𝟏𝟑. 𝐅𝐞𝐞𝐥 𝐔𝐧𝐟𝐚𝐢𝐫

872 48 10
                                    

_

■■■

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

■■■

Di tengah perjalanan menuju kota New York dengan melalui jalan tol, Arciano menyetir dengan fokus dan mengatur kecepatan sesuai aturan yang berlaku dengan baik, sedangkan Darkan dan Anne yang duduk di kursi penumpang, keduanya sama-sama diam, tidak membicarakan apa pun, dan duduk dengan jarak yang cukup berjauhan.

Perjalanan mereka pun tanpa ditemani alunan musik apa pun, hanya terdengar suara halus angin yang berpadu dengan kendaraan roda empat di sepanjang jalan.

Anne diam-diam melirik pada Darkan, pria itu sedari tadi diam dengan pandangan ke luar jendela, dan ia merasa dia tampaknya sedang memikirkan banyak hal karena kerutan di wajahnya menggambarkannya dengan jelas.

"Darkan."

Darkan lantas menoleh dan tanpa sadar tersenyum, hatinya terenyuh dan mendadak suasana hatinya menjadi lebih baik, ia paling suka mendengar suara Anne saat memanggilnya dengan lembut. "Ada apa?"

Anne mengeluarkan camilan lalu memberikannya pada Darkan dengan gerak tangan yang kikuk. "M-makan ini."

Anne menawarkan camilan karena berpikir camilan ataupun makanan berat akan dapat membuat suasana hati menjadi lebih baik.

Darkan menggeleng pelan. "Tidak perlu." ucapnya dengan senyuman yang perlahan memudar lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"A-apa kau membutuhkan sandaran?"

Darkan refleks menoleh dengan mata membulat sempurna, terkejut mendengar tawaran dari Anne, sedangkan Arciano tidak peduli mendengar itu, dia tidak terkejut ataupun tertarik untuk menguping pembicaraan dua orang itu.

"D-dulu kau juga pernah menawarkanku pelukan saat aku panik. Aku sekarang... melihatmu seperti sedang banyak pikiran, a-aku menawarkan itu agar merasa tidak berhutang." Anne berucap dengan terbata dan pupil matanya bergerak panik.

Anne pun menyesal karena malu menawarkan hal itu, apalagi sepertinya Darkan tidak tertarik sama sekali dengan tawarannya.

Darkan mendengarkan penjelasan terbata Anne tanpa ekspresi, lalu secara perlahan kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk senyuman yang tulus. "Sepertinya kau yang sedang membutuhkan sandaran?"

Anne yang panik refleks mengubah posisi duduknya mendekat pada Darkan, dan menggeleng keras sambil menyilangkan kedua tangannya. "Tidak sama sekali, aku hanya merasa berhutang padamu." sangkalnya.

"Baiklah, sekarang hutangmu lunas." Darkan menyandarkan kepalanya pada pundak Anne, lalu perlahan ia memejamkan matanya.

Tubuh Anne membeku di tempat, ia benar-benar merasa semakin gugup setelah Darkan menyandar padanya, sehingga ia tidak berani bergerak sedikit pun.

Sementara itu, Darkan pun diam-diam menahan perasaan senang yang bergejolak dalam hatinya, ia sungguh hampir bertindak konyol karena tak dapat mengatur mimik wajahnya atas tawaran dari Anne ini!

Namun, Darkan tidak menyandar sepenuhnya pada Anne karena ia tidak ingin memberatkan pundaknya.

Darkan pun berpikir akan lebih bahagia lagi jika Anne juga menyandarkan kepalanya pada pundaknya.

Anne menelan ludahnya, merasa semakin gugup sekaligus panik saat merasa jantungnya berdegup kencang hingga ia sendiri dapat mendengarnya, ia pun bertanya-tanya apakah dari jarak sedekat ini Darkan dapat mendengar detak jantungnya??

Tak lama kemudian, di tengah keheningan mereka, nada dering ponsel Anne berbunyi lalu dengan kikuk ia mengeluarkan ponsel dari tas kecil yang berada di atas pahanya.

"Tanganmu dingin." Darkan berucap saat siku Anne tak sengaja menyentuh kulit tangannya, dan ia telah duduk di posisi semula sejak dia mengeluarkan ponselnya.

Anne hanya menatap sekilas dengan tatapan gugupnya sebagai respon dari perkataan Darkan, ia tidak tahu harus berkata apa, menyangkal pun tidak bisa karena tangannya memang selalu dingin saat merasa gugup, selain dingin, bahkan sampai bergemetar.

"H-halo, Profesor Flerry." Anne mulai berucap di telepon, dan ia menggenggam kuat dan menekankan ponsel ke telinganya agar tangannya yang bergemetar tidak terlalu terlihat.

"B-benarkah??"

"Baik, terima kasih banyak!"

Darkan diam memperhatikan Anne dengan salah satu alis terangkat, dan menebak-nebak, dia tampaknya baru saja mendapatkan kabar baik, sehingga dia terlihat sangat bersemangat dan bahagia.

Setelah Anne selesai menelepon, Darkan mulai bertanya. "Sepertinya kau baru saja mendapatkan kabar baik?"

Anne mengangguk dengan penuh semangat dan memegang ponselnya kuat-kuat, tetapi tak ada lagi tatapan gugup, yang ada hanyalah kebahagiaan lain yang tidak ia duga.

"Aku diterima kerja paruh waktu di klinik hewan milik Profesor Flerry, dia salah satu pengajar di kampusku!"

"Sungguh?"

Anne kembali mengangguk dengan penuh semangat.

Darkan tersenyum. "Aku ikut senang mendengarnya."

Anne mengucapkan terima kasih lalu kembali memainkan ponselnya, ia akan memberitahukan informasi itu pada Naomi karena selama inilah temannya itu yang selalu mendukungnya.

Di sisi lain, di sebuah mobil yang menepi di pinggir jalan rute 9 bagian utara menuju kota New York, Jean dan Naomi yang telah menghentikan kegiatan mereka, kini keduanya sedang merapikan pakaiannya masing-masing. 

"Jean, apa hubungan kita tidak bisa lebih dari teman?" Naomi memberanikan diri bertanya hal yang selama ini ia pendam.

Jean terkekeh tanpa menatap Naomi. "Sebelum kau mengatakan itu, aku harap kau sadar posisimu di mana, kita jelas berbeda."

Naomi terdiam dan menelan ludahnya secara kasar, ia tahu maksud perbedaan Jean tadi, yakni mengenai kesenjangan sosial.

"Jean, tetapi Anne juga berbeda. Dia lebih rendah karena diambil dari panti asuhan, dia hanya beruntung karena diangkat menjadi anak oleh pasangan pengacara ternama di negeri kita ini." Naomi berucap dengan berani, ia sudah muak menahan hal yang selama ini ingin sekali ia katakan kepada Jean.

"Jean, yang jelas antara aku dan Anne, dilihat dari apa pun akulah yang lebih baik. Anne hanya beruntungg—"

"Diam." Jean melayangkan tatapan kesalnya, ia tidak ingin mendengar bujukan ataupun keluhan seperti itu dari Naomi, siapa dia? Teman dekatnya bukan, kekasihnya bukan, bisa-bisanya dia membujuknya dan mengeluh padanya.

"Jean, kalau soal kecantikan, aku sekarang tidak kalah cantik, bukan? Aku berhasil berubah menjadi lebih cantik sekarang, tidak ada yang mengataiku orang aneh lagi, penampilanku sekarang—"

Jean berdecak kesal dan mulai melajukan mobilnya. "Aku tidak peduli tentang itu, asalkan keluarganya jelas terpandang baiknya sama seperti keluargaku." ucapnya dengan pandangan menatap jalanan di depannya.

"Tetapi Anne bahkan hanya anak angkatt—"

Jean lantas mengerem mobilnya secara mendadak, lalu menatap Naomi dengan emosi yang tertahan, ia muak mendengar ucapannya yang tidak penting dan berbelit itu. "Turun."

Naomi mengatupkan mulutnya lalu menggeleng. "Aku tidak mau, kakiku sakit." ucapnya sambil menyentuh kakinya yang terkilir.

Jean terkekeh. "Sakit? Aku tahu kau hanya berpura-pura terkilir."

Kemudian Jean kembali melajukan mobilnya, sedangkan Naomi berusaha menahan kekesalannya, lagi-lagi mengapa selalu Anne yang lebih unggul darinya? Anne dapat selalu memiliki segalanya dengan mudah, mengapa ia tidak? Ini sangat tidak adil.

TBC

U

dah vote, komen, dan follow
🦋qinazxaa🦋??












(²) 𝐙𝐈𝐎𝐍𝐍𝐄 || 𝐓𝐨 𝐁𝐞 𝐅𝐨𝐫𝐞𝐯𝐞𝐫 Where stories live. Discover now