20

45 5 0
                                    

20

Kalau ditanya bagaimana keadaan Misca dan di manakah ia berakhir bersama perempuan misterius bernama Nafas sejak mereka memutuskan untuk keluar dari bar tadi malam, jawabannya adalah; tergantung.

Tergantung apa kita mengharapkan sebuah adegan romantis, seperti dalam film-film romansa Holywood; tentang seorang perempuan yang patah hati—kesepian dan hilang arah. Bertemu dengan seseorang yang menarik dan punya sepercik selera humor. Lalu tiba-tiba—akhirnya keduanya jatuh cinta setelah kontak mata yang pertama. Atau, kita menginginkan sebuah adegan lain, yang berani—vulgar seperti film semi dewasa; ketika adegan terbuka dibuat bukan untuk tujuan selain sebatas kontroversi agar filmnya laku.

Sebenarnya, ketika bangun pagi ini, Misca juga memikirkan hal yang kurang lebih sama. Ia bisa saja masuk ke kamar hotel itu, menutup pintu setelah perempuan bernama Nafas mengikutinya. Membuka semua pakaiannya dan ikut-ikutan menelanjangi teman barunya juga. Mereka bisa bercinta semalaman. Mereka bisa saling mengadu pengalaman atau berbagi tips. Bersenang-senang tanpa beban. Lalu melupakan kejadian itu keesokan paginya. Salah satu dari mereka yang bangun lebih dulu bisa keluar dari sana kapan pun, dan tidak meninggalkan perasaan sakit hati sama sekali bagi keduanya.

Misca yakin dirinya hanya butuh pelampiasan. Pelarian. Dari Dice bersaudara. Hera. Dari semua aturan pertemanan yang tidak ada takarannya dan mereka susun di dalam kepala masing-masing tanpa merundingkannya lebih dahulu satu sama lain.

Misca butuh lari dari rasa malunya karena melanggar aturan yang tidak ada itu. Sementara Carol dan Hana tak mendapatkan masalah apa pun meski melakukan hal yang sama dengannya dan Hera dulu.

Ia butuh pelampiasan dari acara ulang tahun yang disusunnya kemudian mempermalukan dirinya sendiri. Tak hanya di depan sahabatnya. Tapi juga Hope. Perempuan yang tak jelas asal usulnya. Saingan cintanya... yang seharusnya tidak berarti apa pun dibandingkan semua hal yang sudah Misca lakukan untuk Hera.

Namun, adegan-adegan film itu tidak terjadi tadi malam. Tidak dalam mimpinya, tidak kenyataannya. Setelah membulatkan tekad, Misca menyewa sebuah kamar di hotel berbintang. Mengundang Nafas ke dalam kamar. Dan memesan lebih banyak minuman. Lalu Misca dan Nafas mengobrol seperti teman lama. Beberapa jam kemudian, Misca menangis seperti seorang wanita gila putus asa.

Nafas mendengarkannya dengan sabar. Beberapa saat ia mengangguk, kepalanya bergerak-gerak karena fokus. Bahkan ia menepuk-nepuk bahu Misca. Ia menjadi pendengar yang baik. Nafas tidak memanfaatkan kesempatan, seperti kebanyakan orang yang dikenal Misca. Mereka minum sampai mengantuk. Dan adegan vulgar seperti dalam film... terlupakan sudah.

Misca ingat bagaimana Nafas menolak untuk rebahan dekat Misca, perempuan itu malah mengambil bed cover dan menyelimuti tubuh Misca. Kemudian Nafas memilih tidur di sofa. Sampai Misca terhilang dalam mimpinya sendiri, dan bangun pagi ini, pakaiannya masih menempel di tubuhnya. Lekat. Utuh.

Kamar itu sudah kosong sejak mata Misca terbuka. Bahkan lima menit sebelumnya. Saat gadis itu bingung harus bilang apa kalau-kalau Nafas masih di sana. Jujur, Misca merasa malu karena mereka tidak melakukan apa-apa selain meratapi nasibnya yang sial. Sepertinya ia sudah bercerita terlalu banyak dan membebani orang asing itu.

Anehnya, Misca merasa beban yang beberapa hari ini menggumpal dalam dadanya menguap dan perlahan menjadi ringan. Karena Misca menganggap hari ini sebagai sebuah keberuntungan, ia memutuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum meninggalkan hotel. Suasana hati Misca berangsur-angsur membaik setelah membersihkan diri. Ia bersenandung dengan ringan sambil memakai bajunya. Rambutnya masih basah, beberapa helai jatuh ke wajah.

Ketika ia berjalan ke luar kamar mandi, Misca melihat Nafas baru saja menutup pintu kamar mereka.

"Kamu masih di sini?" tanya Misca.

4. Pair a Dice GxG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang