16

37 4 0
                                    

16

Sesaat setelah Hera masuk ke dalam rumah dan meninggalkan gadis yang dibawanya bersama Brian. Hope bersandar di kursi yang tadinya diberikan oleh Misca padanya. Gelap menutup langit dalam satu lapisan tipis dan menyisakan sedikit warna biru kusam. Lelaki di sebelahnya mendeham. Membuatnya memusatkan pendengaran pada kata-kata lelaki itu.

"Del Faith tidak boleh lupa," kata Brian pada Hope.

Hope setuju dengan slogan itu. Mendiang ayahnya mengatakan hal yang sama, biasanya di tengah-tengah cerita atau dongeng kepahlawanan tentang kakek buyutnya. Tapi, Hope belum mengerti kenapa Brian mengucapkannya sekarang. Dan dari mana Brian tahu tentang slogan itu.

"Kamu lupa padaku, ah, kamu pasti lupa," kata Brian lagi. Sampai Hope menoleh padanya, ia belum juga membalas tatapan gadis itu.

Hope memincing matanya, sepersekian menit ia teringat sesuatu. Lalu gestur tubuhnya jadi kaku sama sekali. Kenyamanan menguap begitu saja.

"Apa maumu?" Gadis itu mencicit. Tanpa sadar tangannya menggenggam tepi kursi kuat-kuat.

"Aku butuh kamu mengingatku. Itu saja. Dan, aku ingin tahu apa rencanamu untuk Dice." Brian menggosok-gosok telapak tangannya. Ia perhatikan kuku-kuku tangannya seperti tokoh antagonis dalam film kartun The Lion King.

"Aku tidak memiliki rencana apa pun." Hope menjawab terbata.

"Sayang sekali kalau begitu. Karena mungkin, aku adalah orang yang bisa membantumu. Aku bisa membuat upayamu itu berjalan lancar." Brian Doe menyeringai.

"Aku akan pulang sekarang. Sampaikan salamku buat temanmu yang lain." Hope tahu. Mustahil menyembunyikan ketakutan dari nada suaranya. Ini saatnya melarikan diri.

"Apa yang harus kukatakan pada Hera kalau dia tahu kamu pergi dengan keadaan takut seperti ini?"

Hope berpikir sebentar. Biasanya ia memiliki banyak sekali alasan untuk menghindar dari orang yang tidak ia inginkan. Sayang sekali, yang ada dipikirannya saat ini bukan soal itu. Tapi gambar-gambar sephia yang sudah lama membatu dalam kepalanya. Gambar-gambar yang susah payah berusaha ia lupakan;

Malam itu purnama ketiga. Sudah jadi kebiasaan bagi keluarga del Faith untuk pergi dan berkumpul dalam sebuah pertemuan bersama keluarga lainnya. Grace tidak ikut ke pertemuan itu, ia harus tinggal di rumah sebab Hope kecil sedang demam badannya.

Lalu lima belas menit setelah orang tua mereka pamit pergi, ribut-ribut terjadi di luar rumah. Hope mendengar suara kakaknya. Berteriak-teriak. Lalu lari masuk ke kamarnya untuk sembunyi.

Hope tahu Grace jago berkelahi. Lingkungan mereka mengajarkan demikian. Tapi, jika sampai Grace sendiri lari sembunyi, artinya masalah ini bukanlah hal yang sepele.

"Jangan berisik ya, sembunyi di bawah kasur." Grace berbisik pada adiknya.

Hope menurut saja. Jika Grace merasa takut, ia juga harus merasa takut. Susah payah Hope merangsek ke bawah tempat tidur yang gelap dengan mata yang terasa panas dan tubuh yang meriang.

Kemudian suara ribut-ribut pindah ke dalam rumah. Teriakan Grace menusuk di telinga Hope. Tak ada yang bisa dilihatnya dari bawah sini kecuali kaki meja belajarnya dan tembok kamar.

Grace terjembab di sana, bajunya dirobek paksa. Roknya tersingkap ke atas. Hope melihat setetes air jatuh dari ujung mata ke pelipis kakaknya. Atas dorongan insting, ia rentangkan tangannya hendak mengusap sisa air mata itu.

Tapi tangan orang lain menariknya. Kini bukan hanya Grace yang berteriak ngeri. Tapi dirinya juga. Mereka mengikat Hope di kursi. Menyumpal mulutnya dengan kain bekas kompres yang penuh air. Membuat Hope melihat semua hal menyakitkan itu.

4. Pair a Dice GxG (END)Where stories live. Discover now