Young, Dumb, Stupid- 11

1.5K 195 2
                                    

Ada jeda setelah pertanyaan Jihan tadi, sebelum Duta menjawab.

"Iya."

Hanya dengan begitu saja, manik Jihan membola khawatir. Sungguh? Mobil itu menabrak? Ia berdiri menghampiri Duta, menepis tangan pemuda itu yang hendak menutup lemari penyimpanan kotak P3K tadi, mengambil kotak itu kembali dan membawa Duta ke sofa.

Duta berdecak. "Gue gapapa."

Jihan balas berdecak. "Gapapa bapak Lo, pincang gini masih sanggup bilang gapapa."

Duta menghela napasnya. "Gue serius gapapa."

Sekarang Jihan menatap pemuda itu tajam. "Lo gapapa, tapi agensi Lo yang kenapa-napa. Kalau sampai mereka tahu kalau trainee mereka ditabrak mobil karena nyelamatin—akh!"

Ucapan gadis itu terhenti ketika Duta menjentikkan jarinya ke keningnya yang menimbulkan rintisan sakit. Duta terkekeh.

"Yaudah, obatin gih."

Selanjutnya malah Jihan yang dibuat tidak percaya. Lihat saja, bagaimana bisa pemuda itu meletakkan kakinya ke atas meja bagai seorang bos yang menyuruh Jihan untuk mengobatinya.

Meskipun kesal, mau tak mau Jihan tetap mengobati kaki pemuda itu.

"Permisi ya." Izin Jihan sebelum menyingsingkan celana yang dipakai Duta hingga memperlihatkan pergelangan kakinya yang membiru.

Jihan meringis melihatnya, antara kasihan melihat warna biru keunguan yang sangat kentara dan terpana dengan kaki putih bersih pemuda itu.

Jihan mengambil obat merah dan mengoleskannya dengan hati-hati. Duta yang melihat ekspresi Jihan terpukau melihat kakinya pun tersenyum jahil.

"Gak usah segitunya diliatin, kesandung lagi bukan nabrak dinding malah nabrak ujung meja noh," ujar Duta membuat Jihan melirik kesal.

Dengan sengaja, gadis itu menekan lebamnya hingga Duta meringis kesakitan.

"Gak usah diingetin!" sewotnya.

"Ya gimana gak keinget, orang ekspresi Lo paling kentara di sana, kayak terpana banget ngeliat abs gue."

Jihan berdecak, ia meletakkan obat merah dan berdiri. "Udah lah, malas gue sama Lo."

Duta yang melihat gadis itu merajuk itu pun terkekeh dan segera menariknya untuk kembali duduk.

Jihan memutar bola mata malas. "Apa lagi?"

Duta tidak menjawab, ia merapihkan ujung celananya, berjalan ke arah meja makan mengambil kotak brownies yang tadi diberikan oleh ibu dari anak yang mereka selamatkan.

Duta memberikannya pada Jihan. "Buat Lo."

Dan dengan tindakan pemuda itu, Jihan menaikkan sebelah alisnya lalu mendengus. "Lo jangan coba-coba nyogok gue ya, gue masih ingat gimana pelitnya Lo perkara jeruk sebiji doang."

Duta menghela napas. "Soal itu gue minta maaf, gue gak makan jeruknya kok, gue kasih sama pengamen. Dan untuk brownies ini, gue serius ngasihnya sama Lo."

Jihan menatap datar kotak brownies itu lalu menggeleng. "Gak, buat Lo aja, anggap aja sebagai rasa terimakasih karena udah nyelamatin gue tadi."

Jihan berdiri. "Dengan ini, gue anggap kita impas dan gak ada hutang budi, ok?"

Ingin berjalan menuju pintu, tapi lagi-lagi Duta menariknya.

"Yaudah, kalo gitu makan berdua aja," ujarnya membuat mata Jihan membola.

"Gak—"

"Gue ambil sendok dulu."

Kalau sudah begini Jihan bisa apa? Ia hanya pasrah ketika Duta kembali dari pantry dengan dua sendok di tangannya.

Supaya hal ini cepat selesai dan agar Jihan bisa segera kembali ke unitnya, mau tak mau akhirnya Jihan ikut memakan brownies itu.

Lagipula, memangnya Jihan bisa menolak coklat lembut itu? Oh, yang tadi itu hanya harga dirinya yang tinggi, Jihan tidak ingin hutang budi kepada Duta. Toh mereka hanya dua orang asing yang kebetulan bertetangga.

"Hidup Lo seru ya, gue iri."

Celetukan Duta secara tiba-tiba membuat Jihan menaikkan satu alisnya.

"Lo bebas ngelakuin apa aja, apapun yang Lo suka tanpa ada batasan tertentu. Bahkan, mungkin Lo satu-satunya cewek paling gila yang pernah gue temuin."

Jihan menatap pemuda itu kesal. "Ini Lo lagi muji gue atau ngehina gue?"

Duta menatap Jihan dan tersenyum.

"Hidup Lo kayak enteng banget, bahkan bisa-bisanya percaya sama sebuah pohon yang dianggap keramat. Kalo dilogikan aja itu udah di luar nalar, tapi Lo ngelakuin itu."

Jihan berdeham, menatap Duta serius. "Kalo Lo merasa gak bebas, Lo gak harus ngelakuin ini."

Duta mengangguk. "Memang gak sebebas orang-orang, dan gue merasa selalu ada batasan. Tapi ini mimpi gue, dan satu-satunya jalan untuk wujudin itu ya adalah jadi trainee."

Jihan meletakkan sendoknya. "Udah berapa tahun sih Duta?"

"Hmm, berapa ya? Dari gue SMP kelas tiga. Lima tahunan lah," jawabnya.

"Lo gak punya masa-masa remaja? Jahilin teman sekelas atau letakin kecoa di tas guru? Gak kebayang gue gimana membosankannya lima tahun Lo itu." Jihan benar-benar tidak bisa membayangkan lima tahun yang dilewati pemuda di depannya ini.

Duta menggeleng. "Mungkin kalau bercerita tentang sekolah, nothing special. But, gue punya kok masa-masa menyenangkan bareng teman trainee."

"Apa? Jahilin ponselnya CEO HNH? Atau masukin katak ke dalam tasnya pelatih vokal lo?"

"Kalau Lo mau didepak dari agensi secara tidak hormat sih ok aja, tapi sampai saat ini gak ada orang waras yang akan ngelakuin saran Lo itu."

Jihan mendengus.

"Haruna bilang, dunia trainee itu penuh persaingan. Gak sehat, salah-salah langkah bisa gagal debut, depresi."

Duta mengangguk. "Beberapa ada yang kayak gitu. Tapi untuk remaja belasan tahun, mereka tahu apa sih tentang persaingan?"

Jihan mengangkat sebelah alisnya. "Jadi maksud Lo, keadaan kayak Lo sekarang yang penuh sama persaingan? Sama aja kan mereka munafik." Jihan menyendok kan sepotong brownies ke dalam mulutnya.

"Gue heran kenapa Haruna bucin banget sama Atlas itu, padahal mereka kan juga trainee dulunya, ngelewatin persaingan ketat yang menjatuhkan. Gue berani bertaruh gak ada yang benar-benar tulus di antara mereka. Lo juga sama kayak yang lain gue rasa," ujarnya.

Duta mengulum senyum mendengar kalimat Jihan. "Habisin." Menyuruh Jihan kembali memakan browniesnya.

Jihan mendengus. "Lo bahagia gak sih Duta?"

"Kalau gue gak bahagia gak mungkin gue bertahan sampai lima tahun." Duta menatap Jihan lekat. "Gue lagi berjuang sekarang, Jihan."

Duta meletakkan sendoknya, porsinya sudah cukup ia rasa. Jihan pun ikut menghentikan makannya.

"Gue udah cukup ceritain kehidupan trainee gue. Sekarang, gue mau dengar versi lo." Ucapan Duta membuat Jihan mengernyit, ia tidak paham.

Duta mendengus. "Ceritain kok bisa cewek yang gak ada vibes anak teknik kayak Lo bisa ngambil jurusan teknik? Lo mau ngejar apa?"

"Ngejar warisan."

"Hah?!"

Jihan terkekeh. "Bokap punya usaha bengkel, lumayan lah. Langganan di sana biasanya anak pejabat, para konglomerat. Dari kecil udah biasa ngeliat bokap otak atik mesin, ya ... gue tahu basicnya. Tinggal mempelajari lebih ke dalam lagi."

Duta mengangguk-angguk paham. "Gue kira Lo miskin lho."

Jihan melotot. "Yang bilang gue kaya siapa?!"

"Bokap Lo punya bengkel—"

"Itu bokap gue! Lo gak liat setiap akhir bulan hidup gue melarat gini kekurangan uang? Congor Lo mayan juga ya kalau dirujak."

Young, Dumb, StupidWhere stories live. Discover now