10

52 5 0
                                    

10

Dalam tendangan ke dua di ronde pertama, Hana Dice berhasil membuat lawannya tersungkur dalam pose berlutut di samping pita pembatas ring. Suara bel berbunyi menyatakan pergantian babak. Hera, yang terjepit di deretan bangku belakang merasa semakin tidak sabar.

Aku tidak percaya Hana mengulur waktu sepanjang ini, seharusnya ia bisa membuat lawan lumpuh pada lima menit pertama saja. Ini sama saja dengan membuang-buang waktu dan menghina efiensi ilmu kraf maga yang ia pelajari selama ini, pikir Hera dari tempatnya.

Pertarungan saudara kembarnya membuat Hera gemas. Tapi, ia akui kalau penonton butuh sedikit drama di atas panggung. Sering ia mendengar yang seperti itu ketika sedang nonton pertarungan tinju bersama ayahnya beberapa tahun yang lalu. Ketika ia dan Hana masih terlalu kecil untuk ditinggalkan di rumah berdua saja.

Yang datang ke Arena, pastilah orang-orang yang suka melihat orang lain tersiksa dan menderita. Mereka bertaruh dan membayar mahal untuk membuat orang lain berdarah-darah. Mereka, orang-orang kaya yang punya ketertarikan dengan kekerasan atau sekedar hobi judi. Kadang membawa istrinya agar punya inspirasi untuk di bawa ke tempat tidur.

Hera memperbaiki posisi topi dan kerudung jaketnya berkali-kali. Memastikan saudara kembarnya tak akan mengenalinya. Juga gadis pengantar minuman di seberangnya. Ia memasang kacamata dan masker ketika Hope melewatinya. Menggeleng jika Hope menawarinya segelas minuman.

Di saat yang saling berdekatan, sebelum bel ronde ketiga selesai, Hana membuat lawannya tidak sadarkan diri karena tersedak darah. Pertandingan selesai. Hera dengan sabar menunggu semua pengunjung berdiri dan berjalan keluar. Sesekali ia mendengar pujian untuk saudara kembarnya, seringkali makian, karena Hana membuat sebagian besar lelaki di sini kehilangan taruhannya.

Setelah berganti baju di belakang panggung, Hana menenteng tasnya keluar dari sana. Hope menunggu di pintu keluar, dengan seragam putih dan hitam, dasi kupu-kupu yang konyol. Ia tersenyum pada Hana.

"Dua lagi," kata Hana, memamerkan giginya dan kebebasan yang sebentar lagi menjadi miliknya. Suasana hatinya sedang bagus karena menang. Tubuhnya memang terlalu ramping untuk disebut atletis. Tapi kemahirannya melumpuhkan lawan jauh lebih baik dari orang-orang yang melakukan rekayasa hormon untuk membesarkan otot.

"Selamat," kata Hope tulus. "Kamu akan ke mana setelah ini?"

Hana melipat tangan di depan dada. "Aku akan pulang."

Hope mengangguk-angguk seolah menerima saja. Dalam hati tentu ia merasa kecewa. "Ada yang menunggumu?"

"Banyak, percayalah. Teman-temanku tidak akan membiarkanku sendirian," kata Hana sambil mengkhayalkan Brian, Carol, Misca dan kembarannya Hera sudah duduk dengan masing-masing sebotol beer di tangan. Menunggunya pulang dan menang.

Sekali lagi Hope mengangguk. "Aku akan mengantarmu ke mobil kalau begitu."

"Terimakasih." Hana berjalan menuju parkiran yang mulai sepi.

Sebelum masuk ke dalam mobil Hana berbalik, hendak mengucapkan selamat malam pada gadis bernama Hope itu. "Sampai ketemu lagi?" tanya Hana ringan. Dan riang. Hari ini tak ada luka di wajahnya. Hanya sedikit memar di tulang kering dan lengannya.

Hope mengangkat bahu. Ia pandangi mata perempuan di depannya. Mencari-cari Hana yang mengajaknya ke kilometer 23 hari jumat kemarin. Yang menciumnya itu. Lalu Hope memberanikan diri untuk mendekat.

Sepersekian detik gadis itu tahu kalau Hana akan membalas ciumannya. Tapi secepatya juga ia sadar kalau Hana meremat bahunya dan mendorongnya mundur. Meski tidak dengan keras, tapi Hope merasakan malu yang menampari pipinya.

4. Pair a Dice GxG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang