40

50 5 0
                                    

40

Tentu saja, bertemu Nafas yang sudah menunggu di lantai bawah bukan sebuah kejutan lagi untuk Hera. Latar belakang pertemuan mereka yang pertama cukup membuat mereka punya alasan untuk saling menilai kekuatan. Tapi, pertemuan mereka yang terakhir pula, sanggup membuat mereka saling berjabat tangan sekarang. Nafas membantu Hera menyelamatkan Hana. Nafas juga rela terluka untuk menyelamatkan Hana. Syukur hanya betisnya yang tertembak. Kalau orang ini mati, rasanya Hera sudah tidak punya tenaga lagi untuk drama putaran kedua. Ia lelah berurusan dengan kematian.

Obrolan ringan dimulai, semua punya pertanyaan basa-basi untuk diutarakan. Semua punya jawaban retoris untuk diungkapkan. Semua punya senyum—hampir setengah tahun tidak bertemu membikin mereka menyembunyikan susah. Masih ada banyak waktu kalau mau mencurahkan keluh kesah. Tidak hari ini.

Hope menyalami Nafas, Carol, Misca lagi, kemudian ia bermaksud mencari yang mana Hana, sayang ia akhirnya malah menyalami Hera. Syukurnya semua sedang larut dengan obrolan jadi tidak ada yang memperhatikannya. Kecuali tentu, Hera.

Carol adalah yang paling ringan tangan, ia sudah berdiri di belakang meja pantry untuk menyiapkan cangkir, dan mengambil bir di kulkas.

"Dua kopi untuk Nafas dan Hope. Bir untuk Misca, Hana, Hera, dan aku. Hope, bantu aku." Carol mengumumkan seperti seorang pramusaji di restoran keluarganya. Ia menyiapkan minuman untuk mereka yang sudah duduk di meja makan.

Ragu-ragu Hope berdiri dari duduknya. Tapi Hera memegang tangannya.

"Biar aku saja." Hera bangun dan membawakan minuman untuk mereka dari meja pantry.

"Kamu sedang rusak, ya?" tanya Carol heran.

Dalam sejarah, ini pertama kalinya seorang Hera mau melayani orang lain. Setengahnya ia merasa bangga pada Hope. Mungkin gadis ini adalah yang paling mampu merubah sikap Hera. Dulu, Carol begitu skeptis pada gadis ini, tapi nampaknya perubahan yang ia timbulkan setelah datang ke dalam lingkaran mereka cukup melegakan. Carol tidak ingin menghitung keterkaitannya dengan Januar, juga Brian. Cukup sekali ia menghakimi Hope. Ia terbukti salah.

"Terimakasih," kata Nafas. Dengan sopan ia mengangkat cangkir dan menghirup kopinya.

Melihat semua orang sudah berhenti bicara, Misca mendeham, mencari perhatian. Ia akan mulai bicara, tapi tak ingin menyebabkan trauma naik ke permukaan.

"Aku ke sini ada tujuan lain, Carol." Ia memastikan Carol mendengarnya. "Maaf kalau kalian masih trauma, karena aku ada di sini untuk mewakili hal yang ingin disampaikan oleh Diang."

"Perlukah Hana dan Hope..." Sadar ke mana arah pembicaraan Misca, Hera jadi khawatir sekali.

"Tidak-tidak. Aku mengajukan diri karena rindu pada kalian. Sungguh. Aku bertamu seperti teman. Seperti dulu. Ya, aku tahu semuanya tidak sama lagi. Tapi, ya Tuhan, kenapa aku jadi berputar-putar begini?" Misca menghabiskan birnya. Membasahi tenggorokannya yang terlalu cepat kering di saat yang salah. "Aku datang untuk pinjam aplikasimu, Carol."

Terdengar nafas lega dari semua orang di sana.

"Untuk apa?" tanya Carol, selalu waspada. Ia tak ingin temuannya disalahgunakan. "Jangan bilang sekarang kamu juga bekerja dengan Diang."

"Tidak." Misca menoleh pada Nafas. "Sepertinya kita harus menjelaskan semuanya dari awal, Sayang."

Nafas mengangguk. Misca diam. Yang lain diam dan menunggu. Lalu Misca tersadar.

"Oh, kamu ingin aku yang menjelaskannya?"

Lalu Hope batuk. Membuat perhatian lain tertuju padanya.

"Kamu ingin mengatakan sesuatu juga, Hope?" tanya Misca di antara serius dan lugu.

4. Pair a Dice GxG (END)Where stories live. Discover now