part 25 (day 25)

1K 111 7
                                    

Hendry mengulas senyum tipis, saat Wasy menghampirinya. Sudah hampir dua minggu lebih ia liburan bersama teman-temannya.

"Apa kita akan langsung pulang Tuan?" tanya Wasy, ia menatap Hendry yang sejak tadi memperhatikan dirinya tanpa ada niatan untuk masuk ke dalam mobil, yang sudah terparkir dengan baik dihadapan pria itu.

Hendry langsung mengalihkan tatapan miliknya kearah Wasy, sebelum berjalan masuk ke dalam mobil, karena terlalu banyak melamun ia sampai lupa jika Wasy datang kesini untuk menjemput dirinya.

Wasy kembali masuk ke dalam mobil setelah Hendry masuk lebih dulu, mobil kembali berjalan dengan keheningan yang terjadi cukup lama, sampai tatapan Hendry mengarah pada salah satu cafe yang memang baru buka beberapa bulan ini, ia belum sempat datang kesana untuk melihat-lihat, mungkin kesana sebentar sebelum pulang tak masalah sama sekali bukan?

"Wasy, aku ingin ke cafe itu sebentar untuk membeli makanan. Kau tunggu di dalam mobil," ujar Hendry, yang di angguki Wasy, sebelum memarkirkan mobil.

Hendry langsung berjalan keluar dengan senyum tipis tersemat diwajahnya, tak ayal banyak yang memberikan atensinya pada pria dewasa itu.

Tatapan itu menatap kearah penjuru cafe yang memang terasa cukup nyaman untuk menghabiskan waktu disini seharian, mungkin lain kali ia akan datang kesini lagi bersama dengan teman, atau bahkan keluarganya untuk mengajak mereka merasakan ketenangan yang ada disini.

"Selamat datang Tuan, ini menunya. Anda bisa memesan apa yang Anda inginkan, terima kasih."

Hendry langsung menatap asal suara yang terdengar disamping, ia menyipitkan matanya, melihat pria yang mungkin lebih pendek darinya, namun 'manis'.

Hendry tak menanggapi ucapan sang pelayan, ia langsung saja menerima buku menu, memesan apapun yang ia inginkan untuk dibawa pulang, sebelum mengembalikan menu itu pada pemuda yang merupakan pelayan yang ada di sini.

"Terima kasih, mohon ditunggu sebentar untuk pesanannya."

Hendery hanya menganguk sebagai jawaban sebelum pelayan itu beranjak dari sana.

"C'mon, dia cukup manis." Hendry terkekeh.

Sedangkan si manis yang dipikirkan Hendry, tengah melamun hanyut ke dalam pikiran atas kejadian barusan.

Leo mengantarkan catatan yang ada ditangannya pada Zamni, yang memang bertugas untuk membuatkan beberapa pesanan untuk pelanggan, ia terdiam sebentar karena melihat sesuatu yang aneh tadi.

Saat Jani menyuruhnya melayani meja nomor tiga, ia langsung saja mendatangi meja itu sebelum Leo dibuat terkejut dengan wajah pelanggan itu, wajahnya sedikit mirip dengan Chris namun lebih segar saja, karena wajah Chris sedikit putih nyaris pucat sedangkan pria tadi putih biasa.

Wajah mereka hampir sama membuat Leo bertanya-tanya apa hubungan mereka berdua sehingga wajahnya bisa semirip itu? Atau mungkin itu saudaranya Chris? Ah kenapa ia bisa melupakan satu fakta jika memang Chris mempunyai seorang saudara yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Ia yakin bahkan sangat yakin jika itu saudaranya Chris, pria itu cukup tampan dan juga dingin membuat Leo merasa penasaran apa perbedaan antara dua saudara itu? Jika Chris pria yang sangat perhatian, suka berbicara hal-hal random, mudah senyum maka saudaranya tadi berbanding terbalik.

Tatapan nya cukup datar, sangat sulit tersenyum dan tak berbicara sedikitpun, Leo jadi penasaran mungkin nanti ia akan mencari tahu lebih lanjut lagi, tentang saudaranya Chris yang memang belum ia ketahui selama ini.

Mungkin ia akan bertanya secara langsung dengan Chris, untuk memastikan hal itu agar rasa penasarannya berkurang.

****

"Ma, aku ingin bertanya." Chris ikut duduk bersama Luna disofa.

"Ada apa?" tanya Luna.

"Eumm, apa cacar air tak boleh terkena air?"

"Bisa, hanya saja sesuaikan suhu. Jika terkena cacar air maka mandi harus dengan air hangat," jelas Luna.

Chris mengangguk mengerti, ia harus melakukan riset untuk buku yang akan ia terbitkan.

"Kenapa putra bungsuku ini menanyakan hal itu?"

"Tidak, hanya saja aku sedang melakukan riset untuk buku yang akan terbit," ucap Chris.

"Wahhh ... novelmu akan terbit lagi?" Nive menghampiri ibu dan anak itu, ia terlihat sangat antusias. Tak peduli dengan kedua orang yang setengah terkejut karena kedatangannya yang tiba-tiba.

"Kau tahu? Aku penggemarmu, aku mengoleksi karyamu itu," tutur Nive.

Chris hanya terkekeh ringan, bukunya memang cukup terkenal.

"Kau benar-benar menyukai karyaku?" tanya Chris, yang langsung di angguki Nive.

"Ya, apalagi yang berjudul aku, dia dan luka. Haish, itu cerita yang sangat menyedihkan," ucap Nive, mengingat bagaimana ending tragis yang menimpa si tokoh utama, sungguh dramatis isi cerita itu.

"Itu hanya fiksi, kenapa kau berkaca-kaca seperti itu, lagipula itu ending yang bagus menurutku," ucap Chris, ia melihat mata Nive yang berkaca-kaca saat menceritakan isi cerita yang ia buat.

Nive tertawa kecil, namun ia benar-benar tak bisa lupa dengan novel itu, Chris benar-benar menuangkannya dengan baik, membuat pembaca ikut hanyut ke dalam isi ceritanya.

"Mama akan ke dapur, mengobrolah." Luna pergi meninggalkan keduanya, memberi waktu bagi putranya dan Nive.

"Bagaimana kau bisa berpikir membuat ending seperti itu Chris?" tanya Nive.

"Ya, aku hanya berpikir realistis. Kita sebagai manusia tak akan mampu menahan luka yang begitu besar, jujur saja aku ini seorang pecundang yang takut terluka,"

"Lalu bagaimana jika kau terluka?"

"Mungkin itu sebuah chapter menyakitkan dalam hidup, aku tahu aku akan hancur, namun, bukankah masih ada extrapart bagi orang-orang yang terluka?"

Nive meremat celananya, kedua bola mata bening itu mungkin akan menangis jika kelak telah bertemu dengan lukanya.

"Chris apa kau pernah berpikir, jika lukamu itu adalah kekasihmu sendiri?" tanya Nive.

"Nive, tugasku hanya percaya dan mencintai dia, sisanya terserah Leo, bagiku Leo yang mencintaiku saja itu sudah cukup. Aku sangat mencintainya, bahkan buku yang kali ini akan terbit, itu semua tentang dia." Chris berucap dengan tulus, seakan dunianya benar-benar tentang Leo.

"Apa tak ada lagi tempat bagiku?" tanya Nive ragu.

Chris mengulas senyum tipis, lalu menangkup kedua pipi Nive, kedua mata submisif di depannya me merah, kentara menahan tangis.

"Nive ... aku tahu, bukan keinginanmu mencintai seseorang yang sudah menjadi milik orang lain, namun, berusahalah untuk melupakanku dengan perlahan, aku tahu ikhlas itu hanya omong kosong, namun cobalah untuk terbiasa tanpa melibatkan perasaan saat bersamaku. Nive, diluar sana masih ada dominan yang akan mencintaimu dengan tulus, mari hidup dengan damai. Maafkan aku Nive, aku tak bisa membalas perasaanmu." Chris menghapus air mata Nive yang mengalir begitu saja.

Bagaimana bisa ada manusia berhati selembut Chris? Bagaimana bisa Leo hanya memanfaatkan Chris? Nive semakin sakit saat mendengar begitu besar cinta yang Chris miliki, Chris sangat bersikap baik padanya, apalagi pada Leo yang menjadi poros dunianya.

Nive berhambur memeluk Chris, ia menyayangi Chris, sangat.

"Chris ... bagaimana aku mendapatkan ... dominan sepertimu?" Nive terisak, ia ingin pria seperti Chris.

Manusia berhati malaikat ini, bahkan tetap tenang saat beredar rumor tak baik tentang kekasihnya. Nive semakin terisak saat ia merasa punggungnya diusap dengan lembut, ia merasa nyaman dan aman.

Apa Leo tak merasakan hal sama? Sampai ia berani akan menyakiti pria sebaik ini.

___TBC

Kangen kalian, thanks for reading gyuss ... love sekebon.

Regret ( Terbit)Where stories live. Discover now