41

46 4 0
                                    

41

"Kamu tidak akan menceritakan video itu padaku, kan?" tanya Nafas pada Misca. Kini mereka sudah duduk di dapur. Hana minta ijin kembali ke kamar. Sedang Hera dan Hope memilih duduk di kebun belakang.

Misca yang sedang bermain dengan ponselnya berhenti, mengunci layarnya kemudian menatap mata Nafas.

"Semakin banyak kamu menggali masa laluku, kamu akan semakin sakit hati. Hubungan kita terjadi hari ini. Jangan menoleh ke belakang." Misca berusaha bijak.

"Itu video mesum milik Misca dan Hera. Di atas meja makan ini. Sengaja diambil Misca untuk merebut Hera dari Hope. Tapi Nafas, bukan masalah perasaan yang anak-anak manja ini tidak punya. Mereka ceroboh, mereka terlalu sering punya apa yang orang lain tidak," celetuk Carol. "Misca dan Hana juga pernah tidur bersama. Itu kenapa wajah Hana penuh bekas luka."

Nafas heboh sendiri mendengar pernyataan lugas itu dari Carol. Perasaannya jadi tidak menentu. Bagaimana mereka bisa tetap berteman seperti ini? Apa hal semacam ini biasa terjadi di kalangan orang kaya kota Purasabha?

"Tapi kami manusia Nafas, kami belajar setiap hari untuk jadi lebih baik."

"Oh, itu intinya," kata Misca merasa lega. "Nafas, bagaimana?"

"Aku tidak pernah punya pacar," katanya, "aku tidak mau pura-pura pintar di depan kalian semua. Apa kamu masih ingin kembali pada Hera?" Nafas memandang ke luar. Dari jendela dapur ia melihat Hera dan Hope berciuman di kebun belakang.

Misca mengerucutkan bibirnya. "Kalau pertanyaanmu apa aku menyayanginya, maka jawabanku adalah iya. Tapi kembali padanya, tidak. Aku punya kamu, dan aku bersyukur punya kamu."

"Baik, aku akan pergi ke atas, Hana pasti menungguku." Carol meninggalkan Misca dan Nafas di dapur.

Carol melangkah pelan menaiki tangga menuju kamar Hana. Semakin ia mendekat, semakin ia melihat jelas cahaya merah dari dalam kamar Hana membayang-bayangi lantai di celah bawah pintu.

Alis gadis itu berkerut. Semakin ia dibawa oleh rasa penasaran, jantungnya berdegup terlalu kencang, ia mendekat.

"Hana." Carol memanggil, tidak ada jawaban. Pintu kamar terkunci, Carol berusaha sekuat tenaga menahan diri untuk tidak mendobrak pintu itu. Tapi pikiran jelek telah mengonsumsi keberaniannya.

Ia takut, Hana bunuh diri. Ia bahkan belum punya kesempatan untuk bertemu orang yang bisa membantunya keluar dari traumanya.

"Hana..." Carol memanggil lagi. Mengetuk pintu kamar keras-keras.

Tapi sepertinya Hana tidak mendengar panggilannya. Atau tidak memperdulikannya. Carol jadi semakin takut, ia menangis. Semua orang di rumah ini sudah dapat kelegaan mereka masing-masing. Dan Carol terlalu egois untuk kehilangan lagi.

***

"Sedang memikirkan apa?" Carol muncul di pintu kamar rumah sakit dengan sebungkus roti kesukaan Hana.

Hana tersenyum menyambut kedatangan Carol, tapi Carol tahu kalau senyum itu tidak setulus yang terlihat.

"Aku sudah terlalu dekat kematian waktu itu. Kenapa aku tidak mati saja?" tanya Hana.

Carol tidak suka dengan kalimat itu, tapi ia sudah berjanji untuk selalu mendengarkan Hana sampai selesai.

"Aneh sekali, aneh sekali aku tidak mati."

"Kenapa kamu ingin mati?"

Hana menghela nafas, tapi tidak menjawab.

"Karena kamu merasa malu? Pernahkah sekali saja keluarga Dice memikirkan perasaan orang lain?" Carol mengulurkan roti itu pada Hana.

"Justru aku memikirkanmu, aku tidak mau seumur hidupmu terpenjara karena kesalahanku."

"Sekarang kamu bicara soal kesalahan. Hana, berentilah memandangku sebagai putri sulung keluarga Sue yang terhormat dan penurut. Karena aku juga punya penyesalan dan kesalahan." Carol duduk di tepi tempat tidur, sebelah kanan Hana. Agar Hana dapat melihatnya lebih jelas.

"Kesalahanku yang terbesar adalah memasukkanmu ke dalam rehabiltasi sialan itu." Carol tak sengaja mengumpat. "Karena aku membiarkanmu sendirian di sana, aku membiarkan kamu disiksa di sana." Mata gadis itu berkaca-kaca. Wajahnya merah. Pundaknya bergetar.

"Kamu tahu?"

"Aku tahu terlalu terlambat, mereka melakukannya padamu, dan aku tidak bisa melakukan apa pun, selain melihatmu hancur pelan-pelan." Carol menyentuh dada Hana. Membuat Hana ikut menangis.

"Aku pernah bertanya, kenapa Brian tidak membunuhmu sekalian?" tanya Carol, "Mungkin itu lebih mudah buatku. Melihat peti matimu, daripada melihat tubuhmu bergerak-gerak seperti manusia lain padahal di dalam sana kamu sudah mati." Getir, Carol hampir kehabisan nafas. "Sekarang kamu di sini, kamu hidup. Dan selama Brian belum mati kamu akan terus hidup dalam ketakutan. Kenapa kamu tidak mati?"

"Carol..." Hana tidak menduga Carol akan mengatakan ini padanya.

"Tapi, kalau kamu mati, apa kamu yakin itu adalah yang terakhir? Tidakkah bicara tentang kehidupan setelah kematian akan lebih menyengsarakan? Karena kamu tidak tahu, karena kamu tidak tahu, siapa yang akan kamu temui. Dan kalau kamu rindu padaku, pada Hera, uang ayahmu tidak akan pernah bisa membuatmu hidup kembali."

"Carol..." Hana merangkul tubuh kekasihnya. Carol sendiri sudah tidak bisa mengatakan apa pun soal minta maaf. Maaf tidak akan pernah berevolusi menjadi mesin canggih yang dapat mengembalikan waktu.

"Kalau kamu mati, aku tidak akan menangisimu. Aku tidak menangisi pengecut."

"Carol," kata Hana. Ia tahu lukanya tak akan sembuh hanya dengan mendengar pidato Carol. Tapi menyakitkan melihat perempuan ini menangis begitu keras hanya karena dirinya. 

4. Pair a Dice GxG (END)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon