udah ada tenaga?" tanya Bang Lian menghampiri ku dengan membawa satu piring yang berisi buah-buahan.

"Alhamdulillah Bang, habis ini Anna pulang ya.” imbuh ku meminta izin.

“Yakin udah kuat bawa badan?” tanyanya memincing penuh kecuriagaan.

“Hahaha.., udah kok Bang. Tenang aja, insyallah kuat.” ujar ku terkekeh pelan.

“Baiklah, kalau kamu udah merasa enakan.”

“Gimana sama Dina Bang? Dia udah ada perkembangan?”

“Alhamdulillah dek, tubuhnya gak nolak pemberian darah kamu, sesuai.” 

“Alhamdulillah Bang, aku tenang dengarnya.” ucap ku lega.

“Hm.., dek.” panggil Bang Lian menatap ku sendu.

“Maaf karena waktu itu Abang gak bisa bantu kamu, maaf Na.” tuturnya dengan intonasi nada yang bergetar seperti menahan tangis.

“Kamu udah seperti adik kandung bagi Abang, tapi sayangnya Abang gak berguna, cuman bisa liatin tanpa bantuin kamu.”

“Maaf….” gumamnya lirih.

“Ya Allah Anna gapapa Bang. Abang jangan salahin diri sendiri kayak gini, Anna gak suka liatnya. Mungkin rezeki Anna di restaurant itu cuman sampai sini, dan Anna gak pernah menyesali itu semua.” jelas ku menatapnya dalam.

“T-tapi Na…”

“Sutttt, udah gak usah dibahas. Yang ada nanti malah mewek lagi.” canda ku menghiburnya agar tidak menyalahkan dirinya sendiri.

“Semoga kamu dapat pekerjaan baru yang lebih layak lagi ya dek,” doanya menatap diri ku dengan sedih.

“Aamiin Bang, terima kasih doanya. Abang juga semangat ya, kalau besok nikah jangan lupa undang Anna.” kekeh ku pelan.

“Insyaallah dek, Abang gak akan lupa buat undang kamu.” balasnya tersenyum.

“Oke, Anna tunggu loh ya….”

Setelahnya kami dilanda keheningan, Bang Lian fokus mengupaskan buah untuk ku. Sedangkan aku menikmati pemberiannya dengan begitu lahap.

“Bang habis ini Anna ke ruangan ayah ya,” pamit ku meminta izin.

“Iya, habisin dulu buah ini baru kamu boleh pulang. Karena tubuh kamu masih lemes gitu, darahnya mungkin tinggal seperempat lagi.” canda Bang Lian tertawa.

“Ihhhhhh,.., gak gitu juga Bang.” sahut ku tertular tawa recehnya.

“Hahaha……, iya-iya deh.”
















Luka Tersembunyi [END]Where stories live. Discover now