18

36 4 0
                                    

18

Sejak tadi, sloki itu sudah diisi sebanyak dua kali. Dan sudah tiga kali Misca memesan bir dingin untuk dirinya. Meski bar ini adalah salah satu aset dari orang tuanya, pegawai di sana tidak boleh bersikap perduli dengan keberadaannya. Bahkan, tak satu pun yang berani bertanya, 'ke mana temannya yang lain?'

Ironis memang. Punya orang tua yang fanatik dan konservatif. Tapi punya usaha bar di tengah kota. Kadang Misca bertanya-tanya kenapa. Tapi apa pun yang ada dalam pikirannya, ujung-ujungnya ia sampai pada satu saja alasan. Kalau uang-uang itu butuh dicuci ulang.

Mari ambil sisi baiknya. Seperti lelaki tinggi besar yang berdiri di bawah tanda neon merah bertulis exit. Tamatan SD, dulunya preman. Kerjanya merampok orang di tikungan jalan. Juga perempuan bertattoo di belakang meja bar, dulunya seorang pecandu dan pelacur. Kini mereka berdua jadi pegawai paling setia di sini. Itu baru dua, masih ada dua puluh orang lagi yang gantian jadwal kerjanya. Hidup mereka membaik. Karena orang tua Misca. Kalau bukan Tuan Blake yang memberi kepercayaan—bahwa nasib orang bisa berubah, tak akan ada perusahaan yang akan menggaji mereka.

"Maafkan aku." Seorang perempuan duduk di sebelah Misca. Ia minta maaf karena sudah menyenggol tegukan terakhir gadis pemilik bar hingga membuat bajunya basah.

Misca terbatuk, tenggorokan dan hidungnya terasa perih, wajahnya jadi merah dan air mata yang sudah dengan sekuat hati ia tahan-tahan menetes tidak sengaja. Pemandangan itu tentu menarik perhatian si bartender yang langsung memanggil pria besar di bawah tanda neon merah bertuliskan exit.

"Aku baik-baik. Pergi-pergi," kata Misca pada si petugas keamanan.

"Aku baru menyenggolmu, dan petugas keamanan sudah mendatangiku." Perempuan asing itu menjadi takjub.

"Mereka memang begitu," jawab Misca cuek.

"Kamu sering datang ke sini?" tanya perempuan itu lagi.

Misca hanya mengangkat bahu.

"Akan kuganti minuman yang kutumpahkan tadi." Orang yang belum memperkenalkan namanya masih mencoba. Ia terperangah dengan kecantikan Misca. Beberapa kali ia tertegun pada gambaran fisik gadis itu.

"Tidak perlu, mereka akan mengisi gelasku lagi, dalam lima, empat, tiga, dua, satu." Dan sesuai kata Misca, si bartender menuang lagi untuknya.

Tentu orang asing itu hanya melongo. Ia semakin bingung.

"Tuangkan dia juga." Misca memaksa si bartender untuk berbaik hati pada perempuan di sebelahnya.

"Terimakasih. Namaku Nafas."

"Na'as," ulang Misca.

"Nafas." Perempuan itu mengulang dengan suara yang lebih keras. Dia tidak keberatan, namanya memang tidak lazim. Sejak dulu orang komplain soal namanya.

"Nakas." Misca mencoba sekali lagi. Kali ini ia tidak hanya mengandalkan telinganya. Ia mengandalkan kesadarannya yang masih tersisa.

Nafas menggeleng. "NAFAS!" ucapnya. Kali ini agak berteriak.

"Oke! Aku dengar, kok! Aku tidak tuli," kata Misca akhirnya. Tapi yang di sebelahnya tidak yakin kalau Misca memang benar-benar mendengar. "Jadi, siapa namamu?"

"Misca." Karena merasa suaranya bersilangan dengan musik, Misca menarik kerah kemeja perempuan di sampingnya dan mendekatkan wajahnya. "Misca Blake. Bar ini milik ayahku."

"Misca, senang berkenalan." Nafas menjulurkan tangannya untuk berkenalan.

"Kita sedang berkenalan?" Misca memelototi telapak tangan Nafas. Ia memincingkan mata.

Tidak menjawab lagi, kini Perempuan bernama Nafas itu cuma tersenyum. Ia menarik tanganya.

Misca gadis yang cantik. Maka sikapnya yang menyebalkan jadi termaafkan.

Nafas yang tidak tahan kini menggeser kursinya agar bisa duduk lebih dekat dengan Misca. "Jadi kamu pemilik bar ini."

Misca melambai-lambaikan jarinya. "Ayahku. Dan ia tidak tahu kalau aku suka minta gratis di sini."

"Aku bisa menjaga rahasia," kata Nafas berusaha keep-up dengan percakapan mereka.

Misca lalu menoleh, untuk yang pertama kalinya ia melihat wajah perempuan bernama aneh itu. Bias merah lampu bar tumpah di wajah Nafas, membuat siluet-siluet halus dari lekukan hidung, mata dan bibirnya. Lehernya yang jenjang dan rambut 'terlalu' pendek yang hitam pekat. Misca tidak bisa membedakan perawakannya dengan lelaki kalau dia tidak mendengar suara Nafas lebih dulu. Perempuan itu tampak lebih tua sedikit dari Misca. Tapi, penampilannya bersih. Dan, cukup tampan. Atau cantik. Nafas adala di antara dua kata itu.

"Aku pernah melihatmu." Misca berpikir keras. "Tapi di mana?"

Nafas tersenyum memperhatikan, dengan percaya diri ia menyokong dagunya dengan telapak tangan, menunggu.

"Lupakan saja, apa kamu datang sendiri?" tanya Misca. Matanya mulai berat. Tapi ia berusaha tetap fokus.

"Ya..." Nafas merentangkan kedua tangannya. Sambil menatap ke sekeliling.

"Kalau aku tidur denganmu, apakah seseorang akan mengamuk?"

Nafas tertawa sebentar karena keterbukaan Misca, kemudian menggeleng. "Tidak." Ia mendekat pada Misca. "Kalau aku mau tidur denganmu, apa seseorang akan mengamuk?"

Misca menatap mata perempuan itu dalam-dalam. "Tidak. Tapi jangan cium aku di sini. Mereka akan melaporkanku pada Ayah. Kita harus pindah."

"Kalau begitu kamu keluar lebih dulu, dan aku akan menyusulmu," bisik Nafas. Matanya melirik pada perempuan di belakang meja bar.

Misca serius dengan apa yang ia katakan. Ia segera menyarup tasnya. Kemudian keluar dari bar.

***

Di kamar Hana Dice, Carol Sue bersandar di pinggiran meja belajar. Diperhatikannya si pemilik kamar yang berbaring di atas tempat tidurnya. Matanya masih pejam, nafasnya dalam—mirip desau angin di hutan lembab.

Sore tadi jadi melelahkan buatnya, sebab Hana bersikeras untuk berangkat ke Arena. Pertarungan kedua katanya, ia harus menang. Tentu luka di tulang hidung, pelipis dan bibir atasnya bukan masalah besar buat Hana. Tapi Hera, Brian, dan Carol tidak membiarkannya si bungsu Dice ini pergi.

"Bagaimana kalau jahitannya robek? Kamu tidak akan punya wajah lagi," kata Brian yang tidak rela karyanya dirusak lawan bertarung Hana.

"Aku bisa menggantikanmu. Aku janji akan menang." Hera menambahkan.

"Aku tahu kamu kuat, Sayang. Kamu akan mengalahkan mereka sebelum mereka sempat menyentuhmu. Tapi tak perlu bersikap keras kepala." Kalau Carol sudah angkat bicara, Hana otomatis mundur selangkah.

Lalu, Hana gelisah seharian. Ia mondar-mandir sambil mengacak-acak rambutnya. Ia tidak percaya pada Hera. Sudah berapa kali kakaknya memporak-porandakan hidupnya? Ia percaya Hera kuat, lebih darinya. Tapi, entah apa yang membuat perasaan Hana makin tidak tenang.

Kemudian, Brian punya ide. Ia minta mengobrol berdua saja dengan Hana. Carol dan Hera setuju. Karena Brian orang yang cerdik. Sejauh mereka mengenalnya, Brian selalu bisa menyelesaikan negosiasi tanpa benar-benar berusaha keras. Dan benar. Ketika Brian keluar kamar, Hana sudah duduk bersandar di kasur. Lima menit kemudian ia tertidur.

"Apa yang kamu katakan padanya?" Carol bertanya karena perduli.

"Aku bilang dia butuh istirahat." Brian menyeringai bangga.

"Lalu dia setuju dan tidur begitu saja?" Carol semakin tak percaya, ia curiga Brian diam-diam bisa menghipnotis.

"Kamu jaga dia, biar Hera aku yang mengantar. Aku yang akan mengawasinya." Brian bermanis-manis.

"Bagaimana kalau Hera bertemu Hope?"

"Taruhan kalau Hope tidak akan mau bertemu dengannya." Brian yakin sekali.

"Entah kenapa aku yakin Hera mau menggantikan Hana agar bisa bertemu dengan Hope."

"Ya! Tepat sekali. Tapi Hope tak mau bertemu dengannya. Sudahlah. Aku berangkat dulu."

Dan di sinilah Carol sekarang, menunggui Hana sampai bangun. 

4. Pair a Dice GxG (END)Where stories live. Discover now