12

45 4 0
                                    

12

Pagi muncul terlalu cepat untuk Hera. Ketika sebuah gumpalan keras menerjang pipinya membuat batas antara mimpi yang masih menggantung dan kesadaran tidak kentara. Ia benar-benar memaksa matanya untuk membuka, tubuhnya jatuh di samping tempat tidur. Sementara seseorang yang begitu identik dengannya terduduk di atas tempat tidur. Seolah roh dan tubuhnya terpisah di saat yang sama.

"Hana!" Misca histeris. Gadis itu lari menjauh, sempat ia memungut sebuah yukata dan menutupi tubuh telanjangnya.

Hera berusaha berdiri, namun Hana membantunya dengan cara yang paling kasar yang bisa ia bayangkan terjadi padanya. Adiknya itu, menarik kedua lengannya. Memaksanya berdiri. Ketika sudah berdiri, Hana memukul lagi, yang kali ini tepat di ulu hatinya. Nafasnya hilang sebentar. Lalu bunyi denging dalam telinga. Kemudian hening lagi ketika ia spontan menarik nafas panjang yang memilukan.

Misca berdiri di belakang Hana, ingin melerai penyiksaan itu. Seingatnya, baru semalam mereka seperti terlahir kembali. Setelah lama lupa cara berkomunikasi. Mereka berbaikan, minum bir bersama untuk merayakan kemenangan Hana di Arena.

Tapi pagi ini, semua seperti mengabur baginya. Misca ragu-ragu. Ia putuskan untuk tak jadi membantu Hera karena takut kena imbas. Beberapa tahun berteman dengan Dice bersaudara, ia tahu perkelahian di antara keduanya tidak bisa dihentikan, kecuali kalau mau mereka sendiri.

Seperti waktu mereka memperebutkan buku harian milik Misca. Saat mereka berebut sloki terakhir dari botol tequila di pesta ulang tahun Brian. Terutama saat mereka berebut semua hal yang bukan milik mereka. Hera dan Hana Dice tidak bisa dihentikan sama sekali. Dan pelan-pelan semua orang paham, lebih baik tidak masuk ke dalam tornado pertengkaran itu sendiri. Terlalu berbahaya.

Hera orangnya lebih ceria, tapi sikapnya kadang lebih jahat dari Dursasana dari film Mahabrata. Sedang Hana yang pendiam dan wajah yang dingin nyaris tanpa emosi, memiliki sikap yang lebih lembut dari warna pink pastel mainan Hello Kitty. Tetap saja, jika sedang begini, mereka lebih mirip dua kuda nil rebutan betina.

Jadi, Misca berpindah rencana, ia cari-cari ponselnya untuk menelepon Brian, mungkin polisi juga perlu. Atau, ia sebaiknya mengaktifkan video dan mengambil gambar mereka. Untuk ditertawakan bersama Carol, mungkin di unggah ke Enstagram.

Diberi waktu sebentar, Hera berdiri, menggapai sekotak tissue dari bedside table-nya. Ia bersihkan wajahnya yang lembab, sedikit darah dari bagian dalam bibir bawahnya yang tak sengaja tergigit.

"Apa-apaan ini Hana? Sudah lupa kamu cara memberi salam?" tanya Hera, bersikap setenang mungkin. Sebab mungkin keributan ini sudah membuat Carol dan Brian yang menginap di kamar sebelah terbangun dari mabuknya dan sebentar lagi akan menghambur masuk kamar dengan alat pemadam kebakaran.

Hana mengambil ponselnya, menunjukkan pada Hera. Hera menengok. Tapi diam saja. Wajahnya kaget, tapi tak disampaikan sepenuhnya.

Misca yang selalu penasaran mendekat, gadis itu memberanikan diri mengintip.

"Kamu meniduri Hope del Faith, Hana?" Misca kaget luar biasa. Dipandanginya Hana dengan mata yang melotot tak percaya.

Carol yang baru saja sampai jadi tercekat. Kepalanya sampai pening. "Hana? Benarkah itu?" Sedetik ia salah fokus pada keberadaan Misca. Tapi, tak sempat menyapa.

Mendengar suara Carol, Hana langsung menoleh. Hana tak sempat mengucapkan jawaban apa pun, karena Carol keburu pergi. Lalu ia kembali pada Hera, dengan kemarahan yang lebih besar dari sebelumnya. Tapi ia tidak tahu kenapa. "Kamu jelaskan ini padaku, pada Misca dan teman-temanmu!" tuntut Hana pada Hera. Misca makin terperanjat.

"Siapa yang memberimu gambar bohong itu?" Hera menyembunyikan khawatir di balik tubuhnya yang setengah telanjang.

"Kamu sudah terlalu banyak berbohong. Sekarang semua orang di Arena sudah punya foto ini. Aku tidak akan mereka bebaskan semudah itu!" Hana ingin menjelaskan dengan detail. Ia hanya tak tahu harus mulai dari mana. "Pokoknya kamu jelaskan kekacauan ini sekarang!

"Hera," pinta Misca, ia ingin mendengar rasa sakit itu cepat-cepat. Rasanya ia ingin membersihkan diri tiba-tiba. Jika memang benar photo di ponsel Hana bukanlah tipuan komputer.

Hera menghela nafas akhirnya. "Ya, aku dan Hope di sana. Di parkiran Arena. Aku dan dia..."

Belum selesai Hera dengan kalimatnya, Hana memukul pelipis kakak kembarnya sampai robek.

"Jangan pernah mendekatinya lagi!" Hana mengancam. Kali ini bukan kekecewaan, rasa takut menyergap tengkuknya.

"Tapi aku menyukainya! Aku menyukai Hope!" Hera membentak.

Misca terperangah dengan kalimat yang barusan. Air matanya yang tergantung jadi menetes. Gadis itu berlari keluar. Dengan tas dan bajunya semalam.

Sementara Brian dan alat pemadam kebakaran yang masih ia genggam tak dapat berkata-kata lagi. Lelaki itu menutupkan pintu untuk si kembar Dice. Lalu menyusul Misca keluar.

"Kamu datang ke Arena tadi malam?" tanya Hana.

"Ya," jawab Hera santai.

"Sudah kubilang padamu jangan ikut campur urusanku." Hana gemas pada kakaknya. Tidak sekali pun dalam hidupnya Hana bisa melakukan urusannya tanpa campur tangan kakaknya. Ia merasa selalu ada dalam bayangan Hera. Ia jengah.

"Aku tidak mencarimu." Hera diam sebentar. "Oke, awalnya aku datang untuk memastikan kalau kamu akan baik-baik saja. Kemudian aku mencari Hope."

"Jadi membelikannya es krim di kilometer 23 sudah membuatmu merasa mengenalnya?" tuduh Hana, seperti tidak memberikan kesempatan untuk kakaknya menjelaskan.

Hera memandangi lantai. Kemudian dengan besar hati ia mengakui, "Aku tidak bisa memutuskan siapa yang harus aku sukai atau tidak. Aku tidak sepertimu. Aku tidak bisa mengabaikan perasaanku."

"Tidak bisa mengabaikan perasaanmu? Lalu, apa yang kamu rasakan ketika kamu membunuh kakaknya Hope? Kamu bahkan tidak punya nyali untuk mengakui kesalahanmu di depan orang tua kita. Sekarang kamu pikir bisa memacari Hope begitu? Apa kamu tidak punya rasa bersalah, Hera?"

"Baiklah. Aku akan meninggalkannya. Jika itu membuatmu lebih baik."

"Kamu tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi, Hera." Hana sudah mulai tenang dari marahnya. Ia membantu saudaranya berdiri. Kemudian memapahnya untuk duduk di sisi tempat tidur. Diambilnya beberapa lembar tissue lagi untuk menutup luka di pelipis Hera.

"Aku akan lebih hati-hati lain kali," kata Hera. "Kalau perlu aku akan menggantikanmu di Arena."

"Tidak perlu, aku bisa memenangkan pertarungan tanpa bantuanmu. Aku hanya memohon agar kamu tidak bertindak semaumu. Kali ini saja."

Hera memang mengangguk, tapi tidak terbersit dalam pikirannya untuk meninggalkan Hope begitu saja. Dalam hati, Hana tahu pasti mengenai itu. Sebab apa pun yang akan ia katakan soal keluarga del Faith, Hera tak akan percaya. Pertarungan yang ia lakukan untuk del Faith, Hera tak akan bisa mengerti. Ia akan berpikir kalau masalah ini bisa diselesaikan dengan uang. Masalahnya tidak demikian. Uang bisa membuat semuanya semakin kacau. Hera tak akan perduli kalau semua yang Hana lakukan sekarang bukan soal Hope, tapi usahanya membersihkan kesalahan milik Hera.


4. Pair a Dice GxG (END)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن