13

41 4 0
                                    

13

Ketika Hana keluar dari kamar kakaknya, suasana rumah jadi lebih sunyi dari sebelumnya. Brian mengirim sebuah pesan singkat yang mengatakan bahwa dirinya akan pulang duluan. Ada urusan yang lebih penting, meski tak lebih rumit dari hubungan kakak beradik Dice. Dan Hana mengerti, mungkin yang paling masuk akal untuk menjadi alasan Brian masih bertahan dengan pertemanan ini hanyalah karena hubungan persaudaraan mereka.

Ibu dari Brian adalah adiknya Nyonya Dice, Ibu dari si kembar. Ia menikah dengan seorang lelaki bernama belakang Doe. Seorang pebisnis di bidang kesehatan dan pengobatan. Mereka punya saham di beberapa rumah sakit besar dan perusahaan farmasi. Kelak Brian akan menjadi pewaris tunggal semua aset tersebut. Meski, tidak sekaya Dice yang punya saham di bidang tambang, energi dan industri makanan.

Misca duduk di dapur dengan secangkir teh di meja. Matanya sembab. Ujung hidungnya memerah. Yukata milik Hera masih menempel kedodoran di tubuhnya, sementara tas dan bajunya berserakan di lantai. Hana tidak tahu caranya menghibur mantan kekasih kakaknya. Lagipula Hana tidak tahu apa-apa soal sejauh mana hubungan Misca dan kakak kembarnya. Sejak kapan mereka bersama atau apa mereka saling menyukai di luar hubungan tempat tidur.

Hana takut salah omong. Jadi dia diam saja, seolah dirinya hanya hantu yang melayang di sekeliling dapur dan berusaha tidak terlihat. Hana membuat kopi untuk dirinya, kemudian membawanya naik ke kamarnya sendiri.

Saat berpapasan dengan Hera, Hana juga tak banyak bicara. Ia sudah melepaskan kemarahannya lewat pukulan-pukulan itu. Dan sudah cukup Hana membuat kakaknya lebam-lebam sepagi ini.

"Kamu lihat Misca?" tanya Hera. Perempuan itu menoleh balik ke arah adiknya.

Hana berhenti. Sambil menjaga keseimbangan kopi dalam cangkirnya ia berputar. "Di dapur. Bersikaplah adil padanya. Aku tidak tahu sejauh mana hubungan kalian, aku tidak akan ikut campur. Tapi, dia teman kita."

Rahang Hera langsung bergerak-gerak karena menahan marah. Ia tegakkan badannya dengan gestur yang angkuh ia bicara, "Jangan ajari aku cara menghadapi perempuan," katanya.

"Tentu." Hana menjawab dari depan pintu kamarnya, setelah itu ia menghilang di dalam sana.

Hana menaruh cangkir di atas meja belajar di kamarnya yang terbuat dari kayu mahogani tua. Kemudian duduk di kursi sebentar. Memikirkan masalah baru yang akan ia hadapi ketika foto itu menyebar akhirnya. Kembali, ia pasti harus membersihkan nama kakak kembarnya. Ia harus menanggung semuanya sendiri. Hana tersenyum kecut untuk menyemangati dirinya sendiri.

Foto itu bisa menjadi ancaman baginya. Ketika orang-orang lain akan memanfaatkannya untuk mengancamnya, atau bisa menambah kontraknya di Arena sesuka hati. Padahal awalnya ia hanya ingin menggantikan Grace—kakak Hope del Faith. Kini pertarungan hanya tinggal dua kali saja. Dan Hana ragu kalau ini akan benar-benar selesai. Atau yang terburuk, mereka akan menggunakan foto itu untuk memeras keluarga Dice.

"Memangnya kenapa kalau meniduri Hope del Faith?" Hana bergumam sendiri, "Gadis itu tak punya siapa pun. Apa salahnya?" Hana menimbang, ia gosokkan telapak tangan di wajahnya, memandang keluar jendela, kemudian pada cangkir kopi yang asapnya menipis di depannya.

"Ketika orang-orang tahu siapa orang tuamu. Hope akan mereka gunakan untuk menjebakmu, mendapatkan uangmu," kata suara di belakangnya.

Hana balik badan. "Ayahku tidak akan memberikan apa pun pada mereka. Ia lebih senang kehilangan satu anak sepertinya." Hana berdiri, menyongsong Carol yang sejak awal sepertinya bersembunyi di kamar mandinya.

Seperti Misca, gadis bermata sipit ini sembab matanya, dan hidung mungilnya begitu merah, mirip seperti buah beri yang masih asam.

"Siapa sebenarnya yang tidak menyadari betapa berbahayanya berurusan dengan pertarungan bebas?" tanya Carol, "Kamu bicara soal del Faith, Hana! Kamu meniduri seorang del Faith."

"Aku sudah menjelaskannya padamu Carol. Masa kamu tidak mengerti?"

"Tidak di bagian menidurinya!" Carol menjauh dari Hana, tapi Hana mendapatkan pergelangan tangan gadis itu dan memaksanya tetap di sana.

"Aku tidak meniduri siapa pun..." Hana berbisik. Ia pandangi mata Carol. "Apa yang kamu tahu soal del Faith?"

Carol melepaskan diri dari Hana, dan duduk di pinggir tempat tidur. "Del Faith dan perjudian adalah sebuah padanan kata. Mereka yang mencetuskan Arena, mereka yang punya aturannya. Tapi, suatu kali ketika mereka jatuh miskin karena keserakahan mereka sendiri. Satu persatu keluarga mereka mati berebut bagian di Arena." Carol memastikan kalau perempuan di sebelahnya masih mendengarkan. "Grace del Faith, aku membeli laporan autopsinya. Ia sudah meninggal sekitar lima menit sebelum kecelakaan itu terjadi. Karena overdosis."

"Bagaimana orang yang meninggal mengendarai sepeda motor? Jangan bercanda, Carol." Hana bingung sendiri, berusaha ia mengingat-ingat tabrakan itu. Keringat dingin mengaliri punggungnya.

"Itu yang aku tidak mengerti. Atau sebenarnya kecelakaan itu tidak seperti yang kita lihat ketika turun dari mobil."

"Maksudmu seorang memboncengnya kemudian melarikan diri?"

Carol menggigit bibirnya. "Itu yang aku ingin buktikan. Tapi tidak mungkin, karena tidak ada saksi, jalan begitu gelap dan tidak ada cctv." Setelah helaan nafas panjang, Carol melanjutkan, "Meski perempuan, Grace petarung hebat, tetapi di pertarungan ketiga ia selalu kalah. Entah kenapa. Sudah setahun begitu terus..."

"Dari mana kamu mendapatkan informasi itu?"

Carol mengangkat bahu. Aku bisa membeli laporan autopsi, kalau hanya untuk membuat seorang bicara jujur..." Carol mengangkat bahu.

"Mungkinkah, seseorang berusaha membunuhnya?" tanya Hana.

"Tidak, seseorang berusaha membuatnya kalah terus. Lalu, terus bertarung."

"Hope?"

Carol menatap mata Hana. "Kamu berharap dia tidak sesadis itu, kan?"

Hana mengangguk. "Hera begitu yakin padanya. Aku tidak pernah melihat kakakku seyakin itu." Hana bisa merasakannya.

"Bagaimana denganmu?" tanya Carol. "Tapi, tentu aku tidak mau tahu soal perasaanmu." Gadis itu tertunduk lesu. "Aku hanya belum punya bukti sama sekali, hal semacam itu tidak bisa dibuktikan. Pembunuhan dengan racun adalah yang paling sulit dibuktikan."

***

Sementara di dapur, Hera sedang membujuk Misca.

"Aku tidak mengkhianatimu, kita sudah putus lama." Hera bicara lembut, ia genggam kedua tangan gadis itu, menangkupkan keduanya di depan wajahnya.

"Aku hanya tidak habis pikir, bagaimana kamu bisa menciumnya, dan meniduriku juga setelahnya? Bagaimana cara perempuan itu merayumu? Bagaimana bisa kamu tidur dengan nyenyak semalam? Sejak kapan kamu menjadi pembohong?" Misca tidak mengerti bagaimana Hera menjadi begini tega dan tak punya perasaan sama sekali padanya.

"Aku minta maaf Misca... Tapi aku tidak tidur dengan Hope. Tidak sampai sana. Dia menolakku. Aku tidak pernah dengan sengaja menyakitimu." Hera bersungguh-sungguh. "Kubilang padamu waktu itu, sampai kita sama-sama menemukan orang lain."

"Tapi kamu menemukan dan aku tidak. Itu bukan sama-sama namanya. Tidak adil sama sekali." Misca menangis lagi, dan Hera yang tadinya menguatkan hati pada perpisahan mereka jadi tak tega.

"Misca, apa yang harus kulakukan padamu agar kamu berhenti menangis?" Hera habis bahan bujukannya. Ia ciumi punggung tangan gadis itu. Ia tidak bisa bohong kalau perasaannya pada Misca terlalu besar. Antara persahabatan dan cinta, ia tidak tahu apa bedanya sekarang. Perasaan Hera bias. Sementara pada Hope, perasaan itu terasa baru, Hera menyukai percikan api yang terjadi dalam dadanya ketika mereka sedang berdua.

Misca yang belum rela menolak untuk menyerah. Gadis itu membuka yukatanya. Ia perlihatkan pada Hera tubuh telanjangnya. Sesuatu yang ia pelihara sepenuh hati untuk Hera. Ia buta pada perasaannya. Ia tuntun tangan si sulung Dice menjelajahi tiap lelukannya seperti pelacur yang tidak tahu malu. Kini ia tidak takut lagi jika seseorang tiba-tiba melihat mereka di sini. Terutama pada sebuah kamera kecil yang sengaja ia pasang di sudut belakang dapur. Hadiah untuk Hope.


4. Pair a Dice GxG (END)Место, где живут истории. Откройте их для себя