24

33 4 0
                                    

24

Misca mondar mandir sedari tadi. Pikirannya tidak tenang. Rasanya seperti tiupan angin besar yang memprovokasi gumpalan air garam, membuatnya serupa ombak besar yang menerjang lalu menggulung dan menenggelamkan akal sehat perempuan itu.

Semula Misca yakin bahwa rasa simpati pada pandangan pertama itu benar dan nyata. Tanpa bermaksud semudah itu lupa pada Hera, Misca sadar bahwa dia yang tersakiti di sini. Dia berhak move on. Ia mengenal Nafas terlalu sebentar, demikian juga Hera terhadap Hope del Faith. Sekarang, Misca tidak tahu apa Nafas tertarik padanya. Lalu kalau tidak, kenapa ia bersikap baik pada Misca sejak awal. Apa intensinya?

Beberapa kali Misca menoleh pada Nafas. Entah sudah berapa kali ia putari ruang kamar yang disewanya ini. Kemudian ia menghela nafas panjang yang frustasi. Nafas sebentarnya bangun dari tidur sekaligus mabuknya semalam. Misca melipat tangan di depan dada. Berdiri di sisi ranjang hotel yang ia sewa untuk Nafas.

"Selamat pagi, Nafas." Meski sedang menutupi rasa kesal, Misca masih mampu menyapa.

"Hei, selamat pagi." Nafas cepat menyesuaikan diri, setelah matanya memetakan ruangan di sekitanya, ia segera tahu kalau hotel adalah tempat yang paling masuk akal baginya.

"Kamu keliatan mabuk sekali semalam. Kutanya alamatmu, kamu tidak menjawab. Jadi kubawa kamu ke sini." Misca komat kamit. Bersamaan dengan pintu yang diketuk, Misca melenggang ke belakang pintu. Membukanya untuk semeja makan pagi khas hotel bintang empat. American Breakfast.

Nafas langsung terang wajahnya, matanya tertuju pada segelas air bening dalam teko yang baru datang itu. "Boleh aku minum?"

"Ini memang buatmu," kata Misca, "cucilah wajahmu dulu. Aku ingin bicara."

Mendengar itu Nafas langsung turun dari kasur. Membasuh wajahnya di wastafel kemudian duduk dekat Misca. "Ada apa?" tanya perempuan itu sambil menuang air ke gelas tinggi bening di sana. Minum dengan tergesa-gesa. Susah payah menutupi keraguannya. Mungkin Misca sudah mengetahui penyamarannya.

Tapi, bukannya mulai bicara, Misca malah menciumnya. Nafas tidak bergerak sama sekali.

Demikian Misca merasa mendapatkan sinyal dari sikap Nafas, Misca menciumnya semakin dalam.

"Misca..." Nafas bergumam di tengah-tengah nafasnya yang mulai tidak teratur.

Misca yang sedang sibuk jadi berhenti mendadak. "Apa?" tanya gadis itu kasar.

"Kenapa berhenti?" Agak sulit memastikan apakah pertanyaan itu sebuah gertakan atau malah sebuah protes.

"Apa kamu tidak menyukaiku?" Misca sengaja menyiksa kesabaran Nafas.

Nafas menggeram tak sabar, ia meraih leher gadis di depannya, sebuah kekuatan besar mencoba mengambil alih otak sehatnya. Ia begitu kelaparan, dan bibir Misca adalah yang mungkin bisa memberikan rasa kenyang yang ia butuhkan.

Lalu Misca menarik dirinya menjauh. Nafas kelihatan tidak senang. "Jangan berhenti." Nafas protes.

"Apa yang kamu mau?" Misca menguji.

"Misca." Nafas mengerjap sekali lagi sebelum memutuskan niatnya.

Misca menoleh, tanpa ekspresi.

Lalu dengan gusar, Nafas berdiri. "Kamu benar, kita benar-benar harus membicarakan ini."

Seperti kata Nafas, Misca segera bangun dari tempat tidur. Tak ada yang membahas tentang apa yang barusan terjadi. Meski di dalam perasaan mereka masing-masing sepakat, bahwa yang tadi itu—menyenangkan. Luar biasa.

Misca sudah menunggu di dekat troli sarapan ketika pada akhirnya Nafas meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini tidak boleh terulang. Penyamarannya tak boleh gagal dan, seberapa pun ia terkesan dengan pengalamannya bersama Misca sejak berkenalan sampai tiga menit yang lalu, ia harus segera memutar keadaan. Ia ada di sini bukan untuk itu. Ia lalu mendekati Misca, minum segelas lagi kemudian duduk.

4. Pair a Dice GxG (END)Where stories live. Discover now