11

41 4 0
                                    

11

"Turunkan aku di sini," kata Hope del Faith ketika sedan hitam mengkilat milik Hera berbelok di tikungan kecil berpasir.

"Tanpa mengurangi kesopananku, Hope. Tapi, aku tidak melihat rumah sama sekali." Hera memperhatikan ruas tepi jalanan itu. Ada beberapa kebun jagung, tiang listrik dan pohon perindang gersang. Tapi, selain lampu jalanan bertenaga surya yang otomatis menyala setelah jam enam sore, Hera tidak melihat bangunan, pos kamling pun tidak.

"Aku tidak bilang kalau rumahku di sini."

"Tapi, aku akan mengantarmu sampai rumah." Hera ngotot.

"Percayalah kamu tidak ingin mengantarku sampai rumah." Kini nada suara gadis itu berubah dingin. Hera tidak punya pilihan selain menginjak rem.

"Bagaimana jika ada perampok?"

"Hus! Perampok lebih menyukai orang dalam mobil sepertimu ketimbang gadis yang pulang malam dengan seragam konyol ini." Hope tersenyum sinis. Miris pada kata-katanya sendiri.

"Kalau pemerkosa?" Hera tahu, kata orang ucapan adalah sebuah doa, tapi ia tak bisa menahan diri.

"Aku akan diam saja."

"Hei..." Hera tidak rela.

"Pemerkosa tak akan senang memperkosa perempuan yang mau diperkosa."

"Kalau mau diperkosa, bukan pemerkosaan namanya. Kamu sedang bercanda atau bagaimana? Kata-katamu barusan sensitif untuk sebagian besar orang."

"Aku sedang menyederhanakan sebuah penelitian dari jurnal yang kubaca. Tenanglah. Ini lingkunganku. Aku besar di sini. Siapa pun yang berani melakukan kejahatan, pasti akan mati keesokan harinya," kata Hope. Ia mengenal kawasan ini seperti mengenal dirinya sendiri. Bisa jadi lebih. Ia lihat banyak pengangguran yang kemudian jadi kriminal. Tapi, untuk apa menjadi kriminal di tempat tinggal sendiri? Tentu mereka akan mencari sasaran empuk di tempat yang lebih menguntungkan. Tempat orang-orang kaya, di mana mereka tidak akan dikenali.

Hera melirik jam tangannya, sudah terlanjur malam dan ia tidak ingin perdebatan ini menjadi alasan menunda waktu. Ia kemudian memiringkan badannya untuk mencium kening Hope. Tapi gadis itu berubah sikap mendadak, ia membuka pintu mobil dan keluar.

Hera mengamati gadis itu menjauh, memastikan bias lampu mobil tidak lagi menyentuh tubuh Hope del Faith. Hera memutar mobil lalu menuju jalan yang ia lewati tadi. Segera setelah menemui jalan raya, barulah Hera memelankan laju mobilnya.

Telepon genggamnya berdering, dengan susah payah ia mengambil ponsel dari kantong jaketnya. Hera melihat nama Misca setelah ia mengusap layar.

"Ada apa Misca?" Hera menjawab tanpa salam.

Gadis di ujung sana sedang bersembunyi di salah satu sudut di rumah besar Dice. Sesekali ia menengok ke belakang. Memastikan tak ada satu orang pun dari teman-temannya yang curiga dan mengikutinya.

"Hana sudah di rumah, kenapa kamu belum?"

"Aku ada urusan sedikit. Apa ada masalah?"

"Aku tidak yakin, barusan Hana pulang, senyumnya lebar sekali. Tidak seperti Hana yang biasanya. Kami sampai salah menebak. Kami kira dia adalah kamu." Misca mendesis.

"Tentu saja! Itu karena dia menang di Arena. Dia pasti senang sekali."

"Justru itu, kamu orang pertama yang dia tanyakan. Dan aku tidak tahu harus menjawab apa."

"Ya, tak perlu kamu jawab. Lagi pula kalau cuma kamu yang tahu di mana aku, Carol dan Brian akan curiga."

"Iya juga... Aku tidak berpikir sampai ke sana." Misca mengetuk-ngetukkan jarinya di tembok. "Tapi kamu sedang dalam perjalanan pulang, kan?"

Hera menghela nafas. "Misca, kamu masih ingat kenapa kita tidak melanjutkan hubungan kita?"

"Ya." Ragu-ragu Misca menjawab.

"Jadi berhenti bertanya seperti nenek-nenek begitu. Aku akan segera sampai." Lalu Hera menutup teleponnya.

***

Hope melangkahkan kakinya dengan riang. Ia membayangkan kembali pertemuannya dengan Hera. Sekilas senyum muncul di ujung bibirnya. Hope tidak menyangka, kebenciannya pada keluarga Dice sejak kematian kakaknya bisa berubah secepat itu. Mereka orang kaya dan sikap mereka tidak seburuk yang Hope bayangkan.

Hera. Hera Dice. Wajahnya dan Hana identik—tentu karena mereka kembar. Namun sikap mereka jauh berbeda. Hera lebih ramah, lebih hangat dibandingkan Hana. Hera pandai bercanda dan menyenangkan. Meski, Hope malu mengakui kalau dirinya sangat tertarik pada perempuan itu. Bagaimana pun juga, keluarga Hera adalah keluarga yang terpandang.

Mereka punya uang dan mereka tak mungkin memandang perempuan seperti Hope sebagai manusia yang layak dipertimbangkan. Mungkin saja Hera hanya ingin bermain-main dengan Hope del Faith? Siapa yang tahu besok atau minggu depan Hera akan bosan dengannya. Hera punya uang dan bisa mendapatkan apa yang ia mau. Apalagi dengan wajahnya yang menarik. Ia bisa mendapatkan yang lebih cantik, lebih berpendidikan dari Hope.

Apa aku harus bersikap lebih jual mahal? Tanya Hope pada dirinya sendiri. Ia tidak tahu apa-apa soal menjalin hubungan. Ia tidak pernah punya pacar. Ia terlalu sibuk dengan urusan hutang yang ditinggalkan orang tuanya. Ia bahkan tak sempat belajar bersolek seperti perempuan yang seumuran dengannya.

Sementara ia berkhayal tentang nasibnya, ia telah sampai di depan rumah. Dari pekarangan sempit itu, Hope melihat lampu rumahnya yang menyala. Warna kuning tumpah ke beranda yang penuh debu dan daun kering. Ia menegarkan nafasnya. Mengendap-endap tanpa suara, ingin masuk dari pintu belakang.

Tapi pintu depan dibuka tiba-tiba. Gagal usahanya melarikan diri dari lelaki itu.

"Selamat malam! Bagaimana Arena malam ini?" Januar. Mantan kekasih Grace bersandar di dinding kayu yang mulai reyot. Tangannya menyimpul di depan dada, menunjukkan dominasinya terhadap Hope.

Tanpa banyak bicara, Hope merangsek masuk ke dalam rumah. Sengaja badannya ia tegarkan, menabrak bahu lelaki menyebalkan itu. Di atas meja ia buka tasnya, kemudian satu persatu ia keluarkan gulungan uang dari sana.

"Ini bagianmu." Hope menyodorkan tiga gulungan pada lelaki itu.

"Hanya segini?"

"Kalau mau lebih kamu kerjalah sendiri," sergah Hope.

"Kamu bisa punya lebih banyak kalau kamu menekan sedikit harga dirimu, Faith."

"Del Faith tidak menekan harga diri, Jan. Tidak sepertimu."

"Jaga mulutmu." Lelaki itu menjambak rambut Hope hingga gadis itu tidak bisa menopang tubuhnya sendiri dan terjembab ke lantai. "Kalau bukan karena orang tuamu banyak hutang padaku, Hope. Grace tidak akan..."

"Jangan sok baik, Januar. Kalau kamu mencintai Grace, kamu tidak akan membuangnya ke Arena."

"Kalau Grace tidak di Arena, kamu tidak akan tamat SMA." Januar menarik Hope untuk berdiri lagi. "Memang kamu pikir jika perempuan itu menang dan menyelesaikan kontrak, dari mana lagi kita akan dapat uang?"

"Aku bisa bekerja apa pun."

"Tentu, kamu bisa bekerja apa pun, tapi kamu tidak akan bisa membayar hutang orang tuamu semudah sekarang. Pikirkan itu."

Hope diam. Sempat muncul ketakutan soal itu. Tapi dia masih percaya pada Tuhan. Dan Tuhan tak akan tahan ia ganggu setiap hari dalam doa. Tuhan akan punya jalan keluar untuknya.

"Di pertarungan terakhir, buat dia kalah. Lalu begitu terus sampai hutangmu lunas. Mengerti?" Januar membentak, liurnya nyiprat ke wajah Hope.

Hope tidak punya jalan lain selain mengangguk. "Bagaimana membuat dia kalah? Kamu lihat sendiri, Hana terlalu kuat."

"Yang itu serahkan padaku. Pertanyaannya apa kamu mau membantuku?" Januar mengambil rokok dari kantong jaketnya. Menyodorkan satu yang sudah dicampur dengan marijuana pada gadis itu.

Hope menerima pemberian Januar. Ia nyalakan rokoknya. Menghembuskan asapnya ke bawah. "Kupikir tidak ada jalan lain."

Lalu minuman dituang, berdua mereka merayakan apa yang ada hari ini. Meski ada yang masih mengganjal di dalam hati Hope tentang si kembar Dice. Ia tidak ingin Januar sampai tahu tentang itu.


4. Pair a Dice GxG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang