6

49 4 0
                                    

6

Setelah sepuluh menit memutari jalanan Purasabha yang padat. Di antara sunyi yang menyelinap masuk ke dalam mobil mewah tersebut, ada dua orang perempuan yang sedang menyusun kata.

"Jadi," kata mereka bersamaan. Lalu diam lagi. Mereka tersenyum untuk diri sendiri. Hope menoleh ke luar jendela, Hera yang sedang menyamar jadi adiknya mengetuk-ngetuk setir dengan jari-jarinya.

"Apa tadi yang ingin kamu katakan?" Hera bersikap santun dengan bertanya. Bermaksud memberi gadis di sampingnya kesempatan untuk bicara lebih dahulu. Mungkin itu yang akan dilakukan Hana yang asli dalam keadaan seperti ini.

"Aku ingin tanya, soal tujuan kita," jawab Hope. Gadis itu berambut coklat kemerahan. Diurai sepanjang punggung, tebal dan bergelombang alami serta nampak sehat. Wangi shampoo yang sederhana kadang tercium, terjalin dengan komposisi unik bersama pewangi gantung mobil.

Hera mengangkat alis. "Aku sih belum yakin. Tapi kalau kamu sedang ingin pergi ke suatu tempat, asal tidak melibatkan paspor dan Visa. Atau tiket pesawat, aku akan mengantarmu," jawab Hera bercanda.

Tentu setelahnya ia melirik pada Hope yang berwajah manis. Kulitnya memang lebih pucat dari kebanyakan orang asli Purasabha. Ada bintik-bintik kecil di wajahnya. Aksen yang selalu menandai keturunan berdarah campuran. Ada sebuah lengkungan di dagunya. Perpaduan yang menarik. Rahangnya yang keras jadi melembut.

"Aku tidak pernah tahu kalau kamu bisa selucu ini." Hope tak sengaja menggoda. Sejarah pertemuan mereka jauh sekali dari riwayat lucu. Hope lebih senang mengistilahkan pertemuan mereka sebagai 'tragedi'.

"Rasanya seperti bicara pada dua orang yang berbeda," imbuhnya.

Hera menahan nafas. "Aku bisa bercanda lebih banyak. Kamu hanya butuh suasana hati yang tepat untuk menghadapinya. Agar tak tersinggung. Kadang aku membual terlalu banyak." Begitulah Hera langsung menjadi dirinya sendiri.

Hera dan Hana adalah sepasang kembar identik. Sejak kecil mereka dipasangkan dengan citra yang sama. Baju yang senada, sepatu yang kadang tertukar pasangannya. Model rambut bahkan parfum mereka. Tapi sifat... Mungkin hanya yang cukup lama menghabiskan waktu dengan keduanya yang bisa membedakan. Dan gadis bernama Hope seharusnya bukan salah satunya.

"Percayalah sulit membuat gadis miskin sepertiku untuk tersinggung." Hope merendahkan diri. Membuat Hera menjadi tak enak entah kenapa. Padahal baru saja Hera memandang rendah intensi Hope pada adiknya.

"Hei," kata Hera, "aku tidak pernah diajarkan untuk membahas uang kecuali dalam mata kuliah akutansi. Keluargaku bukan seperti keluarga Bhuana yang senang memasang plang di mana-mana."

"Tapi keluargamu yang membangun gedung-gedung milik keluarga Bhuana?"

"Maaf..." Hera merasa bersalah. Ia meremas roda kemudi sambil memikirkan topik lain. Ia tidak ingin menyombong. Itu bukan tujuannya.

"Aku yang minta maaf..." Hope menunduk dan memperhatikan jari-jari tangan di pangkuannya. "Kupikir kamu jurusan filsafat."

"Nah itu... Sudah kubilang aku suka bercanda." Hera menutupi omong kosongnya. Hampir saja. "Kita sampai kehilangan inti permasalahannya."

Hope mengangguk. Kemudian tertawa sebentar.

Hera tersenyum lega. "Kalau begitu, katakan padaku, kamu sedang ingin ke mana?"

"Kita pergi ke kilometer 23 saja. Boleh?" tanya Hope.

Hera memandang Hope dan tertegun pada raut sedih di mata lawan bicaranya. "Daerah perbukitan untuk hiking itu?" Hera tak yakin.

"Ya, menanjak ke sebelah kiri ada jalur mobil. Kita bisa lewat sana."

"Aku tak tahu kalau kamu suka berolahraga."

4. Pair a Dice GxG (END)Where stories live. Discover now