25

32 5 0
                                    

25

Carol Sue sudah menyetir selama dua jam keliling kota. Ia tidak punya tujuan. Sampai ia merasa sudah melewati semua jalan tiga kali, gadis itu merasa tak kuat lagi dan menepi. Air matanya jatuh seperti tanpa berhenti. Ia tidak yakin harus merasa lega atau malah tidak. Hana kekasihnya. Melihatnya menderita tentu bukan harapan Carol. Melihatnya menjadi seorang petarung ilegal di Arena bukan juga impiannya

Selama ini pertemanan mereka terasa begitu klise. Semua orang berusaha menjadi yang terbaik. Tak ada yang mentolerir ketidaksempurnaan masing-masing. Terlalu berusaha menjadi baik-baik saja.

Dulu, ketika Carol belum mengutarakan perasaan pada Hana, semua berjalan mulus-mulus saja. Ia pikir akan lebih baik jika mereka akhirnya bersama. Tapi kenyataannya, jauh sekali. Mengenal Hana lebih dekat membuat Carol berkorban lebih banyak. Apa yang akan dikatakan keluarganya ketika tahu siapa Hana yang sebenarnya? Seorang pecandu? Carol tidak yakin bisa benar-benar menerima omongan pedas keluarganya tanpa keinginan untuk bunuh diri. Ia akan dijodohkan dengan orang yang jauh lebih berumur darinya, seperti nasib sepupunya yang lain.

Menjadi bagian dari keluarga Sue, Carol terbiasa mengorbankan kebahagiaan pribadinya. Semuanya berjalan demi bisnis dan nama keluarga. Tidak boleh ada cela. Tidak boleh ini dan itu. Hanya pengecualian mengenai keluarga Dice. Karena Dice kaya raya.

Keluarganya akan membangun dinasti Sue agar lebih besar lagi. Semuanya ditaruh di pundak Carol. Seringkali ia merasa menyesal punya mata sipit, punya kulit berwarna terang dan punya nama Sue di belakang nama yang lain.

Ia dan Hana memang sudah sepakat soal itu. Hana sudah tahu bagaimana bernafsunya keluarga Sue untuk membangun relasi keluarga bersama Dice. Dan itu bukan hal besar untuk Hana, sebab ia tahu dimanfaatkan atau tidak, Carol mencintainya lebih dari kesepakatan keluarga mereka.

Belakangan masalahnya adalah kematian gadis del Faith itu. Hana menanggung kesalahan Hera dan bertarung di Arena. Tapi, secepatnya Hana akan meninggalkan Arena. Ia akan menang pada pertarungan terakhir dan semua akan kembali seperti biasa. Tapi, jadi pecandu adalah masalah yang lain. Meninggalkan Hana di dalam panti rehabilitasi kilat supaya bisa sembuh dari ketegantungan dengan instan sudah membuat Carol merasa jadi orang paling jahat. Ia harusnya ada di sana. Menemani Hana. Bukan malah meninggalkannya seperti orang buangan.

Carol mungkin terlalu cepat memutuskan. Ia bahkan tidak membicarakannya dengan Hana sama sekali. Ia salah, karena tak berdiskusi dulu dengan Hana atau bahkan Hera. Kakaknya sendiri. Ia terlalu panik, ketika melihat sisa bungkusan kokain dalam bak sampah kamar mandi. Juga pada sikap Hana yang aneh malam itu. Ia tidak bisa menunggu sama sekali. Ia hanya ingin Hana tertolong sebelum terlambat.

Masalah lain, siapa yang dengan tega memberi racun itu pada Hana? Kenapa Hana bersikap bodoh? Apa sebenarnya Hana tidak bisa menangani masalahnya sendiri, sehingga ia lari pada obat-obatan? Sesederhana itukah? Sejak kapan?

Pertanyaan bergulir dalam kepala Carol. Ia lupakan sebentar rasa sedihnya, ia menyalakan mesin mobilnya, ia harus mencari Hera, memaksa sulung Dice bekerjasama dengannya demi Hana. Meski ia tahu, membuat Hera bersikap dewasa lebih sulit dari pada memaksa pemabuk untuk mendengarkan nasehat. Atau menyuruh Brian berhenti berjudi. Carol tahu Hera menyayangi adiknya. Seharusnya, itu saja sudah cukup untuk membuat Hera melakukan sesuatu.

Di saat yang sama, di ujung depan hotel bintang empat di seberang jalan, Carol melihat Nafas keluar dengan pakaian yang lecek. Tangannya sibuk mengetik sesuatu di ponsel. Kemudian segera seorang perempuan lain yang tidak Carol kenali wajahnya menghampiri Nafas.

Mereka ngobrol dengan raut wajah serius. Lama-kelamaan Carol jadi penasaran. Ia perhatikan gaya berpakaian mereka yang mirip, kemudian seperti salah lihat, Carol tersentak.

Ia yakin kalau baru saja ia melihat senjata api, terselip di bawah ketiak perempuan yang tak dikenalnya itu—lengkap dengan leash kulit berwarna hitam. Carol melihatnya ketika perempuan yang sedang bicara dengan Nafas itu berkacak pinggang. Siapa Nafas sebenarnya? Apa ada hubungannya dengan Misca? Apakah sahabatnya sedang dalam bahaya?

Carol segera menghubungi Misca.

"Ayo angkat, Misca!" Carol mengetuk-ngetuk setir mobilnya dengan gelisah.

"Halo?" Misca akhirnya menjawab telepon Carol.

"Apa kamu baik-baik saja Misca?"

"Ya? Sejak kapan kalian tertarik dengan keadaanku?" sindir gadis itu.

"Baiklah kalau kamu baik-baik. Aku akan menutup teleponnya." Carol langsung memutuskan sambungan teleponnya tanpa menunggu jawaban Misca. Dan mengikuti Nafas.

Lupa pada tujuan awalnya, Carol berakhir dengan main kejar-kejaran dengan Nafas. Semula mengikutinya dengan mobil lebih mudah. Tapi, jalan yang mereka lewati menyempit. Carol harus turun dari mobilnya. Berlari kecil agar berjarak paling tidak belasan meter di belakang Nafas.

Nafas yang mendapatkan petunjuk baru melesat menuju pintu belakang sebuah restoran. Ia masuk ke dalam sana dengan mudah dan terlalu fokus sehingga tak tahu kalau Carol sedang menguntit dari belakang.

Di ujung dapur, tepatnya di depan pintu walking frezer, Carol menahan bahu orang itu.

"Siapa kamu sebenarnya? Apa yang kamu lakukan mengendap-endap di restoran milik keluargaku?"

"Ya Tuhan, bikin kaget saja. Kenapa kalian ini ada di mana-mana?" Nafas mengeluh. Ia melihat ponselnya sekali lagi. Kemudian menghadapi Carol. "Begini saja, Carol. Aku akan menjelaskannya nanti. Tapi, sekarang tolong jangan mempersulitku. Oke?" Nafas melihat ke arah lain.

"Aku hanya ingin tahu kalau kamu tidak bermaksud jahat terhadap usaha keluargaku." Carol mengantisipasi.

"Apa restoran ini menggunakan racun untuk memasak?"

Carol menggeleng. "Tentu saja tidak! Enak saja!"

"Apa keluargamu berbisnis dengan jujur?" tanya Nafas sekali lagi.

Carol diam.

"Nah, aku tidak perduli soal itu. Aku juga tidak akan mengusirmu dari restoran milikmu sendiri. Kamu bukan targetku." Nafas tidak ingin urusannya panjang, sebab apa yang dicarinya memang tak ada hubungannya dengan restoran ini kecuali sebatas kebetulan. Ia mengintip ke luar dapur. Tempat semua meja makan tertata. Seorang perempuan duduk dekat jendela luar.

"Hope." Carol bergumam di sebelah Nafas. "Apa yang dilakukan perempuan itu di sini?" Carol sudah ingin berkonfrontasi. Tapi Nafas menahannya.

"Tunggu sebentar, kamu akan tahu."

"Brian?" Carol jadi bingung ketika sahabatnya masuk ke dalam sana, duduk di depan gadis del Faith itu.

Nafas senyum-senyum melihat wajah Carol yang pucat. Obrolan Hope dan Brian memang tidak bisa terdengar sampai di tempat mereka mengintip, tapi jelas aneh melihat Brian dan Hope duduk di antara meja yang sama.

"Sebelum masalah ini jelas, kuharap kamu tidak akan berbuat macam-macam." Nafas tidak sadar kalau sekarang ini ia sudah bicara sendiri. Carol keluar dari sana tanpa suara sama sekali.

"Brian?" Carol langsung menghubungi sahabat baiknya itu.

"Ya?" Brian bangun dari duduknya dan menjauh dari Hope.

"Apa yang kamu lakukan bersama Hope?" Carol langsung pada inti.

"Kamu melihat kami?" suara Brian terdengar biasa. Lelaki itu menoleh ke sekitarannya.

"Bukan, sepupuku sedang in charge di restoran, dan ia mengenalimu." Carol antisipasi.

"Oh..." Brian terdengar lega. "Hope sedang me-lobbyku untuk sebuah bisnis di Arena."

"Bisnis apa?"

"Taruhan," kata Brian, kini ia kecilkan suaranya. "Ia ingin aku investasi untuk kemenangan Hana. Kamu tahulah, ini pertarungan terakhir. Dan mereka bilang lawannya akan sama kuatnya. Hope memastikan Hana menang kali ini, sehingga ia tidak harus—"

Cukup. Perempuan itu menutup teleponnya. Carol merasa cukup dengan penjelasan Brian. Jelas dari awal Hope menggunakan Hera juga mempermainkan Hana. Dan apa pun yang berhubungan dengan Hana membuat Carol lebih cepat merasa marah.

Gadis itu memutuskan untuk pergi ke rumah Dice sekarang juga. Hera harus tahu siapa Hope yang sebenarnya. 

4. Pair a Dice GxG (END)Where stories live. Discover now