22

31 3 0
                                    

22

Sinar matahari mengabur bersama warna langit yang mulai gelap. Di ujung barat warna oranye masih terlihat, berbaur, membentuk sebuah garis acak berwarna nila. Hera sudah mulai resah menunggu kedatangan Misca sudah mulai resah. Ujung kakinya memantul-mantul di atas pekarangan rumput. Tidak sabar. Sambil masih memikirkan apa hal pertama yang akan terjadi jika Misca tiba.

Apa ia harus menghambur pada gadis itu dan memeluknya? Atau mungkin hanya melambai dari jauh, seperti yang selalu mereka lakukan di depan teman-temannya dulu? Yang jelas ia harus minta maaf. Paling tidak, berusaha melakukannya.

Namun Hera yang terkadang naif masih belum menyadari bahwa, apa pun yang bisa ia rencanakan dalam kepalanya, bisa saja tidak terjadi sama sekali. Sebab Misca, gadis yang ia tunggu datang bersama orang lain. Yang tidak ia kenal sama sekali.

Carol dan Hana bangun dari tempat mereka duduk. Bersisian mereka menunggu sosok Misca mendekat. Tapi belum begitu menaruh perhatian pada bayangan yang lain.

Brian menoleh ke belakang dari sandaran kursinya. Malas-malasan ia bangun dari tempatnya duduk. Ingin menyambut kawan baiknya. Meski sudah agak sempoyongan.

"Selamat datang lagi, bagaimana kabarmu?" tanya Brian dengan nada ringan dan penuh keriangan.

"Sama baiknya denganmu." Misca menjawab sambil memeluk Carol. Kemudian Hana. "Aku banyak berpikir belakangan ini. Aku minta maaf sudah membuat drama."

"Tak masalah, Hera senang kamu datang." Hana membesarkan hati kawannya. Tapi pandangannya segera berhenti pada sosok lain yang mengikuti Misca. "Aku tidak tahu kamu akan membawa teman, Misca?" Hana mengamati wajah Nafas. Model rambut, tubuhnya yang tinggi dan tegap. Ia kagum pada pembawaan Nafas meski baru kali ini bertemu.

"Nafas, kenalkan Hana, yang paling pendiam. Yang ini Carol, yang paling pintar. Yang ini Brian." Misca menunjuk Brian, membuat matanya bertemu langsung dengan Hera, yang sejak tadi mematung dan belum bersuara.

"Aku yang paling tampan, tapi bukan yang paling lelaki." Brian tertawa karena kalimatnya sendiri. Mengingat si kembar Dice punya aura yang selalu lebih maskulin dari dirinya.

Misca tertawa, Nafas juga memaklumi. Ia menjabat tangan semua orang kecuali Hera. Nafas butuh maju selangkah untuk berada lebih dekat dengan Hera.

"Kenalkan Hera, Nafas adalah pacar baruku." Misca bicara bangga. Hera langsung memerah wajahnya. Nafas menyembunyikan wajahnya yang kaget.

"Misca..." Carol menyudahi perang dingin antara Hera dan Nafas. "Bagaimana jika kita duduk dan minum dulu." Kemudian pada perempuan bernama Nafas, Carol bertanya, "Kamu mau kopi atau bir?"

"Bir, aku tak keberatan." Nafas mengambil posisi dekat dengan Misca. Tidak ada yang memberikan kursi padanya, jadi ia duduk di bawah sambil melipat kedua lututnya.

"Jadi bagaimana ceritanya kalian bertemu?" Pertanyaan yang klise, tapi Carol hanya berusaha mendinginkan suasana.

Nafas hendak menjawab tapi Misca mendahului. Ia bercerita dari awal sampai akhir. Sementara Nafas, pandangannya tidak pernah putus dari Brian. Beberapa kali ketika Brian menangkap mata Nafas, ia tersenyum dan tak pernah melepasnya.

Beberapa menit berganti jam, Hera sudah tidak kuat lagi dengan keberadaan Nafas di sana. Maunya, ketika Misca sampai di sini, ia punya rencana untuk mengobrol banyak. Bicara apa saja pada Misca. Tapi kedatangan Nafas, ia tidak pernah mengharapkannya.

"Aku mau masuk ke dalam." Hera bangkit dari duduknya.

Carol dan Hana diam, tidak tahu harus bicara apa. Sementara Brian, ia memegangi pergelangan tangan temannya. "Aku tahu kamu akan mengambil satu-satunya vodka yang masih tersisa di dalam rumah, iya kan?"

4. Pair a Dice GxG (END)Where stories live. Discover now