14

36 4 0
                                    

14

Kampus berangsur sepi pada jam-jam begini, seperti burung-burung gereja yang biasanya mencari makan dari sisa-sisa nasi bungkus yang diserakkan anjing-anjing kampus, kini beramai-ramai mereka terbang ke sarang-sarang di dahan pohon. Saat Hana melayangkan langkahnya dari kelas, langsung menuju parkiran. Di antara pohon-pohon perindang di depan fakultas, sebuah suara memanggilnya. Milik Hope.

Tanpa menoleh, Hana hanya memperlambat langkahnya. Sebenarnya ia belum ingin bertemu Hope. Seminggu menghindarinya, kini sepertinya ia tidak bisa tidak mengacuhkannya lagi.

"Kita bertemu setiap hari, tapi setiap hari kamu melarikan diri." Hope mengejar dari belakang, suaranya ngos-ngosan.

Hana tidak menjawab. Seperti biasa, wajahnya tidak memaparkan ekspresi apa pun. Dan biasanya, hal itu sangat menyiksa lawan bicaranya.

"Oke. Aku sudah membuat kesalahan kemarin itu dengan menciummu. Tapi waktu itu aku belum tahu kalau kamu dan Hera... Kembar identik." Hope ingin berdamai.

"Terus terang, Hope. Aku tidak mau tahu soal kamu dan kakakku. Urusan kita cuma sebatas pertarungan di Arena. Aku menggantikanmu. Aku bahkan tidak dapat bagian ketika menang. Aku membantumu, dan aku tidak mengharapkan imbalan. Selain itu, aku tidak mau tahu apa pun." Hana menjawab pelan. Namun nada suara yang tak bersahabat—siapa pun bisa menebaknya.

"Kalian memang benar-benar berbeda." Hope tercengang pada sikap orang di depannya.

"Bagus kalau kamu sudah mulai bisa membedakan kami." Hana menimpali.

"Hana."

Hana berhenti berjalan. Menghadapi Hope. "Apa lagi?"

"Kenapa kamu bersikap aneh begini?"

"Dengar, aku yakin kalau aku bukan satu-satunya orang yang mendapatkan foto itu. Dan, aku tidak ingin siapa pun tahu kalau aku punya saudara kembar."

"Artinya kamu akan pura-pura memacariku di Arena."

"Kalian berpacaran?" Alis Hana berkerut. Ia ingin sekali menjambak rambut kakaknya.

"Tidak. Tidak. Tapi pasti begitu kata orang." Hope menjelaskan.

"Aku tidak mau dengar apa-apa lagi Hope. Kalau pikiran orang memang begitu. Artinya kita juga bisa berpisah. Ya, kan?" Hana maju selangkah. Berusaha mengancam. Bagaimana pun juga obrolan dengan Carol soal keluarga del Faith tidak mungkin ia lupakan dengan cepat. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali menjaga jarak dengan Hope mulai sekarang. Mendengar itu, Hope diam di tempat. Ia tidak berani lagi memandang Hana sampai perempuan itu menjauh.

Di sana, seperti yang sudah Hana duga. Hera sudah berdiri di sebelah mobilnya.

"Mau apa kamu di sini?" Hana menjejal pandang pada kakaknya itu.

"Tentu aku tidak akan mencarimu." Hera bicara dengan nada dingin.

Hana menegarkan nafasnya, satu tangannya sudah memegang kunci mobil. "Aku tahu." Tanpa banyak embel-embel lagi, ia masuk ke dalam mobilnya.

Memutari parkiran, Hana melihat Hope menghambur pada Hera dari kaca spion. Ia benar-benar merasa tidak nyaman dengan pemandangan itu, tapi ia terlalu menghargai kakaknya. Hera tidak mau merusak hubungan kekeluargaan hanya karena ingin melindungi Hera dari gadis itu. Mungkin mengobrol dengan Carol nanti—satu-satunya orang waras dari pertemanan mereka bisa membuatnya sedikit lebih tenang. Hana mengambil ponselnya, kemudian menunggu.

"Carol? Apa kamu sedang sibuk?" Hana menelepon Carol, memastikan keberadaan gadis itu. Butuh waktu untuk mengalihkan perhatiannya dari tangannya yang selalu gemetar saat sedang bicara pada Carol.

4. Pair a Dice GxG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang