4

56 5 0
                                    

4

"Yang tadi itu keren sekali!" Hera berteriak. Mengulang kalimatnya untuk yang ketiga kali ketika mereka berlima menyusuri jalan berkerikil di pemukiman buruh.

"Aku tidak habis pikir..." Misca bicara sambil berkonsentrasi pada dua kakinya. "Aku tak habis pikir, kalian menghabiskan waktu untuk ikut pesta semacam itu. Maksudku kalian punya uang. Kita punya uang. Kenapa kita tidak bikin pesta sendiri?" Misca tidak mengerti pada ucapannya sendiri, padahal ia sangat menikmati dan ikut minum di sana.

"Aku setuju, tapi aku minum banyak sekali. Bohong kalau aku bilang tidak menikmati." Carol Sue menimpali. Tangannya menyarup-nyarup udara. Berusaha berpegangan pada apa pun di sekitarnya.

"Kalau bikin pesta sendiri sudah biasa. Aku sesekali ingin tahu rasanya datang dan menikmati pesta rakyat jelata." Hera berkomentar dengan nada angkuh, ia tidak bisa lagi mengontrol isi pikirannya. Dan itu mengganggu Hana—yang tidak minum sama sekali sejak datang.

"Lain kali mungkin kita harus mengembalikan semua yang sudah kita minum di sana," kata Hana. Empati membuatnya tumbuh menjadi pemuda yang sangat perasa.

"Aku setuju, Hana. Tapi bagaimana mungkin kamu tidak minum sama sekali?" Carol menanggapi. Ia menyipitkan matanya agar dapat fokus pada Hana.

"Mereka tidak kenal kita. Sebenarnya, mungkin mereka tidak masalah jika berbagi." Misca menambahi.

Brian yang sedang bingung mencari kunci mobil menggosok keempat kantong di sisi celana panjangnya. Lalu muncul pikiran baru dalam kepalanya. "Jangan-jangan mereka tahu siapa kita dan berniat mencuri mobilku." Lelaki itu mulai panik saat tahu kalau keempat kantongnya kosong.

Hana menghela nafas. "Kita datang ke sana, kita tidak kenal mereka. Mereka tidak kenal kita. Kita sembarangan masuk ke sana saat kita tahu ada pesta. Apa yang membuatmu berpikir mereka mencuri kunci mobilmu?"

"Mungkin karena mereka tahu kalau tasku merek mahal," ujar Misca sombong padahal apa yang ia katakan tak ada hubungannya.

Hera menggeleng. "Mobilmu aman." Sambil melambai-lambaikan kunci mobil milik Brian. "Aku akan menyetir."

"Kalian mabuk. Hera, berikan kuncinya. Biar aku yang menyetir." Hana mengulurkan tangan untuk menawarkan diri.

"Tidak. Kamu terlalu sadar. Nanti perjalanan kita malah jadi kurang seru." Hera mendebat. Ia langsung masuk ke kursi kemudi. Hana masih mencoba merayu kakaknya. Ia ingin duduk di sebelah saudara kembarnya tapi Misca menyerobot lebih dahulu.

"Aku akan baik-baik saja," celoteh Hera sok jagoan. Nadanya sangat menjengkelkan. Setelah itu yang lain bertepuk tangan.

Dengan berat hati Hana menerima nasibnya. Ia duduk di belakang. Bersama Carol dan Brian yang sepertinya akan muntah dalam waktu dekat karena tidak biasa minum vodka murahan.

Sepanjang perjalanan mereka, Hana tidak pernah berhenti menasehati kakaknya agar memberikan kemudi padanya. Kecepatan mobil mereka tidak stabil. Dan jalanan akan terlihat lebih gelap jika sedang mabuk.

Hera mulai jengkel dengan rengekan adiknya. "Kalau kamu bicara terus aku akan melompat dari mobil." Hera mengancam. Ia membuka pintu kemudi untuk menakut-nakuti Hana.

Sayangnya, saat pintu dibuka mendadak ada pengendara motor yang sedang berusaha mendahului mereka dengan kecepatan tinggi menabrak pintu itu.

Dan kecelakaan tidak bisa dihindari lagi. Pengendara motor itu mati di tempat. Hera gemetar ketakutan. Apalagi Brian, apalagi Carol dan Misca. Sekarang hanya ada Hana. Yang dengan kesadaran penuh menelepon ambulan.

Kemudian beberapa jam memuakkan dilalui Hana sendiri. Lorong rumah sakit tidak begitu ramai pada malam itu. Hana mondar-mandir sambil menggigiti kuku ibu jarinya. Sesekali ia mendengus untuk mengusir bau disinfektan yang menyesakkan. Ia sedang menunggu orang tuanya dan ia ketakutan.

Ini bukan yang pertama si kembar Dice membuat huru-hara. Hera dan Hana Dice sudah sangat sering berulah. Tapi baru kali ini ulah mereka menyebabkan kematian untuk orang lain.

"Hana!" Tuan Dice melangkah cepat-cepat di lorong rumah sakit. Nyonya Dice menyusul di belakang dengan raut muka menyedihkan. Hana langsung menunduk. Ia tak berani menjawab. Ia tahu kalau masalah ini tak akan bisa diselesaikan dengan mudah.

"Siapa yang menyetir?" tanya Tuan Dice setengah berteriak.

Hana diam sebentar. Ia benci terlihat buruk di depan ibunya.

"Siapa?!" suara ayahnya semakin tinggi. Hana sampai terkesiap.

"Aku," jawab Hana. Kemudian ia memaki dirinya dalam hati. Sekarang sudah terlambat untuk menjelaskan. Hana menegapkan badannya. Mungkin Hana terbiasa pasang badan untuk semua kesalahan Hera. Jadi sampai saat seharusnya ia membela diri, ia seperti robot yang sudah diprogram otomatis untuk mengorbankan diri.

Hana melihat tangan ayahnya melayang di udara dan dengan kecepatan yang tidak terduga mendarat di pipinya. Tuan Dice menampar Hana diikuti suara istrinya yang terpekik, "Evan! Jangan begitu di depan umum!"

Seperti baru disadarkan dari ritual eksorsime, Tuan Dice menarik nafas dalam-dalam. Ia memperbaiki lekuk jas dan kemejanya. Rahangnya yang tegas mengeras, ia dekati wajah putrinya, bicara dengan nada menghukum.

"Kamu akan mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Akan kupakai uang sekolahmu untuk mengganti mobil keluarga Doe, juga biaya penguburan untuk del Faith. Dengan begitu kamu akan belajar."

Hana tidak tahu harus bicara apa kecuali menatap mata ayahnya yang tajam.

"Mengerti?"

"Ya." Hana menjawab pasrah.

Lalu setelah itu orang tuanya menghilang di ujung lorong. Hana tidak pernah ingin tahu di mana teman-temannya atau kakaknya pada saat ini. Tapi yang jelas seminggu kemudian ia menemukan dirinya sedang makan siang sendirian di samping gudang sebuah universitas negeri karena tidak punya teman. Sambil berusaha memikirkan nasibnya yang sebatang kara, Hana mengunyah makan siangnya.

Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara berisik. Kira-kira suara itu milik dua lelaki dan seorang perempuan. Atas keingintahuannya yang terlalu mendramatisir, Hana memastikan kalau bunyi-bunyi itu bukan sebuah pemerkosaan.

***

Ketika Hana tersadar dari ingatannya pada peristiwa itu, Hera sudah meninggalkan kamarnya.

Hera keluar dari pintu belakang untuk menyusul ketiga temannya. Tanpa Hana. Brian mengambilkan sebotol bir dari dalam kotak pendingin yang selalu tersedia di sana setiap malam untuk mereka. Ia menyodorkan bir tersebut pada Hera.

"Kutebak, Hana ngambek."

Hera tersenyum sedikit. Hanya untuk berbasa-basi pada mereka. "Dia tidak mau berhenti dari Arena." Hera tertunduk. Sedih.

"Kami tidak akan datang lagi ke sana." Carol mencoba menawarkan janji. Tapi bukan itu yang ada dalam pikiran si sulung Dice.

"Bagaimana dengan taruhan kita?" Raut wajah Hera telah berubah menjadi lebih bersemangat.

"Soal gadis itu? Lupakan saja," kata Misca.

"Namanya Hope." Carol mengumumkan.

Temannya yang lain diam. Menunggu Carol meneruskan kalimatnya. Carol meneguk bir miliknya sampai habis. Mengambil sebotol lagi dari dalam kotak pendingin. Lalu ia duduk kembali di kursinya dengan gestur yang misterius.

"Perempuan itu satu universitas dengan Hana."

Brian dan Misca mengangguk-angguk takjub pada penemuan Carol yang terlalu cepat. Bahkan belum dua jam berlalu sejak mereka sampai rumah.

"Jadi apa yang dia mau dari Hana? Apa gadis itu menyukai adikku?" tanya Hera bingung.

Carol menggeleng. Setelah agak pusing ia berhenti. Mengerucutkan bibirnya yang tipis. "Yang harus kalian tanyakan adalah nama belakangnya."

Misca dan Brian saling lirik. Hera menunduk, lalu berdecak. Ia pandangi Carol Sue lekat-lekat seolah dengan cara itu telepati akan terjadi di antara mereka.

"Del Faith." Hera akhirnya mengucapkan nama itu dalam bisiknya.

4. Pair a Dice GxG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang