29

28 4 0
                                    

29

Di dalam mobil, pagi itu. Carol Sue sudah duduk dengan manis di kursi belakang. Hera menyusul beberapa menit kemudian di belakang setir. Dan Misca mengikuti. Ia duduk di sisi kiri Hera.

Mesin dinyalakan dan obrolan pertama mereka adalah soal kembalinya Hera dan Misca. Tanpa bermaksud melupakan keberadaan Brian. Lelaki itu harus menghadiri pemakaman salah satu kenalannya. Bisa dibilang orang yang dekat dengannya.

"Kalian tidak banyak bicara seperti biasanya," komentar Carol yang sebenarnya sibuk melupakan rasa cemasnya. Perjalanan hari ini mereka lakukan untuk menjemput Hana dari rehabilitasi kilatnya.

Seminggu sudah lalu. Carol tak sabar bertemu Hana. Ia tak sabar melihat kekasihnya kembali seperti dahulu. Sembuh dari ketergantungannya. Bersih kalau mungkin.

"Ya, begitu saja ceritanya. Pada suatu hari Hera meneleponku. Lalu kami ke hotel. Lalu kami berbaikan. Sekian," ungkap Misca sambil melirik Hera yang sepertinya juga berpura-pura menyetir dengan fokus agar tak mesti ikut nimbrung.

"Kalian memang tidak bisa berpisah, kalian terlalu memuja satu sama lain." Carol basa-basi.

"Bagaimana perasaanmu Carol, sejak tadi kamu sibuk mengurusi kami. Apa kamu juga merindukan adikku?" tanya Hera. Ia berujar tanpa menanggapi kalimat Carol sebelumnya. Ia ingin pembahasan tentang dirinya dan Misca segera lewat.

Misca menghela nafas tanpa suara, akhirnya seseorang membantunya menyimpangkan topik bahasan.

Carol gelagapan. Ia pun tidak yakin apa Hana akan rindu padanya. Ia yang memasukkan Hana ke sana, tanpa diskusi sama sekali. Ada kemungkinan Hana akan ngambek padanya. Tapi, ini untuk kebaikan Hana. Dan seharusnya Hana berterimakasih karena Carol menyelamatkan hidupnya sebelum semuanya terlambat.

"Aku... Terus terang, aku merasa takut." Carol mencoba berkata jujur di depan dua temannya. "Aku yang membuat dia ada di sana. Aku memaksanya. Tidak, aku menyeretnya ke sana, tanpa ebrtanya dulu padanya. Rasanya pasti tidak nyaman. Dibiarkan di tempat asing sendirian, dengan segala treatmen dan prosedur yang menyakitkan."

"Aku mengerti," kata Misca bersimpati. "Kupikir kamu sudah mengambil keputusan yang baik. Rehabilitasi adalah yang paling masuk akal untuk dilakukan saat ini."

"Tapi, aku tidak ingin Hana membenciku..." Carol hampir menangis. Kalau ia ingat bagaimana Hana memohon-mohon padanya seminggu lalu, dan ia bersikap seperti seorang algojo di tempat eksekusi. Carol bahkan tidak menatap pada Hana sama sekali. Pada waktu itu ia merasa marah dan dikhianati. Ia berpikir seperti seorang Sue. Dan Sue tidak berkompromi pada hal semacam itu.

Hera melirik dari spion atas. "Dia tidak akan membencimu, Carol. Bersikaplah biasa saja nanti, jangan terlihat terlalu mengasihani dia."

"Aku harap kamu benar."

Pembicaraan berhenti di sana. Carol memandang jalanan yang mereka lewati. Tidak jelas sedang memikirkan apa, mungkin sebaiknya gadis itu berdoa. Semoga masalah akan berakhir di sini. Dan sampai pertarungan terakhir nanti, Hana bisa memenangkannya dan mereka bisa hidup dengan tenang lagi sesudahnya.

***

Hana menyeret kakinya, keluar dari pintu utama gedung rehabilitasi. Bau pewangi tercium janggal dari setiap pori baju yang ia kenakan. Baju ini adalah yang ia kenakan seminggu lalu ketika Carol membuangnya ke sini.

Setelah petugas-petugas menyeretnya waktu itu, mereka melucuti pakaiannya dan menggantinya dengan seragam pasien. Hana merasa tersinggung karena perlakuan tersebut, tapi tak bisa banyak melawan.

"Kami akan mencuci bajumu, dan menyimpankannya. Agar ketika kamu keluar dari sini kamu bisa memakainya lagi," kata petugas.

Mereka membawanya di atas sebuah kursi roda, seperti seorang pesakitan. Mengurungnya—mengikat tangannya di atas tempat tidur pasien. Menyuntikkan entah apa, yang membuat tubuhnya terasa terbakar dan gigil sekaligus. Hana kesakitan, peluhnya membuat basah di seprai. Kulitnya ngilu, kepalanya sakit.

Tapi ia tak bisa memijat dirinya sendiri. Ia tak bisa mengeluh pada siapa pun, ia tak boleh memarahi siapa pun, karena satu-satunya orang yang ingin ia ajak berbagi kesah, adalah orang yang meninggalkannya sendirian di sini.

Hana, seminggu ini dia tidak bisa menerjemahkan apa pun yang ia rasakan. Ia bahkan sampai sulit membedakan kenyataan dan bukan. Kadang ia merasa begitu sakit, sampai bermimpi. Kadang ia bermimpi tentang rasa sakit itu sendiri. Ia butuh pertolongan. Ia seorang pecandu. Tapi, ia juga butuh teman. Ia butuh Carol Sue.

Namun satu-satunya orang yang ia inginkan malah mengkhianatinya. Hana merasa dihukum. Ia dijebloskan ke sini tanpa keinginannya sendiri. Bahkan tanpa diskusi. Ia sudah memohon. Ia ingin Carol menungguinya di sini. Melihat bagaimana ia menjerit, melihat bagaimana ia berusaha. Tapi Carol sendiri yang bilang, kalau ia tak akan ada. Carol sendiri yang membuat Hana merasa dirinya tidak layak.

Mungkin memang begitu. Sejak ia tahu hidupnya dipenuhi tuntutan. Ia begitu sibuk menutupi kesalahan kakaknya. Ia sibuk menjadi Dice yang baik. Ia terlalu berusaha. Sementara Hera masih tak tahu cara berterimakasih. Melukai wajahnya, Brian datang menolong, memberinya penghilang rasa sakit. Lalu di sana semua ini bermula. Memikirkan siapa yang bersalah, siapa yang harus dihakimi membuat Hana merasa pening.

Lalu mobil Hera berhenti tepat di depannya. Carol turun, Misca dan Hera. Sama-sama menyongsong ke arahnya. Menyambutnya. Kesembuhannya—atau malah semakin terlukanya dia di sini.

"Aku senang melihatmu lagi." Hera memeluk adiknya.

Misca tersenyum dari tempatnya berdiri. Tidak seperti Misca yang biasanya banyak omong, gadis itu tak mengatakan apa pun.

Kemudian Carol, mendekap kekasihnya pelan sekali. Ia memeluk tanpa tenaga, seolah Hana bisa pecah kapan pun jika Carol memeluknya terlalu erat.

"Aku minta maaf," kata Carol di telinga Hana.

Tapi Hana tidak mengatakan apa pun. Ia menunggu pelukan itu selesai. Lalu masuk ke dalam mobil. Duduk di kursi belakang. Ia menatap ke keluar jendela.

Sempat mereka bertiga saling pandang. Tapi akhirnya menyerah dan ikut masuk ke dalam mobil. Tak banyak yang bisa dibicarakan. Tak mungkin juga menanyakan bagaimana rasanya ada di dalam rehabilitasi itu. Sejak dulu Hana memang pendiam. Ia tak banyak bicara ketika suasana hatinya baik. Ia juga tak banyak bicara ketika suasana hatinya buruk. Dan, mereka tak mau ambil resiko. Anggap saja ini adalah hari yang biasanya. Toh, Hana memang tak pernah banyak bicara.

"Aku kembali dengan Misca." Hera menjual cerita cintanya pada Hana. Agar setidaknya, Hana tahu kalau dirinya sudah tidak bersama Hope. Perempuan yang ia percaya sudah menjebloskan Hana ke dalam penderitaannya sekarang ini.

"Baguslah. Selamat untuk kalian." Hana menanggapi dengan hambar. Matanya bergerak-gerak mengamati pohon perindang yang lewat satu persatu.

"Apa kamu sudah sarapan, Hana? Apa kamu lapar?" Carol baru berani bersuara.

Hana tidak menjawab, seperti sedang melamun. Carol merasa tidak enak. Ia melirik pada Misca dan Hera.

"Kamu ingin makan apa? Kita bisa drive thru—"Misca ingin membantu Carol.

"Aku ingin pulang." Hana memotong kalimat Misca.

Sekali lagi, mereka bertiga saling pandang. Misca mengangkat bahu. Hera memakai kaca mata hitamnya. Ia memang lebih baik fokus menyetir saja.

"Baiklah, kita akan pulang. Kamu pasti sudah kangen rumah." Carol memberi kode pada yang lain agar berhenti bicara. Tentu, dalam masalah ini dialah biang keroknya.

Mungkin akan lebih leluasa baginya dan Hana untuk bicara di rumah saja.


4. Pair a Dice GxG (END)Where stories live. Discover now