19

36 4 0
                                    

19

Katanya kebenaran adalah milik siapa memenangkan pertarungan. Di luar adil atau tidak, dengan cara jujur atau tidak. Begitu yang diyakini Hera. Dia sudah membuktikannya dan dia menang. Dengan mudah. Hera inginnya menahan sampai ronde tiga atau empat. Tapi, di ronde dua si sulung Dice sudah gerah dan merasa tidak sabar. Syukurnya tak ada yang mengenali sifat tak sabarnya sebagai Hera—saudara kembar Hana. Kecuali Hope. Tentu saja. Karena ketika Hera selesai berganti pakaian dan keluar dari belakang panggung, gadis itu mundur dan menghindarinya.

"Hope tunggu," panggil Hera. Ia percepat langkahnya. Ia tak mengacuhkan Brian yang menyongsong ke arahnya dengan rentangan tangan mirip pelukan beruang besar. Hera melewati temannya begitu saja. Ia harus bicara pada Hope. Itu tujuan Hera yang sebenarnya datang ke sini.

"Aku tidak mau bicara padamu!" bentak Hope.

Hera tidak menyerah, ia terus mengejar, menangkapi lengan, bahu atau apa pun yang bisa tersentuh olehnya dari badan Hope.

"Aku bisa memanggil petugas keamanan." Hope masih mencoba melepaskan diri dari cengkraman Hera.

"Beri aku waktu untuk menjelaskan." Hera mencicit. Tapi ia juga tidak bersikap terlalu kasar. Ia lepaskan tangannya jika Hope menepisnya. Lalu ia akan menggapai Hope lagi. Adegan itu terjadi beberapa kali. Mirip film kung fu.

"Menjelaskan apa lagi? Bukannya kamu sudah memenangkan taruhan itu?" tanya Hope akhirnya. Tajam, sinis. "Apa kamu mau memberitahuku kalau aku juga dapat bagian dari kemenangan itu?"

"Taruhan itu tidak jadi kami lakukan," bantah Hera.

"Tidak jadi kamu lakukan? Kenapa? Karena kamu jatuh cinta pada barang taruhannya? Begitu? Persis seperti dalam film?"

Hera mengangguk yakin. Hope memutar bola matanya dengan maksud merendahkan. "Ayolah, Hera. Kamu bisa lebih kreatif dari itu." Hope memijat pelipisnya.

"Ijinkan aku menjelaskan." Hera tertunduk-tunduk seperti sedang memohon. "Beri aku waktu sebentar saja."

"Aku sudah memberimu banyak sekali waktu, Hera. Ke mana saja kamu?"

Hera menghela nafas dengan gusar. "Oke. Awalnya kukira kamu orang jahat. Aku kira kamu alasan adikku ikut pertarungan ini. Aku hanya ingin melindungi Hana. Itu kewajibanku sebagai seorang kakak. Dan bukan aku yang menjadikanmu taruhan. Brian orangnya."

"Kamu membuat Hana mengakui kesalahan yang kamu lakukan. Sekarang kamu membawa Brian... Apa kamu tidak lelah melemparkan kesalahan pada orang-orang di sekitarmu?"

Hera tidak menanggapi pertanyaan Hope yang memojokkannya. Ia tetap melanjutkan pembelaannya. "Aku memang pernah bermaksud jahat padamu. Tapi, setelah mengobrol di kilometer 23, aku tahu kamu tidak seperti apa yang kupikirkan. Dan aku menyukaimu." Hera bersungguh-sungguh. Sempat ia menilai dirinya sendiri dari kaca cermin yang digantung sembarangan di dinding dekat sana.

"Bagaimana dengan Grace? Sempat juga aku mengira kamu sama kesatrianya seperti Hana. Ternyata kamu tidak. Kamu tidak berpikir untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu."

"Waktu itu aku mabuk. Dan aku jadi pengecut ketika mabuk. Aku minta maaf. Kenapa sulit sekali buatmu percaya dan menerima maafku?" Hera kesal sendiri. Belum pernah ada yang berani menolak permintaan maafnya sampai hari ini.

Hope tertawa sebentar. "Kalau minta maaf bisa menyelesaikan masalah, orang tuaku pasti masih jadi pemilik Arena. Dan Grace tidak akan terpaksa menjadi petarung di sini."

"Tapi aku tidak bisa mengembalikan nyawa Grace, Hope. Kamu pun tidak. Kalaupun aku mati—"

"Jangan Hera. Jangan membuatku merasa kasihan padamu. Kalian orang kaya berpikir bisa menukar kesedihan kami dengan uang."

4. Pair a Dice GxG (END)Where stories live. Discover now