42

119 6 0
                                    

42

"Hana..." Carol memanggil lagi. Mengetuk pintu kamar keras-keras.

Tapi sepertinya Hana tidak mendengar panggilannya. Atau tidak memperdulikannya. Carol jadi semakin takut, ia menangis. Semua orang di rumah ini sudah dapat kelegaan mereka masing-masing. Dan Carol terlalu egois untuk kehilangan lagi.

"Carol?" Hana membuka pintu kamar. Wajahnya mengisyaratkan bingung. Ia pandangi perempuan di hadapannya dari ujung rambut sampai kaki sebanyak dua kali. "Kenapa berteriak?"

"Kamu tidak bunuh diri." Carol mendengus, wajahnya berminyak karena rasa takut. Ia perhatikan Hana, membalas pandangan matanya, memindai dari atas ke bawah sebanyak dua kali. Seperti yang perempuan itu lakukan. Carol tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Juga pundaknya yang bergerak-gerak karena panik.

"Kamu habis mandi... Kukira kamu bunuh diri." Tatapannya berhenti pada tetesan air dari ujung rambut Hana. Carol langsung menelan ludah, ia melihat denyut di leher jenjang Hana yang sensasional.

"Ya, aku habis mandi." Hana mengiyakan. Ia merasa bingung.

"Kenapa mengunci pintunya?" Carol belum puas dengan apa yang dilihat matanya. Ia ingin mendengarnya juga. Apa pun alasan itu. Kalau ada. Carol memang tidak mudah dipuaskan rasa ingin tahunya. Ia tidak mau 'kecolongan' lagi.

Hana memandang ke belakang Carol, kemudian menatapi gadis di depannya. "Karena terakhir kali aku tidak mengunci pintu, Hera memecahkan bingkai di wajahku?" Hana meringis. Antara bercanda dan trauma. Ia tak tahu sudah di fase mana dirinya kini berada.

Carol berdecak. Ia maju selangkah. Kepalanya mendongak.

"Biarkan aku masuk." Carol meminta penuh dengan nada menyelidik. Masih memikirkan bayangan merah yang ia lihat menyembul-nyembul di celah pintu tadi. Apa yang sebenarnya terjadi?

Hana berpura-pura tak punya pilihan, ia bergeser dari tempatnya berdiri. Mempersilahkan Carol masuk.

"Silahkan."

"Apa kamu menyembunyikan sesuatu?" Carol mengamati seluruh sisi ruangan. Dilihatnya cahaya merah bergark-gerak memenuhi kamar, rasanya terakhir kali ia keluar dari kamar ini, tidak ada satu pun lilin di sini. Kapan Hana melakukannya? Untuk apa ia menyalakan lilin sebanyak ini kalau bukan untuk membakar dirinya sendiri? Apa yang sudah membuat Hana menjadi nekat begini?

Lalu suara pintu yang ditutup dan dikunci di belakangnya mengagetkan Carol. Ia terlonjak.

"Hana!" jeritnya sambil berbalik. "Ada apa sebenarnya?" Carol bertanya lagi. Ia semakin gelisah.

Hana mengangkat tangannya. "Ada apa denganmu, Carol? Sejak kapan kamu jadi pengecut begitu?"

"Lilin ini berbahaya, jangan menyalakan lilin sebanyak ini di dalam kamar." Carol yang masih belum bisa menerima kenyataan kalau dugaannya bisa saja salah, meniupi api lilin satu persatu. "Bagaimana jika lilin ini membakar sesuatu? Bagaimana jika angin menjatuhkannya dan lilin ini membakar sesuatu? Bagaimana jika..."

Hana segera menyongsong dan memeluk kekasihnya dari belakang. "Bersikaplah lebih rileks, Carol Sue."

Carol menggelengkan kepalanya. "Aku ketakutan Hana, aku tidak bisa kehilanganmu."

"Aku tidak ke mana-mana, aku sudah berjanji akan menemukan psikiater," bisik Hana sambil melingkarkan tangan di pinggang Carol—memeluk gadis itu dari belakang. Carol melenguh ketika Hana menciumi lehernya dengan lembut.

Carol bernafas lega. Akhirnya ia bisa menguasai dirinya sendiri. "Maafkan aku. Aku hanya cemas."

"Ya," kata Hana sambil menurunkan lengan baju Carol. Carol mengawasi jari-jari Hana, membiarkan dirinya ditelanjangi. Sementara sisi lain dirinya berusaha sekali menahan geli karena Hana tidak lagi menciumi permukaan kulitnya, perempuan itu mulai menggigitinya, nafasnya menguap keluar dan memberikan rasa sejuk yang menyiksa.

"Hh, handukmu basah, punggungku dingin," kata Carol, tapi bukannya menghindar, ia malah semakin menempel dalam dekapan Hana.

"Aku akan melepaskannya kalau itu membuatmu merasa lebih baik. Apa itu akan membuatmu merasa lebih baik?" Tanpa menunggu, Hana melepaskan handuknya, ia biarkan semua material itu berserakan di lantai. Ia menciumi leher kekasihnya, hingga Carol kehilangan kata-kata.

"Apa kamu pikir kita terlalu muda untuk menikah?" tanya Hana tiba-tiba. Carol membuka satu matanya. Ia ingin menoleh, tapi Hana tidak mengijinkannya.

"Jangan bilang kalau ibuku sudah memaksamu, Hana." Carol mendesau.

Hana menggigit leher kekasihnya sekali lagi, kemudian membisiki telinga gadis di dalam dekapannya. "Aku menelepon ibumu." Sambil bicara Hana mendekap wajah Carol dalam telapak tangannya yang besar. Membuat pipi gadis itu memerah.

"Hm?" Carol tidak tahu lagi harus menanggapi dengan cara apa. Yang bisa ia pikirkan sekarang hanyalah, bagaimana Hana akan menjamunya dengan cinta saat ini. Sudah lama sekali ketika terakhir kalinya mereka tahu berhubungan badan bukan sebuah kewajiban, atau jalan untuk menyembuhkan kondisi trauma Hana.

"Aku akan melamarmu." Hana berbisik dengan penuh keyakinan.

"Hm," kata Carol. Ia ingin bicara, tapi bagaimana caranya bicara tanpa menghentikan semua ini. Ia meracau, tapi hanya berupa huruf konsonan. Tidak satu pun kata itu ada artinya.

"Aku akan menjadikanmu seorang Dice." Hana meremat lengan Carol seolah perempuan itu adalah segenggam anggur yang lembab dan segar. Ketika Carol menjerit penuh gairah, Hana membalik tubuh Carol, mendalami mata sayu itu.

Carol menggigit bibirnya, ia menunggu. Nafasnya berlomba dengan irama jantungnya. Hasrat berupa sebuah bendungan air yang siap menerobos kapan saja, menghanyutkan semua hal yang tidak bisa mereka lihat.

Hana menyelipkan cincin di jari manis gadis keluarga Sue, entah sudah sejak kapan dan di mana ia menyimpan cincin itu. Carol hanya tahu, Hana adalah yang paling pandai menyimpan rahasia.

"Bagaimana menurutmu? Tapi kalau kamu tetap ingin menjadi seorang Sue..."

"Aku akan tetap jadi seorang Sue." Carol berusaha agar bicaranya terdengar jelas. "Tapi aku mau menikahi seorang Dice."

"Bagus," kata Hana sesudahnya ia mencucup bibir perempuan di depannya. "Aku akan menikahimu." Perkataan itu sudah tidak terdengar setenang barusan. Dan maksudnya sudah tersampaikan, sudah lebih dari cukup untuk menahan ini.

Hana menuntun Carol ke atas tempat tidur. Mencium setiap jengkal kulitnya tanpa pengecualian. Sedang Carol, ia tidak bisa berbuat banyak. Ia menuntun matanya, menghitung jejak yang ditinggalkan sentuhan Hana di kulitnya.

Lalu mereka tenggelam berdua.

Perlahan-lahan, beban itu terangkat dari benak Hana. Ia bisa merasakannya. Ia bisa merasakannya seperti jutaan ton pasir yang tidak tampak terbang dari dalam kepalanya. Terbang begitu saja, membuat pikirannya jadi begitu ringan.

TAMAT


Terimakasih sudah membaca sampai selesai...

Support aku di www.nihbuatjajan.com/arunglembayung  agar aku semakin semangat menulis ya...

Love you,

4. Pair a Dice GxG (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora