Young, Dumb, Stupid- 18

1.3K 173 2
                                    

"Lima tahun berlatih ternyata gak menjamin masa depan."

Jihan menatap Duta lekat, jelas sekali pemuda itu selesai menangis terlihat dari matanya yang berair juga merah. Jihan menatap pemuda itu khawatir, ada berapa banyak hal yang ia lewatkan selama seminggu ini?

Duta terlihat sangat hancur.

"Duta ..."

"CEO HNH ngasih kesempatan untuk kami berlatih lebih keras, impian semua orang hampir saja terwujud." Duta menghela napasnya. "Tapi semuanya berakhir sia-sia, lima tahun itu seakan gak ada artinya sama sekali."

Duta menoleh pada Jihan, gadis itu tengah menatapnya dengan pandangan ... entahlah. Jihan seperti bersedih untuknya.

"Jihan, grup gue bubar, kami akhirnya berpisah setelah lima tahun bersama." Duta tidak bisa membendung tangisnya, katakanlah ia cengeng, tapi lima tahun bukanlah waktu yang singkat.

Lima trainee itu banyak menghabiskan waktu bersama, banyak bermimpi, merencanakan masa depan yang indah di atas panggung. Tapi semuanya seakan direnggut secara tiba-tiba, semuanya berakhir sia-sia.

Jihan mendekat pada pagar pembatas balkon Duta, meraih tangan pemuda itu untuk menguatkannya, meskipun sedikit susah, tapi jemari itu berhasil ia genggam.

Tatapan Jihan membuat Duta kembali menangis, gadis itu berusaha memberinya kekuatan dari tatapan itu.

"Duta, Lo bisa cerita kalau Lo siap. Nangis aja, it's ok. Nangis bukan berarti cengeng, kadang ada sesuatu yang hanya bisa disalurkan dengan air mata."

Duta menghela napasnya, setelah mendengar ucapan Jihan, ia merasa lebih tenang. Duta membalas genggaman tangan gadis itu, tak kalah erat.

"Bisa gue ke sana?" tanya Duta yang diangguki Jihan.

"Lo bisa lewat-"

Ucapan gadis itu terhenti ketika Duta telah lebih dahulu melompati balkonnya untuk sampai ke balkon Jihan.

Ketika tungkai panjang itu telah menapaki lantai, Duta menatap Jihan lekat sebelum akhirnya gadis itu mengulurkan tangannya untuk memeluk tubuh tinggi itu.

Duta tak dapat lagi membendung tangisnya, ia menumpahkan semua yang terjadi dalam beberapa hari ini, rasa lelahnya, rasa sakitnya, rasa sesaknya, pemuda itu akhirnya menumpahkan semuanya di pelukan Jihan, tetangga Kondominiumnya.

Entahlah, Jihan juga tidak mengerti situasi macam apa ini. Tapi ia ikut bersedih untuk Duta, Jihan paham lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Di awal Duta menginjakkan kakinya ke lantai perusahaan, ia telah menaruh harapan yang besar di sana. Banyak hal yang telah pemuda itu lalui hingga lima tahun berselang.

"Gue sendiri, Jihan," lirihnya.

"Semuanya pergi, semuanya menyerah. Gue sendirian sekarang. Bukan ini yang gue harapkan, apa harapan untuk debut bersama begitu sulit hingga semuanya harus berakhir sia-sia?

Harusnya gue lebih keras, harusnya gue berusaha lebih keras lagi, kalau gue bisa menjaga mereka, semuanya gak akan kayak gini, kita mungkin bisa debut berlima. Kenapa? Kenapa harus kami? Kami telah berusaha!"

Duta benar-benar menumpahkan semuanya malam ini, rasa yang lima tahun ia pendam, akhirnya ia tumpahkan dengan harapan bahwa hari esok akan menjadi lebih baik.

Sakit, sakit sekali rasanya ketika lima tahun menghabiskan waktu bersama seperti keluarga, tiba-tiba kebersamaan itu direnggut secara tiba-tiba. Duta tidak menyalahkan siapapun atas yang menimpa grupnya. Tentu saja, siapa yang tidak terguncang ketika telah berjuang keras selama lima tahun dan ternyata hasilnya gagal?

Jihan menghela napasnya, Duta benar-benar menyedihkan sekarang, dan Jihan telah merasakan bahunya basah sedari tadi. Jihan sama sekali tidak menyangka, bahwa pribadi seperti Duta, bisa sehancur ini. Jihan mengelus punggung lebar pemuda itu.

"Duta, jangan nyalahin diri sendiri. Gue emang gak tau detailnya, tapi Lo udah berusaha keras, Lo udah berusaha menampilkan sisi yang paling terbaik dari diri Lo. Lo gak gagal, Lo berhasil, Lo dikasih kesempatan lagi untuk memperbaiki apa yang kurang dalam diri Lo."

Mendengar ucapan Jihan sedikit membuat Duta menjadi lebih baik, ia menghela napasnya sebelum melepaskan pelukannya. Mereka sedikit canggung, tentu, siapa yang akan mengira akan terjadi pelukan seperti itu?

"Maaf, baju Lo basah karena gue," sesalnya.

Jihan tersenyum dan menggeleng. "It's ok, merasa lebih baik?"

Duta membalas senyum Jihan dan mengangguk. "Thanks."

Duta mengalihkan pandangannya ke depan, rambutnya diterbangkan oleh angin malam membuat visual pemuda itu semakin terlihat. Matanya menatap lurus, jauh menerawang tentang kondisinya sekarang dan kedepannya, karena ia sendirian sekarang.

Ujung mata Duta menatap Jihan yang juga menatap pemandangan malam di sampingnya, tampaknya ini bukan saat untuk memberitahu Jihan tentang debut solonya. Karena Duta pun masih ragu untuk menerima itu, ia masih bersedih, masih belum menerima hal yang baru saja menimpa grupnya.

Duta juga masih belum merelakan teman-temannya, ia belum merelakan segala kemungkinan yang terjadi di masa depan, ketika melihat Kalan debut bersama orang lain, bukan bersama tim mereka. Duta rasanya ingin tertawa miris, lima tahun ternyata tidak ada apa-apanya.

"Duta."

Pemuda itu menoleh.

"Gue tahu ini berat," Jihan menoleh ke arah Duta. "Tapi ayo berjuang sekali lagi, mimpi yang mahal akan dibayar dengan hasil yang juga mahal."

Duta terdiam menatap Jihan, ia merenungi ucapan gadis itu. Mimpinya memang mahal, karena bukan sembarang orang bisa berada di atas sana, tapi ia tinggal selangkah lagi mengambil tempat itu. Benar, bukan saatnya untuk menyerah. Sangga mungkin benar-benar telah bosan dengan semua itu, tapi Neal dan Kalan hanya menyerah untuk HNH, mereka tidak menyerah untuk mimpi mereka.

Dan kalau Duta juga bekerja keras, mungkin di masa depan mereka akan dipertemukan kembali di panggung yang sama. Mungkin bukan sebagai grup, tapi sebagai teman, sebagai keluarga. Dan hingga saat itu tiba, Duta tidak akan menyerah.

"Jihan, terimakasih. Awalnya gue ragu untuk membicarakan ini karena gue gak mau melibatkan Lo ke dalam masalah pribadi, tapi ucapan Lo membuat gue sadar, ini bukan akhir dari perjuangan gue.

Sebenarnya, HNH menawarkan gue untuk debut akhir tahun ini, tapi gue ragu untuk menerimanya. Ini seakan-akan gue menghianati teman gue sendiri."

Mendengar itu Jihan berjalan mendekat. "Duta, Lo berada di posisi ini karena kemampuan Lo, bukan karena orang lain. Lo bilang ini bukan akhir dari perjuangan Lo, inilah saatnya Duta, ini awal dari perjuangan Lo. Terima jika itu memang kata hati Lo, lepaskan dengan hati-hati jika dia menolak."

Duta tersenyum, ia tidak pernah menemui seseorang yang benar-benar mengerti keadaannya, karena Duta memang tidak pernah bercerita banyak kepada orang-orang. Bahkan orang tuanya sendiri, Duta lebih memilih memendam untuk dirinya.

Dan ketika bertemu Jihan, gadis bodoh yang dengan konyol berdoa di pohon beringin yang ia anggap keramat, itu seperti merubah hidupnya sendiri. Ketika mereka bertemu untuk kedua kalinya, Duta tidak bisa mengendalikan keinginannya sendiri untuk lebih dekat dengan Jihan. Mengganggu hidup gadis itu hingga Jihan berpikir bahwa ia adalah utusan pohon keramat untuk membuat hidupnya sial.

Padahal, beberapa di antara pertemuan mereka merupakan kebetulan. Duta pun tidak mengerti, kebetulan-kebetulan itu terasa menyenangkan sebenarnya.

Young, Dumb, StupidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang