2

104 4 0
                                    

2

Ketika pertarungan dinyatakan selesai, Hera Dice sudah tidak bisa lagi menahan kesabarannya. Perempuan itu benar-benar berdiri, menyibak setiap kerumunan yang menghalangi jalannya menuju belakang panggung. Tidak ia hiraukan lagi teriakan teman-temannya—apalagi milik penonton lain.

Ruang belakang panggung mirip gudang. Semua orang di sana berwajah asing dan kebanyakan lelaki. Baju mereka basah karena keringat dan berbau pesing. Mereka berdiri berhadapan—menghitung uang dalam jumlah yang masif sambil melontarkan makian atas kekalahan Hana. Hera celingukan di antara benda-benda yang ditumpuk sembarangan, mencari saudara kembarnya.

"Ketemu kamu!" Ia menarik bahu Hana yang sedang terbaring dan memaksanya duduk. Hana sempat mendengus, memutar bola matanya dengan sebal.

"Hei kamu..." Seorang lelaki muda berbadan kurus yang kebingungan mencoba menghalangi kemarahan Hera, sebab barusan ia sedang fokus membersihkan luka dan mengompres wajah Hana.

Sekarang lelaki kurus itu semakin bingung karena Hera muncul dengan wajah yang sama. Hana dan Hera memang benar-benar identik. Lelaki malang itu berhenti bicara, ia memandang dua wajah tersebut bergantian.

"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanya Hana, sambil menempelkan kompres di atas lebamnya. Badannya yang berkeringat membuat otot kering di bahu dan lengannya semakin menonjol.

"Bagaimana kalau aku bertanya hal yang sama padamu? Bikin malu saja!" Hera memukul wajah adiknya. Darah yang tadinya sudah mengering kembali mengalir dari hidung Hana. Kini lebih segar.

Carol, Misa dan Brian kemudian muncul. Dengan segera Brian menarik kerah baju Hera.

"Sudah! Kita pulang saja dulu. Selesaikan di rumah saja." Carol Sue bicara. Sekilas gadis itu menatap wajah Hana yang bengkak-bengkak. Ia merasa kasihan, tapi cepat-cepat Carol beralih pada Hera. "Selesaikan di rumah saja."

Untuk sedetik Hera merasa setuju dengan kata temannya. Ia menatap Hana sekali lagi, lalu menggeleng dengan tatapan kesal bercampur jijik sebelum berbalik. Hana menatap tajam pada kakaknya.

"Kamu akan pulang bersama kami?" Brian menepuk bahu sepupunya.

Hana menoleh pada Brian lalu menggeleng. "Aku menyusul. Aku bawa mobil sendiri." Hana memungut buntalan kompres dari lantai yang kotor, mengibaskannya beberapa kali lalu menempelkan benda itu di hidungnya yang jadi semakin aneh bentuknya. Brian mengangguk, setelahnya memberi komando pada yang lain untuk pergi dari sana.

"Ini ideku, ini salahku." Carol bergumam terlalu keras sehingga Misca yang berjalan di sebelahnya cukup bisa mendengar. Perjalanan ke mobil berhenti sementara bagi dua perempuan itu.

"Kuberitahu kamu, Carol Sue. Aku tahu kamu menyukai Hana. Kamu perduli padanya, makanya kamu mengajak Hera ke sini. Tapi, kalau Hera tidak tahu soal ini, kita akan kehilangan lebih banyak. Lagi pula, Hana kalah hari ini. Kamu bisa membayangkan bagaimana bisnis orang tua kita akan dibikin kacau kalau seorang dari kembar Dice mati di atas matras pertarungan bebas?" Misca maunya menegarkan hati temannya. Tapi kadang niat baik itu terdengar terlalu ofensif.

Perempuan yang lain merasa apa yang dikatakan Misca ada benarnya. "Tapi, kalau kita tidak datang mungkin malam ini dia akan menang." Carol mengungkapkan penyesalan.

"Dia tidak selalu menang Carol. Tidak malam ini, mungkin bulan depan atau bulan setelahnya. Dia bukan orang terkuat di dunia ini." Misca melengos pergi.

Carol butuh waktu beberapa detik untuk menyingkirkan rasa khawatirnya kemudian menyusul semua orang ke mobil.

"Oke. Semua orang tahu kita harus membayar taruhan ini pada siapa." Brian fokus pada taruhan mereka.

4. Pair a Dice GxG (END)Where stories live. Discover now