5

58 4 0
                                    

5

Agar rencana dari keempat remaja itu bisa terealisasikan, pagi-pagi Carol dan Brian mengetuk pintu kamar Hana. Mereka membawakan si bungsu Dice sepasang roti bakar dan dua telur mata sapi. Lengkap dengan bacoon dan jus untuknya.

"Hana, ini aku bawakan sarapan," panggil Carol. Suaranya lembut. Selalu demikian setiap kali berhadapan dengan Hana.

Sebentarnya pintu kamar itu terbuka. Hana berdiri di sana dengan bekas luka masih bercokol di wajahnya. Bengkaknya sudah mulai kempes. Hanya lebam yang berubah warna dan gores-gores di sekitar tulang pipi dan batang hidungnya. Benar-benar mirip buah yang baru jatuh dari pohon.

"Seharusnya kamu tidak merepotkan dirimu, Carol." Hana yang tadinya cemberut mengubah ekspresi wajahnya. "Aku tidak tahu kalau kamu menginap di sini." Ia berbisik.

Carol tidak menjawab karena pipinya keburu merah. Hana tersenyum simpul, pandangannya beralih pada Brian. "Tumben kalian sudah bangun jam segini. Kalian sudah akan berangkat kuliah?"

"Kami mengkhawatirkanmu. Lukamu kelihatan serius... kalau-kalau kamu akan demam," jawab Brian berimprovisasi. "Jadi kami menginap."

Hana menerima baki dari tangan Carol. Ujung jari mereka bersentuhan dan menimbulkan hentakan listrik statis.

"Aku akan baik-baik saja. Terimakasih." Lalu dia menunggu teman-temannya pergi agar ia bisa menutup kembali pintunya. Tapi, Carol dan Brian tetap berdiri di sana. Hana merasa suasananya semakin canggung. Jadi akhirnya ia berkata dengan nada santun, "Kalian mau masuk?"

"Tentu," jawab keduanya. Mereka melangkah dengan gugup. Brian masuk lebih dulu, sementara Carol yang jarang masuk ke kamar Hana terbungkuk-bungkuk karena kikuk. Ia menutup pintu kamar itu pelan-pelan.

Sedangkan di kamar lain, Hera sedang bersiap-siap bersama Misca.

"Sepertinya kita butuh menambahkan warna yang lebih gelap di beberapa bagian," kata Misca sambil memandangi mantan kekasihnya itu.

Hera bercermin untuk memastikan. "Terserahmu saja. Tapi jangan terlalu berlebihan, nanti memarnya terlihat tidak natural."

"Serahkan padaku." Misca berbisik sambil memainkan kuas make-upnya di wajah Hera. Hera tutup mata ketika Misca menyapukan kuas di wajahnya.

"Uh, kamu masih terlihat cantik meski dengan lebam bohongan ini." Misca memuji. Ia ingin sekali mencium Hera, jika diperbolehkan. Tapi untuk hari ini Misca terpaksa menahan diri. Ia menggigit bibirnya dan berusaha bernafas dengan lebih tenang.

Tiba-tiba Brian menerobos masuk ke ruangan itu dan mengagetkan dua orang di dalamnya. Misca menggumamkan makian, tapi cepat-cepat ia menutup mulutnya karena Hera menatapnya sambil mengerutkan kening.

"Lain kali ketuk pintunya, Brian." Misca merasa panik. Ia baru saja akan merayu Hera dan Brian sudah membuat rencananya gagal.

"Aku sudah mendapatkannya." Brian menyodorkan ponsel milik Hana. "Cepatlah, kita tidak tahu berapa lama Carol bisa mengobrol dengannya. Brian sangat antusias, ia meloncot-loncat kecil seperti anak lelaki dapat mainan baru.

Hera yang sudah memakai seragam universitas Hana meraih ponsel adiknya, mencatat nomor-nomor di sana kemudian mengaktifkan aplikasi tracker milik Hana pada ponsel pribadinya. Tidak lupa ia memblokir nomor gadis bernama Hope dari ponsel kembarannya.

"Beres," katanya.

Brian menerima ponsel Hana. Ia mengangguk pada kedua temannya, lalu keluar.

"Hei, Hera." Misca memanggil.

Hera menoleh. "Ya?"

"Kamu tidak akan benar-benar jatuh cinta pada perempuan itu kan?" tanya Misca hati-hati. Tidak ingin Hera merasa digurui.

4. Pair a Dice GxG (END)Where stories live. Discover now