34

29 5 0
                                    

34

Keresahanlah yang membuat Misca sejak tadi mondar-mandir di kamarnya. Sejak pulang dari rumah Dice dua hari lalu, ia terus saja menunda-nunda. Dengan alasan yang terlalu didramatisir, ia menolak melihat isi flashdisk milik Nafas. Ia takut sedih, ia takut menangis. Ia takut kalau dirinya ingin ikut terjun dari jembatan seperti mobil Nafas. Misca begitu patah hati hingga takut akan berbuat yang aneh-aneh.

Lalu gadis itu memutuskan menaruh flashdisk itu begitu saja di atas meja kamarnya. Ia mandi, kemudian menangis di kamar mandi. Keluar kamar mandi ia menangis lagi. Ia menolak makan. Ia membatalkan janji salon yang sudah dipesannya sejak dua minggu lalu. Ia menolak bicara pada siapa pun. Ia menolak menjawab panggilan telepon dari orang tuanya yang khawatir. Ia menolak panggilan Hera, Carol, Brian. Siapa pun. Ia memutuskan kalau mungkin dirinya butuh ruang, sendiri untuk sementara.

Hingga dua malam sudah lewat, Misca masih berada di dalam kamarnya. Pembantunya yang panik tetap menengoknya setiap tiga puluh menit sekali, khawatir kalau Misca akan bernasib sama seperti artis-artis dalam 'klub dua puluh tujuh' meskipun umurnya belum cukup dan Misca bukan artis.

Sejam lalu ia menyerah juga. Misca meloncat ke atas kursi. Ia nyalakan laptopnya. Kakinya memantul di lantai ketika menunggu semua sistem stabil. Misca mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. Lalu segera memasukkan benda itu ke dalam lubang usb.

15 menit kemudian, ia mondar-mandir di depan laptopnya. Ia sudah menghubungi Hera, tapi tak ada jawaban. Ingin menelepon Hana, tapi ia tak yakin. Menelepon Brian, bukan pilihan.

Jadi, ia terus-terusan ngotot menelepon Carol sampai lima belas kali sebelum Carol merasa terganggu dan akhirnya mengangkat telepon itu.

"Misca aku sedang—"

"Ini penting," potong Misca. Ia tidak suka ditolak. Tidak sekarang, setelah ia menelepon belasan kali. Ini penting!

"Misca..."

"Aku tidak pernah memohon padamu sebelumnya, Carol."

"Kemarin kamu menolak panggilanku. Sekarang kamu menuntut."

"Carol, ini tentang Hana," bisik Misca.

"Aku ke sana."

Misca menutup teleponnya. Ia mondar mandir lagi sambil menunggu kedatangan Carol. Dalam hatinya Misca menghitung, berapa menit yang akan dibutuhkan bagi Carol untuk sampai di rumahnya.

Apakah cukup aman? Apakah tidak ada yang mengikutinya? Apakah tidak ada yang menyadap alat komunikasi mereka? Misca tiba-tiba jadi paranoid.

"Misca..." Carol memanggil dari depan pintu kamar empat puluh lima menit kemudian.

Misca membukakan pintu dengan gugup, menarik tangan Carol dengan kasar, kemudian menutup pintu setelah memastikan bahwa tidak ada satu pun orang yang bisa mendengar mereka dari luar.

"Apa-apaan ini?" Carol takjub melihat kamar Misca yang berantakan. Seolah, sebuah ledakan baru saja terjadi dengan dahsyat di sana.

"Ssst... ssst... Mana ponselmu?" tanya Misca.

Carol mengulurkannya, secepat itu Misca mengambilnya, lalu menyembunyikannya.

"Hei..."

"Terakhir kali kamu merasa panik, kamu sudah membuat kesalahan besar dengan membawa Hana ke dalam panti rehabilitasi itu, Carol. Setidaknya, kamu tidak akan melakukan hal aneh kalau aku menyembunyikan ponselmu sekarang."

"Apa katamu?" Carol tersinggung. Tapi bagaimana bisa Misca tahu soal itu? Matanya yang sipit semakin berkerut.

"Berjanji padaku kalau kamu akan bersikap tenang, karena ini tidak semudah membaca rumus matematika seperti yang biasa kamu lakukan." Misca mewanti-wanti.

4. Pair a Dice GxG (END)Where stories live. Discover now