32

31 5 0
                                    

32

"Misca!" Carol mengguncang badan temannya dengan tempo yang tak beraturan, cepat dan kasar. Semalam ditunggu-tunggu, Hana dan Misca pulang dalam keadaan mabuk parah. Itu pun karena seorang petugas keamanan dari bar tempat mereka minum memaksa keduanya pulang dini hari tadi, ketika bar akan tutup. Syukurnya Hana tidak datang ke bar milik keluarga Blake. Itu membuat Misca selamat dari amukan orang tuanya.

Dan entah keberuntungan macam apa yang sedang menghujani Misca dan Hana, sehingga mereka bisa sampai di rumah Dice tanpa lecet sama sekali.

"Misca..." Hera yang juga merasa bertanggung jawab, ikut membantu membangunkan kekasihnya. Ia pijat-pijat telapak kaki Misca agar gadis itu merasa terganggu.

Gadis itu bergerak sedikit. Alis matanya berkerut karena cahaya matahari yang menyilaukan. Sementara Hana tersungkur di sofa ruang tamu, Misca tengkurap di atas meja kopi. Barang-barang pajangan sudah berserakan dan beberapa di antaranya pecah—entah bagaimana.

"Aku tidak kuliah hari ini," gumam Misca sambil melambai-lambai mengusir Carol dan Hera. Kepalanya sakit luar biasa. Harusnya dua temannya itu mengerti.

Carol dan Hera tahu itu. Dan mereka tak akan memaksa Misca bangun setelah mabuk berat kalau bukan benar-benar ada perlu. Itu juga alasan yang masuk akal bagi mereka yang tidak melakukan hal yang sama pada Hana.

"Bangunlah dulu, akan kami jelaskan." Carol masih belum menyerah. Ia menarik-narik bahu Misca.

Misca menendang-nendang. "Orang tuaku tidak akan bangkrut semudah itu," sergahnya.

Hera memijat keningnya. Ia menoleh pada Carol. Carol sendiri menghela nafas karena sudah kehabisan tenaga. Ia lalu mengangguk pada Hera. "Katakan saja, kita lihat apa dia masih bisa tidur setelah mendengarnya."

"Kamu yakin?" tanya Hera. Ia melebarkan matanya.

"Habisnya, mau sampai kapan kita menunggu? Aku bahkan belum ngopi," desak Carol.

Hera mengangguk. Ia menarik nafas sebelum bicara. "Ini soal Nafas, Misca," kata Hera dengan tegas.

Misca yang tadinya masih malas-malasan langsung terduduk. Gadis itu limbung, ia mengucek mata, dan pelan-pelan sekali, menyibak kelopak matanya agar dapat memahami ekspresi wajah kedua orang di depannya.

"Aku tidak perduli pada Nafas, dia orang jahat." Misca menggumam masih dalam posisi setengah sadar.

"Polisi menemukan mobilnya terjungkir di bawah jembatan kilometer dua puluh."

Misca tersentak, ia berhenti bergerak, ia juga tak bersuara.

Carol memegang kedua bahu Misca. "Mereka belum menemukan mayatnya."

Pupil mata Misca bergerak-gerak, ia diserang panik. "Bohong."

"Untuk apa aku bohong? Pagi ini semua media lokal menyiarkannya. Kupikir kamu haruslah tahu lebih dulu," kata Hera. Mantan kekasihnya menunduk. Satu-satunya alasan baginya adalah karena ia melihat Misca dan Nafas semalam di dalam mobil.

"Aku semalaman bersama Hana, tapi aku tidak tahu apa-apa..." Misca terbata.

Entah kenapa dirinya merasa bersalah. Mungkin karena dia orang yang mengusir Nafas dari dalam mobilnya. Apa mungkin ia akan jadi salah satu penyebab kecelakaan itu? Tapi, tidak mungkin Nafas mati karenanya. Nafas bahkan tidak mau punya perasaan pada Misca. Tapi, Misca tahu kalau polisi akan segera mencarinya, dan menjadikannya saksi. Ia tak mau itu terjadi.

"Misca, kamu masih mendengarku?" Hera memaksa kekasihnya menatap matanya. "Justru itu, aku membangunkanmu karena aku tahu kamu mengobrol dengannya tadi malam. Dan aku tak akan membiarkanmu mendapat masalah." Hera menyakinkan Misca. Untuk yang pertama kali, Misca melihat ketulusannya.

Kini Misca tahu tak ada gunanya berbohong di hadapan kedua orang ini, ia menegarkan nafasnya.

"Baiklah."

Carol mengangguk. "Sekarang dengarkan alibimu."

Lalu Carol menjelaskan bagaimana Misca harus bersikap agar bisa lolos dari pengamatan tim kepolisian. Carol memang perempuan yang cerdas, Misca juga yakin kalau Hera akan melindunginya.

Di luar fakta kalau pacarnya tahu ia diam-diam bertemu Nafas, anehnya Hera yang biasanya begitu emosional menjadi sangat sabar hari ini.

"Kamu mengerti?" tanya Hera.

Misca menatapnya, tapi pikirannya tidak ada di sana. Ia khawatir pada Nafas. Orang itu belum boleh mati.

"Misca?" Carol tak sabar.

"Ya, ya! Aku mengerti," jawab Misca.

Hera berdiri. "Baiklah, ayo kita ke kamar, kita akan beristirahat sebentar." Senyum Hera terlihat letih. Misca berdiri, berjalan pelan ke kamar.

Sementara Carol, kini mereka tinggalkan sendiri bersama Hana yang masih nyenyak tidurnya. Gadis itu duduk di bawah kursi. Ia bersandar pada pemukaan samping sofa, agar ia bisa melihat wajah Hana yang lelap. Alisnya berkerut-kerut. Bola matanya bergerak ke kanan dan kiri. Itu wajah Hana Dice, kekasihnya. Hanya kini tidak ada kebahagiaan yang tampak di sana.

Tapi bukan karena bekas luka, Carol tahu ada yang tidak beres dengan Hana pada detik pertama setelah keluarnya perempuan itu dari tempat rehabilitasi. Tapi Carol tak pernah menanyakannya. Carol Sue takut pada kenyataan, bahwa dialah penyebab ketidakberesan tersebut.

Selama ini Carol merasa semua hal di dunia bisa ia selesaikan dengan rumus dan angka yang pasti, kali ini, ia tak bisa menggunakan keahliannya membongkar sistem komputer untuk memastikan kekasihnya dalam keadaan yang baik. Atau buruk. Tentu, Hana bukanlah robot.

Carol juga tak mau bertanya terlalu dalam. Ia tak siap jika Hana menyalahkannya sekarang. Untuk hal apa pun, Carol adalah perempuan yang terbiasa benar. Carol Sue melakukan ini semua demi mereka. Dan kelak Hana akan menyadarinya.

Carol mengusap wajahnya yang basah, kemudian ia bangun untuk memungut jaket Hana dan Misca yang berserakan di lantai ruang tamu. Dengan hati-hati ia menjinjing jaket Hana. Kalau-kalau mereka memuntahkan sesuatu di sana dan menutupnya dengan jaket mereka. Orang mabuk bisa melakukan apa pun. Carol percaya.

Kemudian jaket milik Misca. Sesuatu terjatuh dari sana ketika Carol mengangkatnya. Benda itu kecil, hanya sepanjang empat kali dua sentimeter kira-kira dan berwarna abu-abu metalik. Sekali lagi Carol merendahkan posisinya untuk memungut benda itu.

Huruf 'N' yang ditulis dengan spidol permanen pada salah satu sisi benda itu membuatnya jadi penasaran. Nafas? Pikirnya. Mungkin ini ditinggalkan untuk Misca sebelum kecelakaan itu terjadi. Carol memasukkan benda itu ke dalam sakunya. Di saat Hera muncul dari tangga.

"Misca sudah tidur lagi." Ia menghadapi Carol. "Apa itu?"

"Aku menemukan flashdisk, di jaket milik Misca," kata Carol, tak mau urusan ini jadi panjang sebenarnya. Bagaimana pun juga, ini mungkin diberikan oleh Nafas pada gadis itu, dengan maksud yang entah apa, sebelum kecelakaan itu terjadi. Ini bisa jadi sebuah bukti, bisa jadi sebuah kenang-kenangan bagi Misca. Kalau Nafas—

"Aku ingin melihat isinya," cetus Hera.

"Hera..." Carol langsung melarang, ia tutupi saku celananya dengan jaket milik Misca dan Hana. Ia pelototi Hera dengan matanya yang sipit.

"Ya, aku tak akan memaksa. Kamu galak sekali." Hera berbalik badan kemudian menjauh dari sana, menuju bagian lain rumah.

Carol bernafas lega, pelan-pelan ia naik ke kamar untuk menaruh jaket-jaket itu.


4. Pair a Dice GxG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang