9

43 5 0
                                    

9

Hana bangun terlalu pagi di akhir pekan ini. Ia merenggangkan badan di atas kasur dan berdiam diri dalam posisi berbaring selama hampir lima belas menit. Di luar, burung-burung iseng membentur-benturkan diri di kaca jendelanya. Suaranya menghentak-hentak seperti salah satu film misteri yang sedang terkenal. Sempat Hana mengkhayalkan serangan itu akan segera terjadi dan menghancurkan rumahnya. Namun, alarmnya keburu berbunyi. Hana Dice harus segera mandi, memakai kaos longgar berbahan katun dan menyiapkan beberapa baju cadangan untuk acara nanti malam.

Setelah selesai membersihkan diri dan bersiap-siap, Hana memastikan tak ada barang yang tertinggal. Si bungsu Dice mengayunkan tas olah raganya ke pundak kemudian keluar dari kamar. Hana ingin melengkapi pagi harinya dengan secangkir teh, segelas pre-workout dan sepiring apa pun yang dapat memuaskan nafsu makannya sebelum berangkat latihan.

Kamar Hana ada di ujung lorong lantai dua. Berhadapan dengan kamar tamu (yang dulu kamar orang tuanya). Dapur rumah itu berada di lantai bawah, dan sebelum tangga, Hana haruslah melewati kamar Hera. Kemudian dua kamar lain, lalu ruang buku akan terlihat saat menuruni tangga.

Sambil berjalan menuju tangga, Hana mendengar suara berisik yang tak wajar dari kamar kakak kembarnya. Ya, Hana tahu kalau kakaknya senang berbuat aneh-aneh. Tapi bunyi yang satu ini sangat berbeda. Karena rasa khawatir dan penasarannya yang setipis benang, Hana memutuskan untuk masuk ke kamar Hera tanpa mengetuk.

Sepersekian detik Hana memegang gagang pintu, memutar tuasnya kemudian mendorongnya. Kepalanya menengok ke dalam. Ia yakin baru saja dirinya melihat kelebat tubuh seorang perempuan berambut panjang yang telanjang meloncat ke tepi lain tempat tidur. Sementara Hera sibuk memungut bed cover dari mana saja guna menutupi permukaan kulitnya dan tubuh mereka yang keburu terekspos.

Tenggorokan Hana mendadak kering. Ia menyesal sudah bersikap lancang. Tapi, pemandangan ini begitu menarik untuk ditonton. Ia dengan cepat menguasai dirinya.

"Pagi..." sapanya. Hana menahan ekspresi wajahnya sekuat tenaga agar tak menunjukkan emosi apa pun di depan kakaknya juga perempuan yang kini sudah bisa ia identifikasikan dengan nama Misca. Hana tidak menunjukkan sebuah permakluman, juga bukan sebuah penolakan. Hana tergoda untuk mengejek kakaknya.

"Mau apa kamu?" Hera membentak.

Hana cuma membalas dengan senyum yang hambar. Ia lipat kedua tangannya di depan dada, bersandar di palang pintu dan tak bergerak sama sekali. Hana tidak terbiasa bersikap mendominasi begitu. Tapi, ia sangat berusaha menunjukkan pada Hera, bahwa dia memegang 'kartu mati' kakaknya. Sejak ia tahu rahasia di antara Misca dan Hera. Ia merasa punya kebebasan baru. Dan Hana yakin kalau Hera tak akan mengobrak-abrik keputusannya untuk kembali ke Arena karena itu. Memang masih menjadi misteri bagaimana tanggapan Brian dan Carol jika mereka tahu kalau persahabatan mereka sejak kecil dikotori dengan affair semacam ini.

Bisa saja Carol dan Brian bersikap santai. Bisa saja mereka tidak perduli. Sejak kecil mereka tidak ribut soal pacar. Mereka tidak suka menghakimi dan menilai pacar temannya yang lain. Mereka tidak saling menjodohkan. Karena menjodohkan adalah tugas orang tua mereka. Tapi, karena Hera dan Misca sepertinya ketakutan dan penuh kekhawatiran, kini Hana punya senjata. Dan dengan segera ia melupakan marahnya pada Hera.

"Kukira kamu sudah pulang semalam, Misca?" Hana melontarkan komentarnya dengan nada tanya. Meski kesannya agak menyindir.

"Aku tidak pulang," jawab Misca malu-malu. Kulitnya yang berwarna terang mendadak merah.

"Oh, sekarang semuanya kedengaran lebih masuk akal." Hana paham. Ia masih ingat semua mantan kekasih Misca. Sekarang ia jadi curiga, kalau jangan-jangan selama ini Misca dan Hera sudah menipu teman-teman. Hana tidak ingin memusingkan itu sekarang. Berita lama.

"Ini akhir pekan, jangan mengganggu kami. Keluarlah dari kamarku dan tutup lagi pintunya," kata Hera. Tangannya mengibas-ngibas dalam gerakan mengusir. Misca, gadis itu menenggelamkan diri dalam bed cover karena malu.

Hana mendengus, "Kalian melakukan itu semalaman?"

"Kami sempat tidur beberapa jam. Tapi itu bukanlah urusanmu." Hera menjelaskan dengan cuek. "Mau apa kamu sebenarnya, Hana?"

"Oh, itu." Hana teringat pada tujuannya. "Aku mau latihan. Jadi jangan mencariku dengan alasan apa pun. Dan jangan bilang pada yang lain kalau hari ini aku akan pergi ke Arena. Kalau tidak..."

"Memang kapan jadwal selanjutnya?"

"Nanti malam. Kalian carilah kegiatan supaya tidak datang." Hana melambai, sambil meninggalkan kamar.

Setelah pintu ditutup, Misca keluar dari persembunyiannya. "Apa kamu akan membiarkan Hana pergi bertarung nanti malam?"

Teringat pada Hope yang mungkin akan datang ke sana, Hera merasa ragu. Hera mengerucutkan bibirnya dan berpikir sebentar. "Biar aku saja yang datang nanti. Aku akan mengawasi dari jauh."

"Kamu yakin tidak akan membuat keributan?"

"Misca, kalau kita datang ramai-ramai Hana akan tahu. Dan itu akan membuat keributan."

Misca mengerti kalau Hana bisa membocorkan hubungannya dengan Hera jika mereka tidak menurut. Dan, ia belum mau kedatangan masalah besar sekarang ini. Hera baru saja kembali kepelukannya.

"Kalau begitu aku akan membuat Carol dan Brian sibuk." Misca memberi dukungan. Berhubung menjadi anak orang kaya identik dengan kesepian, makanya mereka selalu menghabiskan waktu bersama.

"Terimakasih sudah mengerti." Hera menghela nafas lega dan mengecup kening Misca. Sambil membayangkan, apa yang harus ia lakukan jika Hope tahu kalau Dice Hana punya saudara kembar? Apa ia harus menjelaskan semuanya, atau lari seperti seekor anak tikus?

"Tentu saja. Sekarang kita lanjutkan yang tertunda tadi." Misca berbisik di telinga Hera, kemudian kembali memanjat ke atas tubuh perempuan itu.

Hera menangkupkan telapak tangannya di dada Misca, dan menikmati setiap menit permainan mereka. Yang ia tidak tahu, di tempat lain Hope del Faith sedang berusaha menghubunginya. Bertanya tentang kedatangannya di Arena nanti malam. Sayang, ponsel Hera sedang mati. Membuat Hope merasa digantung dan cemas setengah mati.

***

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Hana. Melihat gadis itu berdiri gugup di depan tempat latihannya.

Hope menoleh pada Hana kemudian menarik nafas lega. "Aku tidak bisa menghubungimu sejak pagi. Kukira kamu masih sakit."

Hana mengerutkan kening, mengecek ponselnya dengan wajah bingung. "Aku selalu menepati janji. Aku tidak akan melewatkan satu pertarungan pun." Ia menjawab sebisanya. Merasa nada suara Hope jadi jauh lebih hangat dari biasanya membuat Hana bingung sendiri.

"Syukurlah, kukira makan es krim murahan di tepi jurang membuatmu masuk angin atau sakit perut." Hope menggoda.

"Es krim," gumam Hana. Ia tidak pernah suka pada makanan yang manis, apalagi es krim. Apa sebenarnya yang sudah dilakukan Hera ketika menggantikannya di kampus kemarin?

Hope menepuk bahu Hana lembut. Hana tidak bereaksi banyak. Ia cenderung menghindar. "Apa kamu ingin kutemani, atau kita sebaiknya bertemu di Arena saja?" tanya gadis itu sambil mengubur harapannya sendiri.

"Kupikir, sampai ketemu nanti?" tanya Hana tak ingin terdengar menolak.

"Tentu saja." Gadis itu terpaksa setuju. Nada suaranya parau. Ia menunduk dan menjauh.

Setelah merasa bebas sedikit Hana menarik nafasnya dan masuk ke dalam tempat latihan.


4. Pair a Dice GxG (END)Where stories live. Discover now