28

37 4 0
                                    

28

Tapi, siapa?

Hera menyapukan ibu jari kanannya di atas layar ponsel. Zodiaknya gemini. Menurut ramalan cuaca, geofisika, tarot dan astrologi, seharusnya bukan hal yang sulit baginya untuk mengalihkan perhatian dari rasa sedih perihal musibah yang menimpa adik kembarnya—Hana. Dan kekecewaannya pada Hope.

Sebagaimana juga kata primbon, ia mudah tertarik dan penasaran pada seseorang, tapi bukannya sulit untuk beralih pada hal-hal yang lebih menyenangkan.

Hera Dice punya banyak orang untuk dihubungi. Banyak perempuan yang dengan suka rela mengobrol dengannya. Hanya butuh 'gesek-gesek; cring-cring' saja. Kalau Hera mulai menggosok kartu kredit yang ia dapatkan di usia prematurnya, tak perlu yang pelacur, yang katanya gadis baik-baik pun banyak yang mengajukan diri.

Siapa pun, yang cantik, tinggi, pendek, berhidung mancung atau pesek. Yang bertubuh sintal atau yang biasa saja, atau yang di atas standar, atau yang di luar standar. Yang sedang in atau out, yang sedang sale atau diskon. New comer atau old fashion. Seolah tak punya pilihan lain, atau pilihan lain tak ada apa-apanya. Mereka akan memilih Hera. Kalau Hera mau.

Sialnya, Hera punya pilihannya sendiri. Setelah sejam menguatkan tekad. Ia memberanikan diri menghubungi Misca. Seperti Lucifer dan cinta pertamanya—Hawa. Hera tak perduli kalau pun harus merusak hubungan Misca dan Nafas. Ia yakin Misca masih tergila-gila dengannya. Dan, dengan Misca... Hera tak harus mengeluarkan kartu kreditnya.

Dan benar, tak sampai dua kali dering di ujung satunya, Hera mendapatkan apa yang ia mau.

"Halo?" Misca mengangkat telepon.

"Halo, Misca..."

"Oh kamu..."

"Apa kamu menghapus nomorku?" Hera ingin mengumpat, tapi segera setelah ia sadar bahwa kali ini dia yang ada maunya, umpatan itu ia telan lagi.

"Bukan, Hera. Aku sedang sibuk, jadi tak membaca daftar penelepon sebelum mengangkat." Mabuknya Misca berangsur hilang.

Hera bernafas lega. "Apa kamu ada waktu untukku?"

"Apa kamu sudah membutuhkanku? Atau kamu hanya ingin memperburuk suasana hatiku?" Perdebatan ini akan memakan waktu lama, pikir Misca.

"Aku menelepon baik-baik, Misca... Bukan untuk bertengkar. Datanglah ke rumah," rayu Hera.

"Kenapa bukan kamu yang datang padaku?"

Hera menggigit bibirnya sebentar. Lalu ia memutuskan, "Baik kalau begitu. Beritahu aku di mana posisimu, aku akan segera datang."

Tentu, mendengar seorang Hera merendah sedikit sudah cukup membuat Misca senang. Setelah apa yang dilakukan Nafas padanya, baik Hera atau Misca, keduanya kini sedang butuh pelarian.

Pelarian. Berbarengan mobil mereka sampai di hotel itu. Misca tak mungkin membawa Hera pulang ke rumahnya. Meski siapa pun yang ada di rumahnya tahu siapa yang ia bawa. Penampilan Hera terlalu maskulin. Sangat kentara prefrensinya. Ia tak ingin menggali lubang kuburannya sendiri. Jadi, Misca yang memilih hotel. Hera lebih dari mengenal Misca, ia mengikuti saja. Hera yakin Misca sudah tahu mengapa ia tiba-tiba menghubungi perempuan itu.

Menjabarkan masa lalu mereka sama saja seperti menceritakan dongeng dua sisi. Sama seperti menulis sebuah petualangan tak menentu. Lebih mirip sebuah ilustrasi yang ekspresif namun ambigu. Yang kalau diuraikan, akan memiliki ribuan subpoin. Tak mungkin bisa dibikin ringkas di sini. Mungkin lain kali.

Meski pertengkaran mereka sebelumnya belum menemukan titik terang, tak satu pun yang perduli. Kini mereka punya satu sisi yang dapat dijadikan alasan untuk bertemu lagi. Kesepian.

4. Pair a Dice GxG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang